Chereads / Inayah, Mengurai Gelap / Chapter 6 - VIRUS TAI KUCING

Chapter 6 - VIRUS TAI KUCING

Sejak pertemuan dengan kak Rudi di jembatan aku mulai sering ijin pulang terlambat dengan alasan belajar bersama Raya. Memang belajar, kita sering ke rumah kak Rudi untuk mengerjakan PR. Lumayan jika ada kesulitan ada yang membimbing. Aku senang sekali seolah punya guru les gratis.

"Kamu belajar di mana sebenarnya, Nay?" tanya mbok Nur. Mungkin karena saking seringnya aku ijin meskipun tiap maghrib aku sudah berada di rumah.

"Namanya kak Rudi. Aku dan Raya diajari banyak kalau sedang mengerjakan PR," jawabku semangat. Simbok menatapku sesaat.

"Kau suka dengan kak Rudi itu?" tanya Mbok Nur kemudian.

"Ehm, suka."

"Ibumu jadi sedikit kewalahan kalau kamu banyak ijin dan nggak menentu begini, Nay," kata Mbok Nur.

"Apa itu les? Atau belajar bareng aja Nay? Kak Rudi itu minta bayaran nggak?" tanya Ibu sambil merampungkan pekerjaannya.

Ya, jadwalku membantu setrika sepulang sekolah, jadi jika terlambat pulang maka tidak ada yang membantu ibu. Konsekuensi dari lebih banyaknya ijin tentu saja aku kehilangan upah. Tapi entah aku senang. Ternyata ada yang lebih membahagiakan dari sebuah jerih payah, mungkin salah satunya pertemanan.

"Kak Rudi itu pacarnya Raya, jadi bukan les, masak pacaran minta bayar?" kataku sedikit tertawa.

"Seberapa lama pacarannya, Nay? Kalian masih bocah!" sahut Mbok Nur.

"Selama bisa dimanfaatkan kenapa tidak, kan, Mbok?" jawabku santai.

Simbok dan ibu kembali diam. Nafasnya sedikit kasar. Aku tetap pada pendirian bahwa kak Rudi adalah orang yang baik dan sempurna. Mungkin aku suka, suka yang lebih menonjol dari rasa sungkan saja. Tapi aku harus menyembunyikan rasaku ini pada Raya.

"Aku putus sama kak Rudi," kata Raya tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Dia ada gebetan lain."

Aku terdiam. Baru dua minggu kami bertemu delapan kali. Ini hal yang menyenangkan. Rasanya perkataan Mbok Nur benar, berapa lama pacarannya?

"Kamu nggak suka kak Rudi?" tanya Raya tiba-tiba.

"Maksudnya suka yang gimana, Ray?" tanyaku.

"Aku diputusin kak Rudi karena dia suka kamu, lebih milih kamu, Nay. Katanya kamu anak yang kalem," jawab Raya.

Benarkah? Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di taman otakku. Sunggu indah dan cantik. Aku tersipu, tapi tetap menyimpan perasaan yang sebenarnya ingin berjingkrak.

"Hati-hati virus, Nay," aku teringat ucapan ibu tadi pagi.

***

Aku sudah akan membuang jauh-jauh dendam dan akan kembali percaya pada manusia. Diusia yang kata orang labil ini aku mulai membuat keputusan. Hanya keputusan kecil yang tidak akan berpengaruh pada masa depanku. Aku ingin remajaku juga seperti mereka yang berbahagia, mulai menjalin hubungan, atau sekedar menjadi pemuja rahasia yang namanya akan selalu ia ingat dalam mimpi-mimpinya.

"Aku nggak ngira kamu juga suka nikung, Nay? Bakat kamu jadi pelacur!" kata Raya akhirnya.

Tentu saja aku terperangah. Bagaimana tidak? Selama ini aku menemaninya juga bukan keinginanku. Dia yang selalu minta untuk ditemani. Jadi aku tetap salah padahal juga permintaannya, meskipun aku mengharapkan juga setiap pertemuan diajak. Sudah kubilang kak Rudi menjadi guru privat gratis, meskipun nebeng Raya.

"Aku nggak tahu yang kamu nikung itu yang gimana? Tapi kau tahu sendiri aku tak punya alat komunikasi atau apapun. Jika di rumah kak Rudipun bukankah aku yang selalu kalian tinggal?" jawabku membela diri.

"Aku sering mergoki kamu senyum-senyum sama kak Rudi! Mau ngelak gimana lagi? Nyesel aku temenan sama kamu, aku udah nggak kenal lagi sama kamu, Nay, munafik!" kata-kata Raya sangat menyudutkan. Aku tak terima tapi pembelaan yang akan aku lontarkan tercekat di kerongkongan.

Raya pergi begitu saja tanpa lagi menoleh. Apa patah hati seperti ini Raya ini? Menyalahkan semua yang tidak bersalah, seolah-olah dia yang paling di sakiti.

