Aku merasa dunia memang sedang tak ingin berteman denganku. Setelah aku kembali dari rumah kulihat barang-barangku sudah berada di luar kost. Dibungkus plastik hitam seperti sampah tak terpakai padahal harusnya uang kost yang kubayar habisnya masih bulan depan.
Aku akan masuk dengan kunci yang kubawa tapi ternyata sudah tidak cocok lagi. Aku langsung pergi menemui pemilik kost di rumahnya yang tak jauh dari sini. Aku sedikit menduga bahwa ini ulah Rizal. Padahal dia sendiri yang minta berhenti dan sepertinya tak begitu serius mengatakan mengajakku berhenti.
"Permisi, Bu, Pak," seruku seraya mengetuk pintu.
Tak ada jawaban. Bahkan semua pintu dan jendela dikunci rapat-rapat. Aku sedang seperti penagih hutang saja saat ini. Aku menunggu hingga rasa kantuk menyerang tak tertahankan. Ya, lelahnya berlipat-lipat. Semalam penuh aku melayani om Frediyan, siangnya aku diusir oleh keluarga. Kini pemilik kost juga turut mengusir.
Aku kembali ke kost menaikan kantong plastik hitam besar. Mereka bahkan tak mengembalikan kasur yang kubeli juga lemari. Bukankah awalnya kost ini hanya berisi tikar?
"Aku harus kemana?" aku duduk untuk beberapa lama lalu kuputuskan menuju tempat kerjaku. Dengan susah payah aku membuat simpul agar bisa membawanya.
"Saya tidak akan pernah ikhlas dengan harta saya yang diambil paksa, maka serahkan pada alam yang memiliki karma," kataku dengan sedikit menaikan suara.
Angin seolah menjawab, aku berlalu bersama barang-barang yang tak berbentuk.
"Kau pindahan?" tanya mami saat melihatku turun dengan bawaan yang masih di motor.
"Mami ada tempat untukku menginap?" tanyaku tak menggubris pertanyaannya.
"Ada, tapi kenapa?" tanya mami.
"Aku diusir," jawabku apa adanya.
"Apa karena lelaki yang sering mengantarmu?" tanya mami.
"Saya nggak tahu, sekarang saya diusir oleh keluarga, oleh ibu kost," jawabku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selesai mandi kulihat teman-teman mengerumuni Diora yang terduduk dengan mata sembab. Aku tak begitu peduli setelah ia menamparku dengan tiba-tiba beberapa waktu yang lalu. Bahkan aku tak tahu salahku dan dia langsung pergi setelah menamparku. Aku duduk menjauh namun masih bisa mendengar keramaian dari tangis Diora.
"Pelangganmu datang, Nay," kata mami.
Aku mengernyit. Sejak aku berharap tak lagi di booking oleh om Frediyan, sejak saat itu dia terus mengejar dan meminta diriku melayaninya meskipun aku kekeuh pada tanggalnya. Sekarang bukan tanggalnya maka aku tak mau menemaninya malam ini.
"Biar aku saja, mi, saya akan jujur padanya," kata Diora dengan mata berbinar.
"Coba saja katakan Naya lelah tak ingin diganggu," kata mami akhirnya.
Dengan langkah terburu-buru ia melangkah keluar ruangan. Aku butuh kamar untuk istirahat, bukan untuk melayani laki-laki bejat. Bahkan sakit dari semalam belum hilang. Aku tiduran di sofa, malas untuk keluar. Bahkan aku tak merias wajah.
"Saya ijin malam ini, mi," kataku saat mami akan mengeluarkan suara pedasnya.
"Kau yang paling rendah kontribusinya di sini, Nay, harusnya kau lebih berusaha!" kata mami akhirnya.
"Mami bosan sama saya?" tanyaku akhirnya.
"Bahkan aku mempersilakan kau berhenti kapan saja!" jawabnya tegas.
Aku menghela nafas berat lalu merebahkan diri di sofa. Bau rokok bercampur parfum dari teman-teman membuatku semakin pening. Perlahan kesadaranku hilang. Aku benar-benar lelah, sekali lagi, ingin istirahat.
"Aku mau Naya, bukan Diora," kata seseorang sebelum kesadaranku benar-benar hilang.
