Seringkali seseorang dengan kedekatan pada Tuhan merasa tak tenang jika disekitarnya ada dosa meskipun disembunyikan. Aku merasa sudah rapih menyembunyikan semua hasil yang kudapat termasuk ponsel, perhiasan, dan baju-baju mahal. Sepertinya mbok Nur mulai mencium gelagat aneh yang kusembunyikan.
"Rejeki itu, Nay, sudah diatur…," kata mbok Nur seperti biasa, kami menyiapkannya pagi hari. Jam 4 saat aku masih terkantuk-kantuk aku memaksakan diri untuk membuka mata.
"Ya, mbok," jawabku juga seperti biasa.
"Yang penting halal, insyaAllah berkah. Kalau rejeki itu dicari dengan yang halal, tak perlu disembunyikan, semuanya tampak cukup," kata mbok Nur lagi.
"Iya," jawabku singkat saja, sedikit terganggu dengan nasihatnya kali ini.
"Oh iya, mulai sekarang biar bapakmu yang nganter simbok, Nay, biar belajar jualan juga. Kamu dan Sri sudah bisa bikin cenilnya, kan?" kata mbok Nur beranjak membangunkan bapak.
"Sur, bangun, anter aku ke pasar!" teriak mbok Nur sembari memegang jempol kaki bapak.
Bapak bangun terkaget-kaget. Aku tertawa tertahan lalu menyiapkan keperluan. Mengikatnya di sepeda yang akan dikayuh bapak.
"Masak aku sama bapak cepetan aku bangunnya, rejekiku lebih banyak dari bapak nanti," kataku saat masuk rumah kembali.
"Yo, Ndang, Le, keburu subuh," kata mbok Nur.
"Tumben sebelum subuh udah berangkat, mbok?" tanya bapak.
"Iya, biar rejekinya makin mudah, ayam aja berkokok udah sejak jam 12?" kata mbok Nur.
Aku tersenyum merasa ada yang aneh jika tidak ke pasar, tapi aku senang karena setelah subuh bisa tidur sebentar. Aku membuka ponsel dan foto-foto yang kusimpan. Beberapa foto dengan teman-teman dan teman 'kencan'. Beberapa pesan kak Rudi ku abaikan karena aku memang sedang tidak bekerja. Ia pelanggan tentu saja.
'Nay, bisa ketemu sebentar nanti sepulang sekolah?' sebuah chat masuk dari kak Rudi.
'Maaf kak, aku sedang cuti.'
'Sebentar saja. Di sekolah.'
Kembali kumasukan ponsel ke dalam tas lusuh yang biasa kusimpan. Ada beberapa uang tunai kukira cukup untuk sebulan. Aku juga akan meminta cuti dari mbok Nur dan ibu nanti.
"Nay? Di dalam Nak?" tanya ibu dari belakang kamar.
Deg! Aku belum membersihkan bekas tapak keluar masukku kemarin!
***
"Iya, bu?" jawabku langsung bergegas menyusul ibu yang mungkin sedang menyapu.
Sedikit ketar-ketir dengan kelalaianku. Baru saja aku bangga dengan kerapianku menutup aib. Nyatanya aku akan ketahuan? Aku belum siap kawan, sungguh!
"Kamarmu ada lubang sebesar ini yang nutup pakai karung kamu semdiri, Nay?" tanya ibu.
"Iya, baru ngeh kemarin, itu kan cukup buat keluar masuk orang, terus tak tambal pake karung," jawabku apa adanya. Memang seperti itu adanya.
"Biar nanti dibelikan gedeg baru sama bapakmu, Nay," kata ibu melanjutkan menyapu.
"Nggak papa kok, Bu, dalem hangat. Didalam aku tambal koran jadi anginnya nggak masuk," jawabku yang kubuat masuk akal.
