Saya tak yakin jika semua manusia hidupnya lurus terus menerus tanpa pernah dosa. Tapi kebanyakan dari mereka merasa dirinya memang tak berdosa. Merasa dirinya paling suci paling benar dan semua tindakan pembenaran yang sebenarnya jauh dari kebenaran. Aku tersenyum dengan keadaanku kini. Bulan depan aku sudah Ujian Nasional dan sekarang aku di sini, sebuah karaoke di tempat terpencil yang memperkerjakan wanita-wanita sebagi teman bernyanyi terkadang dengan bonus plus.
"Naya, jatahmu Nemani tamu," kata Diora, temanku disini. Hanya kami yang masih pelajar SMP di sini. Lainnya sudah SMA atau lulus sekolah.
"Siapa?" tanyaku penasaran dengan tamuku.
"Masih muda, kalau nggak kuliah juga pasti masih SMA," jawabnya berlalu.
Aku beranjak merapikan riasan menorku agar terlihat sedikit dewasa. Jika kalian penasaran bagaimana aku bisa sampai sini, akan kuceritakan sebentar lagi setelah aku bertemu tamu hari ini.
Aku memasuki bilik kecil yang hanya terdapat CD pemutar, LED, mic dan perangkat lain beserta tempat duduk yang cukup maksimal berlima. Biasanya pekerja seperti kami membantu menyiapkan pesanan, menemaninya bernyanyi, atau jika sudah 17 tahun boleh ditambah pelayanan plus untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Aku belum boleh untuk sampai tahap itu meskipun terkadang ada tamu yang nakal dan ngeyel memaksaku memberikan pelayanan plus.
"Hai, lama nunggu?" tanyaku mendapati seorang laki-laki duduk membelakangi pintu. Ia masih tak menoleh atau menjawab. Ia sibuk memilih lagu yang mungkin nanti akan ia nyanyikan.
"Hay, Nay, apa kabar?" tanyanya masih membelakangi.
Aku diam. Membeku untuk beberapa waktu. Untuk apa dia datang? Setelah membuat hubunganku dengan Raya renggang bahkan musuhan hingga Raya membuat fitnah yang kini aku buktikan, cewek murahan.
"Baik, kak… kamu apa kabar?" tanyaku akhirnya. Tanganku mendadak dingin, udara seakan tak mau kuhirup. Sesak.
"Aku tak baik, Nay," kali ini ia menoleh. Menatapku dengan tatapan kecewa.
"Kenapa? Lagi patah hati ya? Sini-sini aku peluk biar tenang," kataku manja, tepatnya semanja yang aku bisa. Sudah biasa menenangkan mereka yang patah hati putus pacar, dilecehkan, meskipun belum sampai aku menyerahkan semuanya.
"Kalau lebih hari peluk boleh?" tanyanya sambil memelukku dalam pangkuannya.
Ya, dia kak Rudi. Orang yang pernah aku sukai setahun lalu. Kami tak lagi bersama setelah Raya memutuskan untuk tidak lagi berteman dan menyebar foto yang sudah dipotong untuk menghasut teman-teman.
"Nggak kak, nunggu sampai cukup umur," jawabku manja.
"Aku… barusan putus sama Raya," katanya.
***
"Bukankah sudah setahun lalu?" tanyaku mencoba melihat wajahnya.
"Setahun lalu kau menghilang, Nay, katanya kau tak mau lagi berteman dengan Raya karena… siapa ya? Oh Rizal, katanya Rizal mengajakmu kerja?" kata Kak Rudi.
Aku tersenyum saja. Memang yang mengajakku kesini Rizal. Selama ini dia mengantar dan menjemput di ujung kampung. Dia menjadi ojek gratis dengan imbalan plus. Anggap saja begitu. Lumayan, hal yang mudah meskipun risih pada awalnya.
"Kata Raya, kakak dan dia udah putus karena Kaka suka Naya," kataku manja.
