Aku masih berteman baik dengan Raya. Dan hanya dia teman baikku di sekolah. Ia tak pernah mengajakku membolos atau hal negatif lainnya. Hanya sifatnya lebih tertutup dari pertama kali kami bertemu. Ia terlihat lebih cantik saat masa-masa peralihan ini. Dan kami mempunyai prinsip yang sama, tidak pacaran. Bukan karena aku sudah faham agama, bukan, aku hanya tak ingin membuang-buang waktu dan tenaga, bukankah pacaran juga harus mempunyai modal?
"Raya, kau ada masalah?" tanyaku saat kudapati ia melamun.
"Kau bisa membantuku?" tanya Raya.
"Kalau misal aku mampu, aku bantu," jawabku.
"Dulu saat kelas satu kau pernah tanya tentang pekerjaan yang cepat menghasilkan, tapi setelah itu kau tak ingin tahu lebih lanjut lagi?" tanya Raya.
"Hem, aku sibuk, Ray, aku harus membantu ibu dan mbok Nur setiap hari waktu itu," jawabku jujur. Setelah mereka menanyaiku tentang cita-cita, mbok Nur dan Ibu sepakat untuk memberiku pekerjaan setiap hari dan akan memberi upah harian yang akan dibayar mingguan. Aku senang sekali waktu itu hingga sekarang. Aku bangga sekali sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
"Waktu itu sebenarnya aku butuh bantuanmu," kata Raya.
Aku kaget tentu saja. Dan sedikit merasa bersalah dengan Raya. Jika saja Raya jujur meminta bantuan mungkin aku tak keberatan membantu. Toh aku tak percaya peringatan Rizal dan Santi.
"Nay, hari ini kau ada waktu?" tanya Rizal tiba-tiba muncul.
Seringnya seperti ini. Jika Raya akan meminta bantuan padaku. Apa Rizal selalu menguping? Untuk apa coba? Toh dia juga sama saja dengan yang lain, tidak pernah berteman dengan kami, baik aku maupun Raya tak punya teman. Beruntung kelas dua kami sekelas.
"Buat apa, Zal? Misal nggak ada yang mau dibicarakan nggak usah ganggu aku. Raya butuh bantuanku," aku menjawab dengan sedikit sengit. Meskipun dia beda kelas sekarang tapi masih selalu menghampiriku tiap jam istirahat pertama.
"Katanya ibumu tukang setrika?" tanya Rizal ragu-ragu.
"Ya, ibuku memang hanya tukang setrika," jawabku sedikit mencicit. Malu setengah mati.
"Tadi mau minta tolong apa, Ray?" tanyaku beralih pada Raya yang terlihat sabar dengan percakapanku dengan Rizal.
"Besok sepulang sekolah antar aku bertemu seseorang," jawabnya.
***
Setiap pulang sekolah aku langsung beekutat dengan setrikaan. Ibu yang akan mengepak baju yang sudah kusetrika. Hal ini lumayan sekali. Mulai pulang sekolah hingga Maghrib aku bisa menyetrika sekitar 3 kantong plastik baju. Setelah maghrib aku belajar lalu membantu simbok sebentar. Esoknya aku akan dibangunkan jam tiga pagi untuk membantu simbok mengepaki jajanan.
Rutinitasku yang dijadwalkan mbok Nur dan aku suka. Meskipun kadang sangat melelahkan. Jika begitu aku akan meminta ijin untuk tidak membantu. Aku akan tidur lebih awal atau sekedar leha-leha, anggap saja menikmati waktu seperti kaum rebahan, hahaha.…
"Bu, Mbok, besok saya mau ngantar Raya ketemu orang," ijinku saat jadwalku belajar yang ditunggui oleh ibu dan mbok Nur.
"Ketemu siapa katanya, Nay?" tanya mbok Nur penasaran.
"Nggak tau Mbok, aku hanya dimintai tolong menemaninya. Mungkin saudara atau temannya?" kataku sambil mengerjakan tugas yang tak seberapa banyak.
"Raya itu orang yang seperti apa? Kenapa meminta tolong bertemu orang?" tanya mbok Nur dengan nada curiga.