"Maafin bapak sama ibu ya, Nay, semoga kelak hidupmu lebih mampu. Jadi nggak perlu merepotkan orang seperti bapak sama ibu ini, semoga hidupmu mulia berkecukupan, jadi orang sukses," aku tahu ibu sedang merasa bersalah sekarang. Sama seperti bapak yang dulu sering meminta maaf padaku. Sekarang kami jarang bertemu atau sekedar berkomunikasi.
"Do'akan saja Nay, Bu," jawabku tersenyum.
Aku senang dengan pekerjaanku. Terlepas itu halal atau haram. Aku sudah memilihnya sejak awal. Sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku muak dengan hidupku! Aku sudah lelah dan aku ingin hidupku berubah. Aku juga ingin seperti Alfi, seperti anak-anak Pakde-pakde yang tinggal nodong keluar apa yang dipinta, nyatanya Tuhan tak sesayang itu, aku harus kerja keras. Aku harus banyak bersabar. Mungkin bisa saja aku bersabar, nyatanya aku tak sebaik itu.
"Nay berangkat dulu," kataku berlari keluar. Mulai hari ini aku berjalan menuju sekolah. Ojek pribadiku tentu saja ikut cuti. Gila jika masih mau menjadi ojek saat aku cuti, yang ada aku yang rugi.
Jalan kaki dengan sedikit berlari melewati pematang sawah, jembatan bambu dan jalan setapak dengan tebing dan jurang yang lumayan. Hal yang sudah lebih dari setahun aku lewatkan. Tentu saja aku kelelahan. Tapi aku suka. Aku… menjadi diriku, bebas tanpa beban dan membayangkan masa depanku yang indah.
***
Aku menjalani hidup yang lumayan tenang saat ujian. Semua ini anugerah terindah untukku yang selama ini terlalu sibuk dengan hitamnya hati. Mendendam penuh obsesi untuk lebih dan lebih dari mereka. Aku diam namun menyimpan dendam yang begitu mendalam dan balasanku sedang kupersiapkan. Persetan dengan hal-hal baik kebanggaan mereka. Aku tetap akan kekeuh dengan jalanku. Jika kalian tanya apakah aku berdoa? Maka jawabanku, ya, aku berdoa. Meminta Tuhan terus membantuku menyembunyikan pekerjaan dan semua aib-aibku, dan selama ini Tuhan terlalu baik bahkan dengan aku berbuat dosapun aku dilindungi.
"Duduk sini, Nay," kata mbok Nur menepuk bangku disebelahnya. Aku mengnagguk menempatkan diri sembari membawa buku-buku latihan soal yang akan kukerjakan. Aku harus tetap lulus meskipun aku bobrok. Sekolah harus tetap menjadi prioritas agar tak menjadi celah untuk mereka mencela, "hanya lulusan SMP."
"Rencana kalau sudah lulus mau lanjut di mana?" tanya mbok Nur. Aku masih sibuk mengerjakan latihan-latihan dalam buku tebal yang kubeli sepulang sekolah tadi. Jangan remehkan aku yang bobrok ini, aku masih cukup sadar untuk membaca dan latihan serta banyak membeli buku-buku latihan yang biasanya kukerjakan disela-sela pekerjaanku.
"Em, mungkin lanjut SMK, mbok, pengen sekolah kejuruan biar bisa langsung kerja atau buka bisnis," jawabku mantap setelah menerawang sebentar.
Kulirik mbok Nur tampak tersenyum lalu menganggukkan kepala. Ia pasti paham benar denganku. Baginya Inayah adalah bocah keras kepala dengan ambisi yang begitu besar. Mungkin juga baginya aku adalah teman yang bisa membagikan kasih. Ia tak punya keturunan dan selalu memandangku bahwa aku adalah cucu baginya. Cucu yang harus dididik, diarahkan, dan dibentuk. Sementara aku tetap memandang beliau ibu tiri dari bapak. Itu saja.
"Nggak pengen nyantri?" tanya mbok Nur pelan.