Dia mengelus puncak rambutku lembut sembari tersenyum dengan manis. Tangannya menyingkirkan anak rambut yang sedikit tak rapi. Rambut yang sudah kutata dengan segenap jiwa.
"Aku memang suka kamu, Nay, aku berniat mendekatimu dulu sebelum kau hilang," jawabnya.
"Aku tak menghilang, kak, nyatanya aku masih sekolah sampai sekarang," jawabku lagi-lagi manja dengan tangan yang sudah merangkul lebih kencang.
"Seberapa berat hidup yang kau jalani, Nay?" tanya kak Rizal kali ini benar-benar fokus.
Aku hanya diam. Dia tak perlu tahu, begitu pula semua orang. Biar aku saja yang tahu, nanti saatnya tiba aku akan menuliskan seluruh kisah hidupku. Nanti, jika aku sudah siap jika dunia menghujat. Sekarang aku belum siap.
"Kakak nggak pesen minum?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Kak Rudi tampak bingung karena tak kujawab. Ia hanya meraih sebotol bir yang katanya nol persen alkohol lalu menenggaknya. Aku mulai menyisipkan nikotin yang sudah kusiapkan di mulutku, menyalakan dengan korek lalu menghirup kuat lalu melepaskan pelan-pelan. Mataku menerawang pada asap yang terbang lambat laun menghilang seperti juga kerisauanku.
"Kau sudah lama merokok juga?" tanya Kak Rizal mencabut rokok dimulutku lalu memindahkan ke mulutnya. Sama, menyesapnya lalu melepaskan pelan-pelan.
"Enam bulanan, menjadi bejat juga harus belajar, kak!" aku tergelak tertawa lepas, menertawakan nasib dan keputusanku.
"Hari ini biar aku antar kamu pulang, Nay," kata kak Rizal serius.
"Sampai mana?" aku menantang. Seberani apa dia mengantarku nanti.
"Sekarang saja kita pulang, kau terlihat sangat kuyu, terlihat kurang tidur?" jawabnya mantab.
***
Aku tersenyum melihatnya mengajakku keluar. Ini baru jam 12 malam yang artinya baru kerja sekitar 2 jam. Jika tak ada tip minim sekali pendapatanku. Aku menggeleng lemah.
"Atau belanja?" tanya kak Rudi dengan berbinar.
"Kak Rudi bawa uang berapa?" tanyaku lugas. Sengaja agar dia tahu diri.
Dia kembali duduk dengan wajah lemah. Jarinya mengetuk-ngetuk meja. Aku mengambil mic dan memilih lagu yang mungkin kak Rudi suka. Dia mengamati gerak gerik ku yang sudah lumayan lincah.
"Waktu kakak kan sejam, dimulai aja nyanyi, nanti keburu habis loh, pakai jasa LC lumayan mahal, kak!" kataku menyentuhnya. Dia sedikit berjingkat.
"Kau begini juga pada setiap tamu?" tanya Kak Rudi dengan mata yang nyaris keluar.
Aku tertawa renyah. Menertawakan diri sendiri, menertawakan keputusan dan kebahagiaan ini. Aku senang meskipun sering harus senam jantung jika akan keluar menelusup dinding gedeg yang sengaja aku lubangi untuk akses keluar masuk tiap malam dan pagi.
Akan kuceritakan sedikit bahwa aku keluar jam 9 malam dan pulang jam 2 pagi lalu tidur dan akan dibangunkan Mbok Nur jam 4 atau subuh. Jam tidurku hanya dua jam jika malam, sisanya di sekolah, hahaha….
"Nay, kau ngantuk?" tanya Santi.
"Setiap hari, aku ingin hari libur biar bisa istirahat…," rengekku.