"Lagi marahan?" tanya Rizal yang sudah duduk di bangku taman sebelahku.

"Kau menguping?" tanyaku penasaran.

"Apapun tentang kamu itu menarik, Nay," jawabnya mulai berani menyisipkan rambut di belakang telingaku.

Aku menghindar dengan reflek. Hatiku bergemuruh, sakit hati rasanya diperlakukan seperti cewek murahan.

"Kau marah? Hey! Aku hanya membantu menyelipkan anak rambut! Bahkan kak Rudi menciummu kau diam saja?" kata Rizal dengan senyum miringnya, mengejek.

"Kau murahan juga, ya?" lanjutnya.

Hatiku benar-benar meledak akhirnya. Amarah yang kian membuncah tapi aku bisa apa? Semua kembali kutelan dengan diam. Dengan dendam yang kian membara. Aku bukan lagi Naya yang kalem, baiklah.

"Iya, aku murahan, kau mau janjian berapa denganku, Zal?" kataku menantang, mengubur jauh-jauh malu, menyirami dendam.

Rizal terdiam menatapku tajam, dengan muka merah padam.

***

Menahan hati, menahan marah sudah menjadi keahlian. Santai saja, aku bukannya menerima saja suara dan gosip-gosip yang beredar. Aku diam untuk memupuk dendam. Aku memang miskin sekarang. Mungkin menjadi murahan menjadi batu lompatan bagiku menjadi lebih punya dari mereka? Persetan dengan segala tatapan dan sindiran yang merendahkan.

"Wah, anak kalem ternyata mulai kenal pacaran," suara seseorang yang aku saja tidak begitu mengenalnya.

Semua tatapan yang tiba-tiba berubah hari ini setelah percakapanku dengan Raya memang sangat asing. Seolah aku sangat bersalah di sini.

"Nay, ini benar kamu?" tanya Santi menunjukan sebuah foto.

Aku terperangah untuk kedua kalinya. Fotoku saat tiba-tiba kak Rudi mengecup pipiku di pertemuan pertama kita. Wajahku memanas tanpa kupinta, dadaku makin sesak, sementara harga diriku kian terkoyak, ya, aku terlihat sangat salah. Sialnya aku tak punya argumen atau bukti pembelaan. Yang tahu sebenarnya hanya Raya yang mungkin menyangkalnya.

"Fotomu sudah tersebar ke seluruh sekolah, sebentar lagi pasti guru BK datang," kata Santi lagi.

"Dateng aja kesini, biar sekalian aku kenalkan diriku yang baru," ujarku menantang. Setiap ucapan yang terlontar hanya menjadi pupuk paling manjur untuk menyuburkan dendam.

"Aku tidak menghakimi orang kayak kamu, Nay," kata Santi tersenyum lalu duduk di sebelahku menggantikan Raya yang kini menyendiri, ah bukan menyendiri. Ia sedang bersama teman-teman barunya.

"Kau tak belajar, Nay?" tanya ibu. Ia sedang menyiapkan baju yang akan disetrika, disendirikan menurut keranjang milik orang yang memakai jasa.

"Nggak, Bu, Raya sudah putus dengan kak Rudi."

Ibu dan Mbok Nur diam. Aku fokus saja dengan pekerjaanku. Menyalurkan perasaan negatif hari ini, sungguh aku ingin mencabik-cabik mulut mereka.

"Tak usah tergesa seperti itu, Nay," kata Ibu.

Aku diam dengan tangan yang kian lincah menatu baju-baju milik mereka yang memakai jasa kami, kadang bahan bagus dan mahal kadang sekedar kaos oblong atau celana usang juga.

"Nay, kamu ada masalah, Nak?" tanya Mbok Nur lembut.

Aku menggeleng saja. Terus dengan aksi diam seribu bahasa.

Suara motor terdengar menderu di depan rumah. Aku tak menggubris kendati ibu dan Mbok Nur saling menatap lalu menatapku minta penjelasan.

***

"Siapa?" tanya Simbok Nur memintaku menemui.

"Aku kan belum keluar, Mbok, mana Nay tahu?" jawabku sedikit ketus.

"Yaudah temui, sepertinya teman sekolahmu," kata Mbok Nur lalu masuk menuju dapur.

Aku keluar rumah juga akhirnya setelah menyelesaikan 1 pak setrika. Menerka siapa yang berkunjung. Aku tidak yakin benar karena Rayapun tak pernah kutunjuki jalan menuju rumah. Apalagi alamat tempat tinggalku. Aku malu mengajak mereka pulang, karena pada akhirnya selain tak punya ruang tamu, mereka pasti mengejek gubug reyot Mbok Nur ini.

Dengan tatapan menelisik tak suka aku keluar mendapati siapa yang datang. Siapa yang menunjukan jalan dan memberitahu alamatku?

