Hidupku yang aku buat terlunta-lunta dengan pilihanku. Aku tang memilih tetap dalam kubangan dosa mengharap sedikit penghidupan yang lebih baik, aku yang mungkin akan kecanduan dengan hal-hal dosa dan ada masanya aku takut pada diriku yang mempunyai hati begitu keras, bahkan mbok Nur saja menyerah. Aku terima konsekuensiku dan lagi, aku tak akan lagi percaya pada manusia, mami atau Jean sekalipun.
"Nay, hemm, kakaku ada job pemotretan. Sedang mencari model untuk ini karena pemesannya sebuah perusahaan yang lumayan," kata Jean saat kami berada di perpustakaan.
Ya, kami masih sering bersama. Salutnya Jean selalu tutup mulut tak lagi mengusik atau menanyakan kenapa aku disuir dan mungkin juga ia sudah tahu. Dan ia sedang dalam tahap menjauhiku secara perlahan. Tapi sejauh ini aku merasakan jean selalu menawariku pekerjaan. Seperti kemarin aku diajak ke studio kakaknya dan berfoto model. Lumayan sekali 4 sesi foto aku digaji dua ratus ribu rupiah. Jadi malamnya aku sedikit santai tak mengejar pelanggan.
"Apa kakakmu yang meminta?" tanyaku ragu-ragu.
"Hem, Kak Ridwan yang minta aku buat ngajak kamu, Nay," jawab Jean.
"Kenapa nggak kamu aja, Je?" tanyaku. Pasalnya Jean juga cantik dan hampir sama denganku, mempunyai postur tubuh yang baik.
"Nggak boleh jadi model, aku sibuk ngurus restoran. Aku seneng masak, Nay, kapan-kapan mainlah ke restoran kami. Kak Danu bahkan sudah menjadi chef kebanggaan kami, loh," jawab Jean berbinar.
"Apa mas Danu baik?" tanyaku ragu. Dalam hati ingin rasanya mengetahui kabarnya, namun rasanya tak pantas. Aku sudah dibuang dan tak mungkin lagi ditarik.
"Baik, dia sangat baik, Nay," jawab Jean mantab membuatku mengangguk.
"Gimana tawaranku?" tanya Jean.
Aku mengangguk perlahan, "Aku mau."
Kulihat mata Jean kembali berbinar. Ia memelukku manja hingga membuatku sedikit risih dengan apa yang ia lakukan. Aku merasa ada sebuah tali yang mencoba terulur padaku agar aku memegangnya saat aku berada pada jurang tanpa cahaya.
Kami sudah sekolah seminggu yang lalu. Dan selama ini aku menumpang di apartemen om Frrediyan jika kalian tanya. Sejak aku tertidur di ruangan para LC tiba-tiba aku sudah berada di kamar sebuah apartemen. Dan jangan tanya apa kegiatanku. Kini dengan mudah om Frediyan mengendalikanku untuk pergi ataupun tidak. Dia akan langsung datang ke kamar begitu birahinya memuncak. Dan aku harus sedia pengaman dan pil pencegah kehamilan sewaktu-waktu.
"Kamu pindah di mana, Nay? Nanti aku jemput," kata Jean.
"Aku harus jujur atau?" tanyaku menggantung.
"Tunjukan saja jalannya, Nay. Aku tak memaksamu untuk cerita jika kau tak ingin bercerita. Aku tahu kau tahu hukumnya mengumbar aib, bukan?" tanya Jean tegas.
Aku mengangguk. Memang itulah alasanku. Bahkan aku selalu meminta Tuhan menutup aib-aibku.
"Kamu pulang ke rumahku dulu, baru nanti sama-sama berangkatnya," katku antusias.
Aku bahagia karena mungkin terlepas dari nafsu bejat om Frediyan meskipun hanya sementara. Aku senang aku bisa mempunyai uang tanpa harus melayani nafsu dan berbuat dosa. Aku senang jika seandainya ada pekerjaan halal dengan pendapatan besar yang mungkin bisa aku tekuni dan aku terlepas dari dunia hitam ini.
**
"Hay, Nay?" sapa kak Ridwan tersenyum lalu mengelus kepalaku.
"Hay, Kak," jawabku tersenyum dengan senyum terbaik yang aku punya.
"Kita akan pemotretan sebuah produk pakaian dari perusahaan Fred garment, nantinya akan dipasarkan secara Internasional, kalau kau bisa membuat pemilik perusahaan itu tertarik, nanti kau akan dikontrak menjadi model tetapnya," jelas kak Ridwan. Aku mengangguk mengerti.
