Sebenarnya aku tidak peduli entah ketua kelas dirundung oleh para pria seram itu, ataupun diancam. Hanya saja, aku tidak suka para pria seram itu berlagak jagoan. Hanya bermodalkan otot besar dan wajah seram saja sudah belagak begitu. Menjengkelkan sekali! Lagipula kalau terjadi apa-apa dengan ketua kelas, nanti dia tidak bisa mengganti ponselku yang hancur itu, 'kan?
Ahhh dilema sekali.
Tapi, kira-kira ada apa kakak menghubungiku? Sepertinya sudah lama sekali dia tidak menghubungiku, apakah ada hal yang serius?
Sebenarnya sudah dua tahun ini aku tidak pernah bertemu kakakku. Tepatnya, ketika aku memutuskan untuk tinggal di studio dekat kampus, dan kali terakhir dia menghubungiku adalah ketika dia hendak pergi ke Amerika untuk melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda karena harus mengikuti berbagai kompetisi, serta melakukan tour amal.
Mendengar penjelasanku di atas, kalian pasti berpikir aku dan kakakku tidak dekat, 'kan? Jika iya, maka kalian salah! Aku sangat dekat dengan kakakku. Ia adalah satu-satunya orang di rumah yang tidak pernah mendesakku untuk begini-begitu, ia juga orang yang selalu mendukungku untuk melakukan apa yang kuinginkan—meskipun ujung-ujungnya aku tetap mengikuti keinginan ibuku yang menyuruhku untuk masuk ke jurusan Matematika. Namun, karena aku terlalu muak dengan keadaan di rumah, aku hampir tidak pernah pulang setelah pindah ke Studio, dan aku juga tidak bisa mengajak kakakku untuk bertemu di luar karena kakakku selalu sibuk latihan piano di ruang latihannya di rumah. Jadi, kami hanya saling bertukar pesan, video call, dan menelepon saja, dan sepertinya kakak menjadi semakin sibuk setelah memutuskan untuk kuliah lagi, jadi dia tidak pernah menghubungiku lagi.
Ting tong ting tong.
Bel rumahku yang berbunyi, menyadarkanku dari pikiran tentang kakak. Aku beranjak dari ranjangku, dan membukakan pintu untuk orang yang menekan bel.
"Eoh! Ketua kelas? Bagaimana kau tahu rumahku?" Aku sungguh terkejut ketika mendapati ketua kelas dibalik pintu rumahku.
Dia menyodorkan sebuah paper bag padaku. "Ini, sudah selesai diperbaiki. Coba kau periksa apakah masih ada kendala di ponselmu."
Aku menerima paper bag itu yang isinya ternyata adalah ponselku. Ya. Sebelumnya, saat aku hendak membawa ponselku pulang, ketua kelas bilang tidak perlu karena dia akan langsung menservisnya.
Aku mengeluarkan ponselku dari sana, dan mulai memeriksanya. "Sepertinya tidak ada kendala."
"Syukurlah. Kalau begitu aku pergi dulu."
Aku tertegun ketika melihat langkah ketua kelas yang terpincang-pincang itu. Ada apa? Apakah ulah para pria yang seperti preman tadi?
"Ketua kelas."
Dia berhenti, dan menoleh padaku, "ada apa?" Tanyanya.
"Apa kau baik-baik sa—" belum selesai aku berbicara, ponselku yang lebih dulu berdering mengalihkan perhatianku.
Telepon dari kakak.
Tanpa banyak berpikir aku langsung menerima teleponnya.
"Halo, kak?"
"Syukurlah, akhirnya anda dapat dihubungi. Kami tidak tahu lagi harus menghubungi siapa karena diponsel korban hanya ada nomor ini."
Untuk sejenak aku memproses apa maksud dari perkataan wanita yang suaranya sama sekali tak kukenal ini.
Namun, ...
"Bisakah anda ke sini, untuk mengidentifikasi jasasnya?"
... pada akhirnya aku mengerti Bahwa maksud dari wanita ini adalah ... kakakku ... meninggal.
♤♧♤
Part 3
Baek Bi: Do Re Mi Fa Sol La
Satu tahun kemudian.
Saat kakakku masih hidup, aku hanya harus menahan ayah dan ibuku yang selalu membandingkan kami. Namun, sekarang, meskipun sudah tidak pernah dibandingkan lagi, aku justru ... di desak untuk lebih mendengarkan perkataan mereka.
Apakah aku mau?
Tidak! Tapi ... kematian kakaku membuatku sadar, bahwa selama ini akulah yang membuat kakakku menderita.
Lewat diary yang ditulisnya, aku tahu bahwa aku yang biasa-biasa ini membuatnya menjadi lebih banyak ditekan oleh orangtuaku. Kakakku yang harus selalu sempurna, harus selalu anggun, harus selalu berintelektual, harus begini, dan harus begitu. Kakakku ditekan karena orangtuaku sudah lelah denganku yang hanya biasa saja ini.
Oleh karena itu ...
Demi membalas semua yang dialami kakakku karena aku ...
Akupun menggantikan posisi kakakku.
Aku yang dulu selalu memiliki pendapat sendiri untuk menjalani hidupku. Kini ...
Menjadi boneka orangtuaku.