Aku menoleh memandangi wajah keripunya dengan senyum yang kuanggap mengejek. What the? Aku nyantri? BIG NO! Aku masih belum sanggup meningglakan huru-hara duania yang indah ini. Aku tak akan pernah sanggup. Akhirnya aku menggeleng lemah. Semburat kecewa di matanya kentara sekali. Aku tahu mbok Nur selalu mengutamakan akhirat, bahkan uang hasil jualannya hampir 50% untuk infaq di masjid kampung kendati rumah reyot mau ambruk. Bahkan kamarku yang berada di pojokan tengahnya harus aku ganjal bambu untuk penopang.
"Naya pengen punya rumah yang layak, mbok, pengen juga punya motor seperti teman-temen, tapi Naya bukan mereka yang sekali ngucap langsung dapat. Tuhan selalu kasih Naya buat berusaha," jelasku. Aku jujur dengan perkataanku.
"Semuanya masih tentang dunia, Nay?" tanya mbok Nur sembari menghela napas.
"Ya."
***
Jika saja aku bisa aku ingin mencak-mencak menyalahkan takdir. Kenapa aku harus hidup menderita? Kenapa hanya aku yang dibeda? Kenapa aku harus jadi anaknya bapak? Aku nggak terima. Biarkan aku mencari jalanku agar aku setara.
"Apa mas Alfi bisa ngaji?" tanya mbok Nur tiba-tiba.
"Ya, kami pernah khatam bareng," jawabku.
"Apa mas Alfi rangking kelas?" tanya mbok Nur lagi.
"Mana aku tahu mbok, kami beda sekolah sekarang," jawabku mulai ketus.
Aku tak suka dibanding-bandingkan. Sudah muak jika dia lebih dariku dari segi apapun. Aku tak akan lelah dengan perasaan muak ini. Selalu dia yang lebih baik dan aku yang tak baik. Modal ndompleng orang tua saja bangga sampai suka merendahkan orang. Sifatnya sama sekeluarga.
"Jangan dipikirkan yang kamu tak punya, Nay," kata mbok Nur sembari memetiki sayur kangkung.
"Nanti kau tak mempunyai syukur," lanjutnya.
"Aku sebel mbok, kenapa Tuhan kasih takdir beda banget?" aku mulai protes.
"Manusia pasti punya kesalahan. Kita pasti nggak sempurna, dan kadang kesalahan dan ketidaksempurnaan itulah yang membuat manusia mudah berkeluh kesah, mudah mendendam, dan tak pandai bersyukur," kata mbok Nur terus masih dengan pisau dan kangkungnya.
Aku juga sibuk dengan buku soalku. Terkadang aku mengerjakan sambil mengeraskan suara agar mbok Nur mau membantu mungkin atau sekedar diam dari ocehannya yang panjang. Usiaku sudah 15 tahun sudah lumayan besar untuk melakukan apa yang aku mau.
"Manusia itu sudah dijatah rejekinya, jodohnya, matinya," kata mbok Nur selesai memetiki kangkung.
"Kita juga sudah dikasih pedoman untuk hidup," lanjutnya.
Aku mulai pusing dengan segala celotehannya. Harusnya usia sepertiku memang harus bebas untuk memilih seperti apa hidup yang aku jalani nantinya.
"Nay, simbok boleh minta sesuatu?" tanya mbok Nur lebih lembut kali ini. Dia menatapku intens dengan tatapan jauh lebih teduh dari terakhir kali ia menatapku.
"Apa mbok?" tanyaku asal. Mungkin simbok ingin agar aku membelikan mika atau gula Jawa setelah ini. Atau meminta agar aku nyantri setelah lulus SMP atau rajin mengaji lagi.
"Hiduplah yang baik, Nay, cari rejeki yang halal, dan berpegang teguhlah pada pedoman Tuhan," katanya tersenyum lalu meninggalkanku.
Angin lalu saja bagiku. Aku tertawa dalam hati seperti senetron indosiar bedanya tatapannya biasa.
"Simbok kalo minta suka nggak jelas," kataku lalu melanjutkan latihan soal.