"Hanya lima? Kau hanya mendapat lima A dari delapan mata kuliah?!"
#brakkk
Tidak pernah berubah. Sikap Ayahku sejak aku kembali ke rumah mewah yang terasa bak neraka ini. Tidak pernah berubah. Apalagi ketika aku menunjukkan print out IPK ku. Ia akan selalu membuangnya.
"Kau tahu bagaimana hasil IPK kakakmu saat kuliah dulu? Tidak ada nilai selain A di kertasnya!"
Aku kesal tapi, aku tidak bisa protes. Kepergian kakakku yang meninggalkan diary yang seperti RED NOTE untukku itu, membuatku tak bisa menentang semua hal yang keluar dari mulut ayah dan ibuku.
Dalam buku hariannya, kakakku menuliskan bahwa dia sangat menderita bahkan sebelum aku lahir, dan ketika aku lahir dia merasa memiliki sedikit harapan. Ia berpikir bahwa saat dia memiliki seorang adik, maka fokus ayah dan ibu tidak akan melulu terarah padanya tapi, ... aku yang hanya manusia biasa ini, mengacaukan harapannya. Ekspektasi orangtuaku yang tidak bisa kupenuhi, membuat kakakku pada akhirnya menanggung semua ekspektasi itu.
Kakakku yang malang. Dia ... pasti sangat menderita, 'kan?
"Sudahlah, sayang. Lagipula Bi pasti akan bisa menyempurnakan nilainya." Ibuku tidak pernah membela, yang ada ucapannya akan membuatku lebih terbebani. "Iya, 'kan, Bi?"
Kadang aku ingin meminta ibuku untuk diam saja. Bagaimana bisa aku menyempurnakan nilaiku? Bahkan mendapat lima A itu membuatku harus sampai masuk ke rumah sakit selama tiga hari, dan bahkan aku jadi sering mimisan demi bisa menyematkan huruf A itu di kertas IPK ku.
Tapi kembali lagi, ... aku tidak bisa protes. "Maaf ayah, semester depan akan kupastikan nilaiku sempurna." Bahkan meskipun aku harus koma, aku tetap harus berjuang mendapatkan huruf A itu di semua mata kuliahku.
Tahanlah, Bi. Kau hanya perlu melewati ini dua semester lagi.
♤♧♤
Part 4
BAEK BI: Do Re Mi Fa Sol La
Memang benar! Tidak ada yang bisa mengalahkan perpustakaan untuk bisa membuatku fokus dengan semua angka di dalam buku sialan ini!
Rumahku? Jangankan belajar, bahkan tidurpun tidak akan nyaman di sana.
Cafeteria? Ayolah! Kau mau belajar atau mau nongkrong?!
"Hey, kau ingat Do Kang tidak? Ketua kelas di kelas Reguler 8? Kemarin aku melihatnya di dekat Cheondamdong loh."
"Benarkah?! Waahhh aku sudah lama sekali tidak melihat dia. Bahkan di majalah Youth dia sudah tidak pernah terlihat lagi. Kenapa ya?"
Inilah yang paling kubenci saat seharusnya suasana perpustakaan tenang. Namun, dirusak oleh orang yang hanya numpang adem agar acara bergosipnya menjadi nyaman.
Tapi ... apa tadi kata mereka? Do Kang? Nama itu sepertinya tidak asing. Aku pernah mendengarnya tapi, di mana?
#brakkkk
Aku terperanjat ketika penjaga perpus menggebrak meja bacaku.
"Kalian, keluar sekarang juga!" Katanya, kepada dua orang yang bergosip di sampingku.
Kedua wanita itu beranjak dengan kepala tertunduk, mungkin malu karena mereka baru saja di suruh keluar dari perpus. Rasakan! Siapa yang suruh mereka mengganggu fasilitas umum?! Dasar!
"Kau, kenapa diam saja. Keluar!" Tukas penjaga perpus sembari menunjukku.
