Aku senang membantu mbok Nur mengepak cenil dan jajanan pasar yang ia bawa setiap pagi. Seringnya setiap Minggu atau tiga hari sekali mbok Nur akan memberiku uang jajan yang lumayan. Dari sini aku bisa membantu ibu bapak sedikit membayar LKS jika ada pewajiban beli LKS atau iuran kelas yang tak tahu untuk apa.
"Nduk, besok ada pesenan growol, nanti minta tolong belikan mika 7A sama tusuk gigi, ini uangnya," kata mbok Nur saat aku akan berangkat sekolah.
"Berapa mbok?" tanyaku sambil menerima uang pecahan 10ribuan 5 lembar.
"Mikanya 100 saja, nanti masih ada sisa kemarin yang dari pesenan Bu Ratna," jawabnya.
Aku hanya mengangguk lalu memasukan saku uang yang dititipkan. Tak ada niat selain membelikan titipan nantinya. Aku bergegas mengambil sepeda mengayuhnya lebih cepat.
Semoga tidak telat.
"Nay, kamu ada uang nggak?" tanya Rizal, sang ketua kelas.
"Kenapa emang?" tanyaku sambil mencoba menatap mereka.
"Kita akan mengadakan perayaan kecil-kecilan untuk wali kelas, iurannya 5riibu tiap anak," katanya.
"Harus hari ini?" tanyaku kemudian.
"Iya, acaranya besok," jawabnya.
Aku hanya menghela nafas. Menimang-nimang apa jika pinjam dulu punya mbok Nur? Tapi nanti belanjanya cukup nggak? Atau bilang saja pinjam punya Rizal besok ia akan mengganti. Atau menyicil jika boleh. Hari ini ia hanya membawa 2ribu untuk jajan jika lapar karena ibu belum menanak nasi tadi pagi. Aku saja hanya sarapan singkong rebus di tabur gula pasir. Ah masa aku harus membawa bekal singkong juga?
"Aku cuma dikasih uang saku ini," kataku sambil mengeluarkan selembar 2ribuan yang kuserahkan pada Rizal, "sebenarnya ada uang tapi titipan simbok buat kulakan nanti," lanjutku jujur. Mencoba mencari pengertian ketua kelas.
Rizal menerima uangku mengangguk, "tapi besok dibayar ya, nanti nggak adil sama teman-teman kalau kamu beda sendiri bayarnya," lanjutnya. Aku mengangguk mengerti.
"Oh iya, LKS Fisika sama matematika jangan lupa ya, tinggal nunggu kamu lho," katanya lagi mengingatkan, "Santi katanya sudah mengingatkan, tapi kamu nggak bayar-bayar," lanjutnya.
Aku hanya mengangguk, menahan malu, 'mbok kira uang aku tinggal ngambek dikasih apa? Kalian nggak tahu aku kalau butuh uang usaha dulu?' aku benar-benar ingin membentak dengan kata-kata itu. Tapi aku tahan, orang sabar cepet suksesnya, aku menghela napas panjang lagi.
"Kan kamu tahu, aku bisa bayarnya dicicil tiap Minggu, wong Minggu kemarin aku juga nyicil kok, Raya saksinya," jawabku akhirnya.
"Tapi dicatatan nggak ada, kamu belum bayar sama sekali," kata Rizal.
"Tanya saja Raya," jawabku.
Sedetik kulihat wajah tegang Santi, awas saja jika sampai ia menilep uang cicilanku, dia kira gampang cari uang? Aku menatapnya dengan tatapan menantang. Dia yang selalu dikompas oleh teman-teman sekelompoknya. siapa yang tahu jika itu sebenarnya uang teman-teman termasuk aku?
Sepulang sekolah aku tak membantu teman-teman memberi kejutan Aku harus belanja dan sampai rumah membantu mbok Nur. Biasanya jika ada pesanan seperti ini jika aku membantunya akan ada uang jajan tambahan, lumayan bisa membayar utang kelas.
"Nduk, kamu nggak pernah beli buku atau memang tidak wajib beli?" tanya mbok Nur. Hanya mbok Nur yang menanyakan seputar sekolah. Bahkan bapak tak selalu banyak komentar tentang keluhan-keluhanku, hanya sesekali meminta maaf dan memintaku bersabar sedikit lagi. Dan setiap bapak mendekat entah perutku selalu mual karena selalu hafal dengan kata-katanya.
"Ini beli, mbok, cuma tak cicil bayarnya, tadi aja bayar iuran mendadak katanya untuk kejutan ultah wali kelas," aku menjawab sambil terus menyendokan mie ayam yang sudah sangat medok. Tak biasanya mbok Nur membelikan mie ayam. Biasanya masih seputar jajanan pasar atau jika semua dagangannya ludes ia membelikanku bakso pentol tiga ribu atau dawet yang sama harganya.