"Kau berhenti sajalah Nay, masih kecil, sebentar lagi kita ujian, lho?" rayu Santi. Ya, Santi dan Raya tahu aku pekerja malam dengan keputusanku. Raya juga yang menyebarkan seantero sekolah tentang pekerjaan yang aku jalani. Hanya aku sudah cukup tebal muka menghadapi cemoohan mereka. Siapa mereka? Bahkan serupiahpun aku tak makan dari hasil keringat mereka.
"Aku masih punya mimpi, San," jawabku santai.
"Apa?" tanya Santi sekilas tak peduli.
"Beli rumah yang pernah direbut pakde," kataku mantab.
Tabunganku sudah beranak pinak hanya dengan menjadi pemandu karaoke. Tip para bapak ganteng kaya seringkali besar jadi jika ada yang kebagian banyak seringnya dibagi-bagi. Mungkin sebentar lagi memasuki angka dimana ibu pinjam dulu. Aku tersenyum senang.
"Kau… masih sholat?" tanya Santi ragu-ragu.
"Masih, hanya belum taubat saja."
***
"Nay, kau terlihat sangat mengantuk, apa kegiatan sekolah sangat berat?" tanya ibu sepulang sekolah. Aku mengangguk saja lalu masuk kamar. Yap, kamar yang kuminta semenjak kerja menjadi pemandu karaoke. Hanya bilik yang juga dari triplek dengan pintu yang untungnya bisa aku kunci dari dalam.
"Aku boleh tidak membantu ibu hari ini?" tanyaku saat keluar setelah berganti baju. Tentu aku mempunyai baju yang lumayan kini.
"Boleh, istirahat sajalah Nay, untungnya setrikaan juga sedang tidak banyak akhir-akhir ini," kata ibu.
Aku memandang ibu sekilas sembari mencoba tersenyum. Berdoa agar kelakuanku belum ketahuan dalam jangka waktu dekat ini. Apa ini karena dosaku? Hey, aku sudah baligh dan mendewasa. Bahkan perubahan tubuhku sangat kentara dan baiknya aku tak diganggu di sekolah meskipun kabar bahwa aku kerja malam tersebar seantero sekolah.
Ruangan yang gelap, dingin, namun menenangkan ini sebagai tempat aku, bapak, dan ibu berlindung. Aku membuka tas usang yang sengaja kubiarkan usang untuk menyimpan buku bank. Sebentar lagi, Nay, bersabarlah sebentar lagi hanya sampai rangkaian ujian sekolah selesai. Aku akan menggenggam kembali apa yang harusnya aku genggam nantinya.
'Kemarin aku bilang cuti sebulan, Zal.' aku memberi pesan singkat untuk Rizal lewat ponsel yang kusembunyikan di kamar. Segera aku mengambil posisi untuk tidur siang. Hal istimewa yang sudah lama sekali tak bisa kulakukan.
Setiap perjuangan pasti ada konsekuensi bukan? Aku hanya terus berusaha menguatkan hati dan meyakini bahwa aku sudah melakukan hal yang benar. Aku bisa memperlihatkan diriku apa adanya di depan orang-orang yang biasa melihatku. Hanya baju-baju saja yang tampak berubah, aku mulai mengoleksinya sejak tiga bulan bekerja. Meskipun aku tinggal di tempat kerja pada akhirnya. Di rumah masih mengenakan kaos oblong yang lumayan baru.
"Nay, bajumu bagus-bagus akhir ini?" tanya Mbok Nur saat kami menyelesaikan membungkus growol dan cenil.
"Nabung mbok, lumayan ganti suasana," jawabku santai dan santun seperti biasa.
"Apa cukup dari bekerja sama simbok dan ibumu?" tanya Mbok Nur lagi.
"Ya, dari tabungan itu mbok, misal lebih dari cukup kalau pas nggak banyak iuran," jawabku mulai ragu-ragu.
"Kenapa Mbok?" tanyaku.
"Kalau tidur malam mesti banget ya dikunci pintunya?" tanya ibu akhirnya.
"I…ya? Kenapa memangnya bu?" tanyaku sudah mulai resah.