"Aku?" Aku tertegun. Sungguh sebuah hal yang tidak masuk akal, aku bahkan tak bicara sepatah katapun tapi, kenapa tiba-tiba aku di suruh keluar? "Apa alasannya, pak? Aku sejak tadi tidak berisik kok."
"Jangan bohong, aku sejak tadi dengar suara-suara dari meja ini."
"Tapi itu bukan aku itu kedua orang yang tadi, aku—"
"Keluar!"
Kurasa ada alasan mengapa perpustakaan nasional ini mempekerjakan pria berbadan besar dan berwajah seram seperti ini sebagai penjaga perpus. Gila! Aku benar-benar takut dan terintimidasi dengan perawakannya.
"Ba-baiklah, pak. A-aku keluar."
♤♧♤
"Kau pulang jam segini?!"
Salahku. Sejak diperjalanan pulang aku sudah tahu bahwa akan begini jadinya tapi, mau bagaimana lagi? Apakah aku harus tetap berkeluyuran meskipun tidak ada yang kukerjakan di luar sana?
Setelah diusir dari perpustakaan, aku pergi ke perpustakaan lain. Namun, beberapa darinya sedang dalam renovasi, dan lain sebagainya ada yang digunakan untuk acara pembudayaan literasi. Aku sungguh tidak bisa belajar selain di perpustakaan, karena perpustakaan adalah tempat di mana aku bisa merasa nyaman karena ... aku bisa berada dalam kerumunan yang sunyi.
Pergi ke rumah teman? Aku tidak punya. Jadi, tidak ada tempat lain yang bisa kudatangi selain kembali ke rumah bak neraka ini.
"Kau tahu jam berapa kakakmu pulang kalau sudah belajar di perpustakaan?! Dia akan pulang dini hari!"
Lagi. Ingin sekali aku meminta ayah berhenti membawa-bawa kakakku dalam segala persoalan sepele yang kuperbuat. Setidaknya aku ingin membiarkan dia tenang di sana.
"Mungkin karena itulah dia memutuskan untuk mati," gumamku tapi, pendengaran tajam ayahku menangkapnya.
#prakkkk
"Sialan kau! Beraninya kau berkata begitu dihadapanku!" Mata sipit ayahku yang dibuka lebar-lebar untuk memberikan pandangan kebencian padaku itu ... benar-benar menyakitiku. Hal ini membuatku rindu pada kehidupanku satu tahun lalu, di mana aku hidup terpisah dari orangtuaku, dan tidak perlu pusing dengan apa yang harus kulakukan untuk membuat mereka senang.
"Seharusnya kau yang mati, bukan Moon!" Aku bisa melihat dengan jelas kesungguhan ayahku saat mengatakannya.
Apa aku ... benar-benar tidak sedikitpun diharapkan olehnya?
"Kalau begitu ... kenapa ayah tidak membunuhku saja?"
#prakkk
Kini ibuku menambah bekas tamparan di wajahku.
"Beraninya kau berkata begitu, hah?! Apa ini yang kau pelajari saat kau tinggal terpisah dengan kami, eoh? Aku membiarkanmu tinggal terpisah karena kakakmu bilang itu akan membuatmu lebih fokus belajar supaya dapat nilai baik, tapi inikah yang justru kau pelajari? Bersikap tidak sopan!" Ibuku ikut memandangaiku dengan kebencian. Ini ... rasanya membuatku gila.
"Disaat kakakmu berjuang keras membuat kami bangga, kau malah mempelajari hal yang sangat tak pantas!"
"Kau benar-benar tidak tahu diri sekali! Kalau aku boleh membunuhmu, maka aku akan membunuhmu sekarang juga!"
Perkataan mereka ... sungguh menyakitkan. Apakah mereka sungguh orangtuaku?
Aku ...
Sungguh ingin mati saja.
Apa ini juga yang kakak rasakan?
Seketika gambaran kakakku muncul di kepalaku. Di mana dia terlihat begitu menderita.