"Bahkan aku mempersilakan kau berhenti kapan saja!" kata itu terngiang begitu saja menghantui tidurku. Hatiku menyesak seolah sebuah kalimat pengusiran hari ini begitu menjadi teman bagiku.
Dalam tidurku kudengar sayup-sayup keributan yang menggangguku pada awalnya, namun aku ingin tidur. Hari ini cukup bagiku, esok mungkin aku akn benar-benar pergi dan mencari sumber penghasilan baru. Toh ada tawaran menjadi model meskipun bukan dari agensi ternama, hanya jasa fotografer yang karyanya sedang ramai bahkan kata Jean sebuah pabrik sering meminta foto produk dan meminta model sekalian.
**
"Simbok?" panggilku pada seorang wanita bersahaja yang tiba-tiba duduk disebelahku.
Mungkin aku bermimpi namun rasanya begitu membahagiakan. Aku ingin bersandar sebentar pada mbok Nur, nenek tiri yang baik. Aku ingin berkeluh kesah dan mendengarkan omelannya.
"Nay," katanya dengan senyum samar. Senyum dengan kegetiran yang kentara.
"Mbok Nur pasti kecewa," kataku sembari menunduk.
Katanya mimpi juga akan hadir dalam keresahan hati yang mendera. Ia datang tanpa permisi mengoyak hati bahkan jiwa. Kadang ia datang memberi hiburan dari setiap duka lara. Terkadang juga ia datang menjadi pertanda yang tak akan pernah di sangka-sangka. Tapi terkadang juga sebagai wujud dari sebuah kerinduan tanpa ujung.
"Iya. mbok Nur sangat kecewa, pada awalnya, Nay. Bahkan mbok pernah berjanji untuk tak menerimamu lagi," kata mnok Nur.
"Aku cuma pengen bisa hidup layak, mbok, aku belum bisa menerima dengan segala yang Tuhan kasih. Aku selalu dibeda karena miskin. Dan aku benci itu semua, aku juga ingin diakui, bisa mencari pendapatan sendiri," jawabku.
"Kapan kau pulang, simbok akan selalu membuka lebar pintu rumah, Nay," katanya lalu beranjak dan menghilang.
Samar-samar kulihat cahaya putih mengelilinginya. Ia digandeng oleh dua orang wanita dengan cahaya lalu menghilang. Seketika aku sudah berada di sebuah sabana. Hamparannya seolah tak terbatas. Tak ada tumbuhan kayu dan sangat terik.
"Seperti itulah hidup dengan tanpa sandaran, Nay, indah namun tak berpelindung," kata seseorang di belakangku. aku menoleh dan kudapati Jean sedang tersenyum menggenggam payung.
"Jean?" aku mencoba memanggilnya. Memastikan bahwa itu memeng Jean.
"Kau tak selamanya sendiri, Nay," kata Jean lalu juga menghilang.
Aku terbangun. Mimpi barusan rasanya nyata sekali. Seolah Tuhan sedang berbaik hati, mencoba memberikan sedikit cahaya kepadaku. Aku mencoba mencerna apa yang akan terjadi atau kemungkinan terjadi. Rasanya ada yang aneh juga dengan lingkungan tempatku membuka mata saat ini. Rasanya sangat asing.
"Siapa yang mindah?" kataku kini sembari melihat ruangan tempatku.
"Ini di mana? masih di mimpi?" aku kembali bertanya dengan mengeraskan suara.
"Sudah bangun, Nay?" tanya seseorang yang sudah kuhafal.
"Om Fred?" tanyaku membelalak.
"Kata mami kau diusir keluarga dan kost. Sementara mucikarimu juga tak begitu menyuakimu kan? kau tinggallah disini," kata om Frediyan.
"Saya kerja atau numpang?" tanyaku memastikan.
Om Frediyan tersenyum miring lalu menatapku serius, "Jadi jalangku Nay, sampai aku menemukan wanita baik yang akan aku nikahi," kata om Frediyan.
Sementara aku kembali miris. Kini statusku sekaligus budak. Aku harus melayaninya tanpa ikatan. Mungkin bayaran. Akhirnya kembali anggukan kepala yang bisa kusuguhkan. Om Frediyan terkekeh lalu pergi meninggalkanku di kamar bersama dengan barang-barangku yang masiih dalam tas kresek.
**
Maaf singkat banget, aku udah gumoh-gumoh sama keyboard minggu ini
Follow ig @ismi_de.y