Liburan semester benar-benar membuatku bisa istirahat. Rizal sudah berhenti menjadi tukang ojek atas kemauan dia. Untungnya aku sudah belajar mengendarai motor jadi tak perlu merepotkan dia lagi memang.
"Aku mau berhenti, Nay," kata Rizal saat kami sampai pada tempat karaoke.
"Aku mau fokus sekolah, bapakku juga mampu biayai sekolahku," katanya lagi.
"Yaudah, mulai kapan?" tanyaku menunda untuk masuk kedalam gedung.
"Mungkin ini yang terakhir," jawabnya.
Aku mengangguk lalu mengecup pipinya seperti biasa sebagai tanda terima kasih karena sudah mengantar.
"Aku … punya pacar, jadi kita sudah saja jadi teman yang saling menguntungkan ini, kau carilah teman yang bisa nerima kamu, Nay, atau … ikut aku berhenti," kata Rizal yang kujawab dengan tawa terbahak.
Tentu kalian tahu aku tak akan berhenti. Aku sudanha sangat jauh tenggelam, menyelami, menikmati dunia yang hanya gemerlap pada malam hari. Dunia yang tak peduli dengan norma dan segala nilai. Kepulanganku dan segala wejangan mbok Nur, mama, maupun bapak tak membuatku membuka mata dan hati.
"Nay, kau nggak berniat membangun rumah reyot itu?" tanya om Frediyan selepas kami bermain semalam penuh.
Aku menggeleng lemah masih dengan mata yang mengantuk lelah setelah melayani om Frediyan. Nafsunya benar-benar membuatku kewalahan. Bahkan kami sampai menghabiskan pelindung sebanyak 3 box. Aku tak bisa membayangkan teman-temanku yang sudah senior dan harus melayani 3 orang di waktu berdekatan.
Om Frediyan duduk di balkon kamar. Dia memanggilku untuk datang ke apartemennya dan bukan hotel. Aku tak tahu alasannya tapi mungkin akan menambah biaya lebih lagi jika dia membookingku di sebuah hotel.
"Apa di sana kesehatanmu di jamin, Nay?" tanya om Frediyan lemah namun masih bisa kudengar.
"Setiap tiga bulan sekali ada pemeriksaan ke Puskesmas, kesehatan organ dan kb," jawabku juga lemah.
Aku mengantuk sekali. Kesadaranku mulai hilang berganti suara-suara cicitan, alunan music yang menenangkan lalu benar-benar hilang. Rasanya begitu damai tak mempunyai mimpi buruk atau mimpi indah sekalipun.
**
"Aku ke kantor, Nay, ada pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan," katanya saat aku terbangun.
Aku hanya mengangguk lalu meminjam kamar mandinya untuk membersihkan diri. Setelah mengganti baju aku berpamit dan menerima bayaran yang ia janjikan. Setelah ini mungkin aku akn ke bank lalu berjalan-jalan sebentar ke pusat perbelanjaan.
"Kau sudah punya SIM?" tanya om Frediyan melihatku mengendarai motor.
"KTP aja belom, om," jawabku mulai menyalakan mesin.
"Nggak takut ditilang?" tanya om Frediyan lagi.
"Bahkan sama Tuhan, meskipun aku meminta aku masih sering dan senang berbuat dosa, om," jawabku tersenyum-miris.
Aku benar-benar melaju meninggalkan sosok lelaki yang berdiri didepan mobilnya yang katanya ada urusan kantor. Dia, hanya sebatas pelanggan bagiku. Maka setelah selesai urusanku dengannya sikap selalu seperti ini. Aku hanya menggoda saat bekerja dan kembali pada sifatku yang tertutup dan pendiam.
Nyatanya aku menyetir menuju sebuah masjid. Ini aneh. Seumur hidupku tak pernah aku merasa seterpanggil ini dengan sebuah masjid. Aku mengambil wudhu lalu masuk dengan perasaan sangat kotor dan hina. Setelah hanya duduk berdiam tanpa tahu harus bagaimana, rasanya untuk shalat saja aku tak boleh. Diriku yang sudah sangat bau akan dosa ini tak mampu lagi untuk lebih lama berdiam diri.
Setelah itu aku benar-benar ke bank mengambil uang. Untungnya bank ini bisa menerima tabungan siswa tanpa wali jika mengambil.
"Nay?" sapa seseorang saat aku selesai bertransaksi.
"Jean? Ngapain?" tanyanya bersama seseorang yang amat sangat kukenal.
"Nganterin mas Danu, dia pegawai kepercayaan ayahku, kita mau setor," katanya lalu menggandeng orang yang sudah lama menghilang itu.
Hanya diam dan saling menatap. Dia menatapku begitu tajam tapi aku menatapnya penuh kerinduan. Kakak yang aku harapkan bisa menjadi ruang bagiku, menjadi sandaran saat hidup rasanya begitu melelahkan. Saat hidup rasanya tak adil. Saat aku merasa berjuang sendiri.
"Mas?" sapaku akhirnya.
"Naya, apa kabar, dik?" tanyanya lalu memelukku.
Kami menangis. Kami saling memeluk erat seolah ingin menumpah segala rindu dan beban secara bersamaan.
"Kemana aja empat tahun ini?" tanyaku masih menangis.
