Merindukan, ah, bukan. Lebih tepatnya mengharapkan setitik rasa hangat dari sebuah hubungan yang disebut keluarga yang sedari dulu tak pernah singgah dalam cerita hidupku adalah sebuah keajaiban. Yang kuingat hanya caci maki dari sanak family dan ayah hanya diam sambil menyungging senyum. Baginya semua santai karena candaan dan caci maki itu kenyataan. Ayah yang hanya buruh serabutan dan banyak nganggurnya. Sementara ibu membantu juga menjadi buruh setrika dari rumah ke rumah sebelum akhirnya membuka jasa penatu.
"Nay, akhir pekan kita liburan, yuk?" kata simbok selepas aku pulang sekolah.
"Kemana mbok?" tanyaku masuk kamar berganti. Aku masih bekerja di restoran milik keluarga Jean selepas sekolah.
"Kalau kamu libur aja, Nduk," jawab mbok Nur lemah. Tangannya masih setia dengan ubi jalar yang akan diolahnya.
"Aku libur kan masih kerja, Mbok?" tanyaku selembut mungkin.