Simbok Nur bukan orang yang pelit, nyatanya setiap pulang sekolah selalu tersedia jajanan yang tersisih, "khusus buat Naya yang sudah bangun pagi bantuin simbok," katanya sambil memberikan kantong plastik dengan isi ganti setiap harinya.
"Pesanannya dikirim kapan mbok?" tanyaku
"Besok diambil di pasar bantuin simbok bawa ya, nduk?" katanya lalu mulai mengolah parutan yang sudah dikerjakan dari siang.
Ibuku masih membuka jasa setrika dan buka setiap hari. Ia akan menyetrika mulai jam 8 hingga jam 2 lalu mengantar ke pelanggan setelah aku pulang sekolah. Gantian sepeda. Bapak hanya kuli serabutan. Kadang ia menjadi Laden tukang, membersihkan rumput ladang, mencangkul, membersihkan kebun dan semua jasa yang diminta tetangga. Tapi bapak kali ini sedang bekerja disebuah taman milik orang kaya, bos bank katanya.
Pagi-pagi aku mengantar pesanan milik mbok Nur dan sebagian dagangannya. Baru kali ini aku keluar setelah subuh tepat. Ibu saja masih meringkuk bersama bapak. Menikmati riuhnya pasar diluar dugaanku. Sangat ramai, lebih ramai namun lebih tenteram. Banyak pedagang sayur keliling yang berlalu lalang mengisi kerombong yang dibawanya dengan aneka dagangan mulai sayur segar, buah, tempe, daging, ikan, bumbu, jajanan. Pokoknya yang sekiranya laku untuk dijajakan di rumah-rumah.
"Mbok Nur, pesenanku sudah?" tanya salah seorang laki-laki yang mungkin pesan. Mbok Nur menyerahkan kardus yang kubawa tadi.
"Ini, 120 tambah bonusnya 3, 96ribu," kata mbok Nur.
Lelaki itu menyerahkan uang yang langsung diperiksa dulu oleh mbok Nur. Dua lembar lima puluhan itu diselipkan ke celemek yang memang ada sakunya.
"Mbok, jam 6 tak pamit ya, mau mandi," kataku setelah melihat jam yang terpampang di depan pasar.
"Ya, makasih ya nduk, sudah bantuin simbok," katanya lalu menyelipkan uang 20ribuan di tanganku,"untuk bayar LKS," lanjutnya.
Di kelas aku mengajak Raya dan Rizal menemui Santi, ini perkara besar, awas saja jika Santi berkelit aku tak membayarnya. Hari ini saja demi bisa membuka hati mbok Nur memberiku uang aku harus tidur jam 12 malam dan bangun jam 3 pagi lalu ke pasar dengan sepeda sambil kerepotan membawa pesanan dan dagangan mbok Nur. Dia kira aku apa? Bahkan dia tahu aku bukan orang mampu, bahkan rumahpun aku menumpang.
"Sinta aku mau minta catatan cicilanku," kataku.
Dia tersenyum senang lalu membawa buku yang beda dari kemarin terakhir kali dia mencatat cicilanku.
"Mau nyicil berapa?" tanyanya baru akan mencatat.
"Kok bukunya beda lagi?" tanyaku.
Aku lihat mukanya sedikit berubah. Mimiknya kentara bahwa ada setitik keraguan yang ia pendam.
"Aku lupa bawanya. Jawabnya singkat.
"Ck, ngaku deh kamu, sekarang tinggal berapa utangnya Naya? Masih utuh? Aku udah jadi saksi 5kali loh, harusnya udah lunas. Dia bayarnya udah 10 kali, kamu jangan gitu sama Naya, nggak gitu caranya malak teman!" kata Raya cetus.
"Kamu mana bukti kalau aku malak Naya?" Santi dengan suara keras.
Raya memperlihatkan foto di galerinya, "aku foto. Setiap Naya bayar kamu catat di buku yang beda terus alasannya lupa nggak bawa. terus nagih terus bilangnya sama Rizal kalau nggak bayar, picik kamu jadi orang," lanjut Raya.
Aku senang ada yang membelaku kini. Semua tidak bohong, jika dihitung aku sudah membayar LKS seharga 50ribu dan Santi selalu lapor pada Rizal jika belum membayar.
Sebentar kemudian kelas menjadi sangat riuh. Bahkan teman-teman yang lain menanyakan uangnya. Santi terlihat makin pucat mencoba mencari pembelaan dari genknya yang palah membuang muka.
"Aku udah lapor BK," kata Rizal.