"Raya itu baik, Mbok, meskipun hampir satu sekolahan menjauhinya, dia tidak pernah mengajakku untuk hal-hal yang buruk," jelasku.
"Bagaimana keluarganya?" tanya Simbok lagi.
Ah, aku mulai muak jika harus diinterogasi seperti ini. Tadinya aku hanya ingin ijin menemani Raya, tidak usah ada wawancara panjang yang membuatku harus menerangkan siapa temanku itu. Dia itu orang baik.
"Sepertinya dia dari keluarga yang cukup mampu, tapi dia juga ikut bekerja, katanya untuk kesenangannya," jawabku jujur, seadanya, seperti yang dikatakan Raya padaku.
"Kalian masih SMP, baru kelas dua, apa pekerjaan temanmu yang katanya untuk kesenangan itu?" Mbok Nur terus saja mencecarku. Aku tak bisa menjawab lagi karena memang tidak tahu pekerjaan Raya.
"Saya sudah janji akan mengantarkan besok, Mbok, jadi saya ijin libur. Hanya sehari kalau Simbok keberatan. Sekali-kali saya juga ingin bermain, keluar bersama teman-teman, atau sekedar pergi ke warnet untuk membuat akun sosial seperti teman-teman, saya juga butuh hiburan seperti yang lainnya, itu saja. Rasanya seperti dikekang saja, mau keluar...." aku berkata panjang lebar namun belum selesai karena sahutan ibu.
"Kau boleh keluar, Nay, temani temanmu itu, tapi kau harus hati-hati. Ibu percaya sama kamu," sahut ibu cepat. Aku tahu ibu sama denganku, tak ingin banyak berdebat dan dipersalahkan.
***
Aku sudah bilang pada Raya jika nanti bisa menemaninya. Dia hanya tersenyum lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Dia hanya selalu sibuk dengan benda itu. Meskipun mengobrolpun tangannya akan tetap sigap dengan benda itu. Katanya benda itu yang membuatnya lebih mudah dalam pekerjaannya. Tapi jika kutanya apakah bisnis online ia selalu menggelengkan kepala.
"Tapi tidak lamakan, Ray?" tanyaku penasaran. Mbok Nur memberiku batasan waktu bermain sejak ibu memberiku ijin bermain semalam. Jujur saja aku sudah mulai merasa terkekang, tak bebas seperti teman-teman. Main, ya main aja. Mbok Nur selalu mengingatkan untuk pamit jika akan pergi, repot sekali.
"Paling malam kau boleh pulang jam berapa?" Raya menjawab dengan pertanyaan. Aku menimang-nimang sebentar.
"Maghrib sampai rumah, Ray," jawabku akhirnya. Kata Mbok Nur aku harus berhati-hati bukan? Apalagi baru pertama bertemu. Sebenarnya Mbok Nur memberi batasan hingga isya, mau lihat aku sudah sholat isya atau belum saat pulang, katanya.
"Kau sangat patuh, ya, Nay?" pertanyaan Raya sebenarnya menamparku. Aku tak selamanya patuh. Ada kalanya aku menentang atau marah-marah pada seisi rumah jika apa yang kuinginkan tidak terpenuhi meskipun tidak sering.
"Nggak juga," jawabku santai.
Aku kembali berkutat dengan LKS. Menyicil mengerjakan tugas yang mungkin akan jadi PR nantinya. Jika lelah aku tak perlu belajar nantinya. Ini bukan inisiatifku jika kalian pikir aku pandai sekali mengatur waktu. Semua sudah dijadwalkan oleh Ibu dan Mbok Nur. Aku hanya menjalankan saja, jika nanti aku bisa menjalankan tanpa cacat setiap pekan akan ada semacam reward tambahan. Lumayan sekali untuk menambah tabunganku.
"Nanti katanya cuma sebentar saja, Nay. Paling jam lima sudah selesai. Sepedamu dititipkan saja, pakai motorku. Nanti pulangnya aku antar kamu sampai tempat kamu nitip sepeda," kata Raya panjang lebar.
Aku mengangguk setuju. Jadi sekarang aku sedang memikirkan akan kutitip dimana sepedaku? Mungkin di dekat sekolah saja agar Raya tidak kejauhan mengantar nantinya.