Aku benar-benar membutuhkannya selama ini. Aku benar-benar ingin berbagi kisah selama ini. Aku dengan egoku dan keyakinan semua yang kulakukan benar.
"Pulanglah sebentar, bersamaku, kami merindukanmu," kataku mengusap air mata.
Jean hanya mematung menatap kami. Dia ikut menangis mungkin terharu dengan pertemuan kami. aku yang tak berdaya tak tahu harus mencarinya kemana saat itu, sementara pencarian mama dan ayah tak pernah menemui kabar baik. Kami belum mempunyai ponsel untuk berkabar didunia maya waktu itu.
"Kamu sekelas sama Jean?" tanya mas Danu.
"Kami sekelas," jawabku.
"Tunggulah, aku akan pulang sebentar," jawabnya bergegas masuk kembali.
Kulihat mobil yang mirip dengan milik om Fredian masuk parkiran. Aku hanya menatapnya sekilas lalu kembali pada ponselku. Menghibur diri dengan keindahan duania maya yang ditawarkan. Orang-orang yang cantik, rumah megah, perhiasan yang mereka kenakan, kulit yang mulus glowing tanpa cacat. Semua, semua yang hanya bisa kulihat di dunia maya, bukan nyata.
"Ngapain masih di sini, Nay? Kau masih punya tenaga untuk jalan-jalan setelah semalam, hm?" suara seseorang yang kukenal.
Aku mengangkat kepala menatapnya sekilas lalu tersenyum, "Om, kerja di sini?" tanyaku aakhirnya.
"Hm, ini salah satu anak usaha yang kukembangkan," jawabnya bangga.
Aku tersenyum mengangguk, mengerti dan tahu diri bahwa kami hanya sebatas pelayan dan pelanggan. Sebatas penjual jasa dan pembeli jasa. Lalu kembali memainkan jariku mencari-cari keindahan yang kudambakan di dunia maya.
"Lihat apa, Nay?" tanya om akhirnya.
"Om, katanya kerja ada pekerjaan yang tak bisa ditinggal?" kataku akhirnya.
Om Frediyan tampak mendengus kesal lalu masuk lewat pintu samping didampingi beberap orang. Aku tak menggubrisnya lalu kembali memainkan jari sembari menunggu mas Danu yang mungkin mendapat antrian lumayan.
**
"Tinggal di mana sekarang, kamu?" tanya mas Danu.
"Di rumah mbok Nur, ibu tiri bapak, katanya dari istri pertamanya mbak kakung," jawabku apa adanya.
"Bekerja apa sekarang bapak?" tanya mas Danu.
"Membantu mbok Nur membuka lapak jajanan pasar di pasar pagi sambil membuat growol dan cenil," jawabku.
"Ibu?" tanya mas Danu lagi.
"Masih sama," jawabku.
"Kau masih membantunya?" tanya mas Danu kepadaku. Dia dulu yang oleh mama selalu dibandingkan denganku. Dia tak pernah sekalipun membantu ibu, tapi mas Danu membantu ayah jika ada proyek bangunan.
Kami mengajak pula Jean menuju rumah. Sebenarnya aku malu dan takut jika nantinya Jean tak mau lagi menjadi teman di sekolah. Aku takut bahkan hari ini aku berencana menyerahkan sebagian uang untuk bapak membeli tanah.
"Liburan ini apa kegiatanmu, dik?" tanya mas Danu di jalan.
Jean membawa motornya sendiri. Aku membonceng mas Danu.
"Nanti akan aku ceritakan di rumah," jawabku tersenyum yang tentu saja tak mungkin dilihat oleh mas Danu.
Aku menjadi pemandu jalan untuk mereka, sekali lagi menjadi pemandu jalan. Bahkan kepada mas Danu, kakak kandungku sendiri.
"Ini?" tanya mas Danu tak percaya.
Aku mengangguk dan kulihat ayah dan mama mematung di tumpukan bata yang mereka gunakan untuk meja saat santai siang. Setelah membantu mbok Nur bapak dan mama selalu bersantai di depan rumah ditemani sisa cemilan yang dijual.
"Danu?" mama langsung menghambur memeluk dan menciumnya bertubi-tubi.
Bapak hanya menyalaminya tapi matanya memerah sesekali sesenggukan. Empat tahun penantian dalam pasrah kini ia datang. Mereka lalu menatapku dengan tatapan mencemooh. Aku mengambil dua coklat tebal. Yang satu bayaran dari om Frediyan satunya lagi aku mengambilnya di bank.
"Untuk beli tanah," kataku lemah.
Ayah melototkan matanya merahnya berubah marah. Aku tahu sedangkan mama menatapku sendu.
"Kami tak akan menerima uang harammu, Nay, pergi dan bawa sajalah uang-uang mu itu, puaskan dosa-dosamu, ayah berlepas tangan padamu, percuma," katanya dingin.
Aku menunduk tahu diri lalu menyerahkan dua bungkus amplop itu pada mas Danu.
"Aku tinggal ya, mas? Nitip buat bapak," kataku berlalu. Benar-benar akan pergi. Mbok Nur mendekapku hanya dengan sesenggukan namun aku segera melepasnya.
Baik, akan kulepas semuanya saat ini. Toh mas Danu sudah pulang.