"Kenapa, Zal?" tanyaku mendekati motornya.

"Kamu wangi sekali?" Rizal tersenyum tak menggubris pertanyaan yang aku lontarkan.

"Habis setrika?" ia hanya kembali bertanya.

Aku mengangguk. Melupakan pertanyaanku sendiri. Berdiri di sebelah motor matic yang ia kendarai.

"Aku terima tawaranmu, Nay," katanya kemudian.

Hatiku yang sudah lumayan tenang kembali bergemuruh, tak enak. Antara tak terima tapi tekadku sudah bulat. Aku mengangguk lalu bergegas masuk mengganti mengambil tas.

"Mbok, Nay ijin mau belajar kelompok," kataku berpamitan pada Mbok Nay. Seperti biasa mukanya penuh selidik. Ah, aku kesal jika harus berdebat.

"Bu, Nay mau belajar kelompok," pamitku pada ibu.

Setelah mendapat ijin dengan menyebut nama Rizal dan teman sekolah aku keluar dengan celana pendek dan kaos kucel. Seadanya. Aku tak punya baju bagus untuk sekedar pergi kondangan karena memang tidak pernah kondangan. Semua kegiatan dengan baju seadanya yang kebanyakan dari Bude Helmi, istrinya pakde Daryanto, ah, bagaimana kabar keluarga itu?

Rizal menatapku dari ujung rambut ke kaki. Tatapannya menunjukkan tanya.

"Aku ijin belajar kelompok, Zal, tak mungkin aku jujur," kataku lirih.

"Bajumu tak ada yang lebih blawus?" tanya Rizal akhirnya.

"Banyak, tapi aku malas ganti, semua bajuku seperti ini," jawabku jujur tapi menahan malu.

Rizal mengangguk lalu memberi isyarat untuk naik. Kami mulai melaju kutatap lagi rumah reyot milik Mbok Nur. Beliau tampak di depan rumah melambaikan tangan sembari memberi isyarat dengan mulutnya: "hati-hati."

***

Aku mengangguk menandakan pamit untuk sekali lagi. Aku masih jadi anak yang baik dan akan pamit jika akan pergi, meskipun sekedar mengantar baju yang sudah dipenatu.

"Mau kemana kita, Zal?" aku bertanya selang beberapa menit perjalanan.

"Ikut ajalah, Nay," jawabnya santai.

Ada sosok Rizal yang baru kukenal. Dia yang biasanya diam dan hanya mengikuti atau tiba-tiba muncul kini seolah berubah menjadi orang asing, orang yang berbeda.

"Aku nggak banyak uang untuk bayar kencan pertama kita, Nay, jadi di jembatan tempat kamu dan cowok itu sajalah," katanya lalu memarkirkan motornya. Aku mengikuti saja dengan kikuk.

Menikmati pemandangan dengan diam. Menerka-nerka apa saja yang harus aku lakukan setelah ini, atau sekedar memantapkan hati bahwa aku sudah benar dengan jalan ini.

"Kau tahu aku suka kamu sejak kelas satu, Nay," ujar Rizal memecah hening dan diam diantara kami.

Aku masih tak ingin menjawab. Aku masih menguatkan tekad untuk menjadi Naya yang baru.

"Kau sulit dijangkau dan aku suka," lanjut Rizal sembari menyesap nikotin yang entah sejak kapan ia menyulutnya.

"Kau mandiri, dewasa, dan… manis," katanya menghembuskan napas bersamaan dengan asap dengan bau yang menyeruak memenuhi tenggorokan.

Aku terbatuk tentu saja. Bapak dan kak Danu juga perokok tapi mereka tak sekalipun merokok dengan sengaja meniupkan asapnya tepat dimuka.

Rizal tertawa mengejek, "kau harus terbiasa seperti ini, Nay, jika mau lanjut," katanya dengan senyum miring. Khas dengan nada ejekan.

"Aku cinta kamu, Nay, sampai detik ini, jadi aku yang akan dampingi kamu melewati masa-masa penyesuaian ini," kata Rizal lagi.

"Cinta? Oh kata Simbok Cinta itu tai kucing rasa coklat, kau tak jijik?" kataku menahan napas.

"Ya, anggaplah aku terkena virus tai kucing, Nay, buat kamu. Aku yang akan jadi jasa ojek gratis kemana kau pergi nantinya," tawar Rizal.

Aku tersenyum merasa ada yang mendukung lagi kali ini. Berarti ia harus berterima kasih jika nanti ia mendapat penghasilan lebih.

"Kau tak punya ponsel, jadi biar aku yang ngiklan, anggaplah aku manajermu, hahaha…" katanya lagi.

"Kita bagi dua hasilnya?" tanyaku polos.

"Kau bayar pakai cinta kamu aja, Nay," jawabnya dengan mengerling.

Sekonyong-konyong ia memelukku tanpa ijin dan aku tak bisa mundur lagi.