"Nay, hati-hati kalau main sama Raya," kata Rizal seperti biasa, memperingatkan.
"Sudahlah Zal, kau sudah berkali-kali bicara seperti itu, trimakasih sudah memperingatkanku berkali-kali, tapi tolong, jangan ikut campur sama urusanku, aku dan Raya sudah berteman sejak setahun lalu, kalau kau lupa," kataku jengkel. Rizal selalu muncul tiba-tiba dan berkata hal yang hampir sama.
"Aku peduli sama kamu, Nay," kata Rizal tegas.
Peduli?
***
Terima kasih.
Tapi aku tak butuh kepedulian dari siapapun. Aku sudah terlanjut untuk tidak percaya pada setiap bantuan. Nyatanya dari setiap bantuan selalu mengharap imbal balik. Jika tidak, maka bantuan itu akan terucap dari mulut ke mulut yang nantinya kembali lagi padaku, membuat malu!
"Sesumbar saja sana, Zal, katakan saja sama seisi sekolah, tetangga, kalau perlu seluruh orang di penjuru dunia kepedulianmu itu, aku tak butuh, sungguh!" kataku dengan senyum yang kubuat. Tapi siapa yang tahu jika hatiku meletup. Dadaku butuh udara yang lebih, bahkan aku sudah sangat gemetar menahan segala gejolak. Aku benci diremehkan, sekali lagi.
"Aku tak bermaksud membuatmu marah atau tersinggung, Nay, sungguh, dan aku sungguh-sungguh peduli," jawab Rizal sedikit kaget dengan jawabanku.
Seperti yang sudah direncanakan. Aku membonceng Raya dengan motornya setelah menitip sepeda di rumah dekat sekolah. Aku bukan orang yang tahu wilayah, kalian tahu sendiri duniaku hanya rumah, sekolah, dan pasar. Bahkan tempat hiburan aku tak tahu. Aku tidak pernah berlibur atau bermain di tempat-tempat seperti itu. Bahkan jika liburan panjang aku akan menenteng dagangan Mbok Nur berjualan dari rumah ke rumah dengan sepeda. Lumayan menambah tabungan. Aku ingin membeli sepeda baru, agar bisa bagi tugas dengan Ibu.
"Namamu siapa?" tanya seorang laki-laki berseragam SMA. Wajahnya lumayan. Ternyata janji temu Raya disebuah jembatan sungai panjang daerah perbatasan.
"Naya," kataku menunduk. Tangannya aku abaikan saja. Aku kan sudah bilang, aku sulit beradaptasi, sulit bergaul.
"Namanya Inayah, Mas, panggil aja Naya, pemalu memang. Tapi kalau udah kenal biasa aja kok," kata Raya mengenalkan ku sekali lagi.
"Rudi, panggil aja kak atau mas Rudi," katanya sambil tersenyum yang jujur saja membuatku salah tingkah.
Raya dan Kak Rudi asyik mengobrol sedikit menjauh dariku. Aku hanya diam saja ditempat. Menikmati pemandangan indah yang nantinya kutahu itu bagian dari karunia. Aku terkagum-kagum tanpa tahu berbuat apa. Sesekali melirik mereka yang saling memangutkan muka. Apa mereka pacaran? Aku masih diam tak peduli tapi ingin tahu. Kenapa Raya mengajakku untuk berpacaran?
"Nay, sini gabung!" ajak Raya sembari melambaikan tangan. Aku mendekati mereka ragu-ragu.
"Duduk sini, Nay," kata Kak Rudi memberiku tempat di sebelahnya. Aku mengikuti saja, memposisikan diri duduk senyaman mungkin meskipun tidak nyaman.
"Kita foto bareng," ajak Kak Rudi. Tangan kirinya merangkulku sementara tangan kanannya memegang kamera. Sontak mataku tertuju pada ponsel. Raya tampak senyum menggandeng Kak Rudi.
"Hadap sini, Nay," kata Kak Rudi… dan
Cup!
Aku salah tingkah.
Dan semua ini menjadi pintu masukku kesebuah lembah….