"Tapi kan aku masih sekolah, kak, mungkin jika ada kesempatan lagi aku bisa menjadi model lepas tanpa kontrak?" tanyaku.
Aku sedikit tahu peraturan kontrak. Dan biasanya ada peraturan bahwa pekerja cukup umur. Masih sekitar setengah tahun lagi aku bisa mencapai itu. Kulihat kak Ridwan terbuka denganku. Ia tak mempermasalahkan latar belakangku. Kata Jean yang penting aku kerja, dia yang akan membela jika di suatu hari nanti ada kendala.
"Model bajunya seperti apa, kak?" tanyaku penasaran.
"Baju santai yang tertutup kok, Nay, yuk berangkat!" kata kak Ridwan, "Jean jadi asisten Naya, ya?"
"Siap!" jawab Jean memberi hormat. Kami tertawa menyiapkan peralatan dan dekorasi yang mungkin nanti dibutuhkan.
Sebuah pabrik yang luas dengan bangunan kantor bertingkat yang mungkin kami akan memasuki salah satu ruangannya. Kami masuk ke lobi dan menunggu kak Ridwan berbicara kepada resepsionis. Aku menangkap sosok sangat kukenal memasuki ruangan dengan beberapa orang di sekelilingnya. Aku membuang muka dengan segera mencoba menutupi bayanganku agar tak tertangkap matanya.
"Naya, Jean, ayo masuk!" seru kak Ridwan dan kami langsung berdiri mengangkati barang-barang kami menuju lift di seberang rombongan yang kuyakini rombongan Om Frediyan.
Kami sedang bersiap-siap dengan beberapa pegawai yang menyiapkan model baju yang akan ku kenakan untuk pemotretan kali ini.
"Kenapa bukan model profesional saja sih? Anak kecil begini mana bisa laku nantinya? Padahal sudah produksi banyak!" gerutu salah satu pegawai.
Aku mendengarnya dengan jelas dan aku tersenyum. Sedetik kemudian aku mempunyai tekad untuk bersikap profesiaonal. Aku mengambil sebuah lipstick menyala agar terkesan dewasa, mereka tak tahu sebenarnya aku juga seorang wanita?
"Apa adanya dirimu saja, Nay, natural. Tak usah pedulikan mereka. Konsepnya santai kok," kata kak Ridwan lembut mengacak lembut rambutku. Aku suka senyumnya. Sikapnya selalu mendamaikan.
"Kaaakk! Duh, aku harus sisir lagi nih, jangan pegang-pegang rambut Naya terus," seru jean.
"Cantik, sih, kalem lagi, pengen aku nikahin aja nggak usah jadi model, ya Nay? Lulus sekolah tak lamar kamu!" seru kak Ridwan yang kutanggapi dengan senyum, miris dan tak pantas.
'Aku... nggak pantas buat kakak," batinku dengan senyum palsu yang tersungging di wajah.
Aku kembali berkutat. Kami sibuk dengan bagian masing-masing. Aku berpose sementara kak Ridwan mengambil foto-foto. Jean merapikan gayaku dan sesekali touch up agar terlihat lebih maksimal.
Ternyata melelahkan hanya berdiri sembari mengambil gaya. Aku duduk di sofa menunggu keputusan tim perusahaan atas pilihan-pilihan fotoku. Ada kebanggaan tersendiri saat atasan mereka memujiku. Aku meminum sirup yang tersedia.
"Kau bakat jadi model, Nay," kata kak Ridwan menhampiriku. Kami memakan snack yang tersedia karena rasanya lapar sekali. Tak lama kemudian Jean menyusul . Selain menjadi asisten ia juga yang mengurus harga dan pembayaran. Aku kagum diusianya ia sudah mahir mengelola bisnis.
"Kau terlihat luar biasa, Nay," puji kak Ridwan.
Aku hanya tersenyum malu atas pujian itu. rasanya tak pantas aku mendapat pujian. Ini baru pengalaman pertama.
"Ini pengalaman pertama," kataku tersenyum.
"Bukankah pengalaman pertama selalu berkesan?" tanya kak Ridwan.
Aku diam karena aku tak suka dengan kalimat itu. Ada luka berongga yang sudah menginfeksi hingga rasanya mati rasa dalam diriku.
***
Follow ig @Ismi_de.y