Urusan uang LKS sudah selesai dan ternyata bukan hanya aku saja yang dipalak. Wali kelas langsung mengganti bendahara kelas. Santi masih dalam masa skors hari ini. Ia di skorsing selama seminggu. Ada perasaan bangga sekaligus bersalah karena sudah membuat satu temanku dihukum. Sudah lama aku menyicil dengan uang mingguan hasil bantu ibu setrika dan bantu mbok Nur yang akan jadi uang jajan dan iuran.
"Aku kok merasa bersalah sama Sinta," kataku pada Raya.
"Ya, gimana lagi, Nay? Harus dikasih pelajaran, kan?" jawab Raya santai.
"Semoga tetap pada mau berteman dengannya, genknya itu kan solid, kenapa kemarin nggak membela coba?" tanya Naya.
"Mereka yang manfaatin Santi, jadi sebenarnya Santi malak teman-teman karena ia dipalak Putri dan kawanannya," jelas Raya.
"Kok kamu nggak bilang Bu Guru?" tanyaku heran.
"Itu kan desas-desus, Nay, kayak kabar Rizal suka sama kamu?" goda Raya.
Aku mencebikan pipi. Raya hanya tertawa terpingkal-pingkal jika sedang menggodaku. Aku masih kecil dan belum ingin mengetahui apa itu suka dan yang dikatakan cinta. Menurutku aku harus lebih berusaha agar tak terlihat miskin sendiri di sekolah.
Santi kembali ke sekolah dengan aura yang luar biasa aneh menurutku. Sikapnya lebih genit kepada teman laki-laki dan pasti dijauhi oleh teman-teman yang dipalak kemarin. Aku kembali merasa bersalah saat tak ada teman perempuan yang mau sebangku dengannya.
"Nay, Lo mau sebangku sama dia?" tanya Naya yang selama ini teman sebangkuku.
"Kamu mau pindah, Ray?" tanyaku ragu.
"Katanya kamu mau minta maaf?" tanya Raya.
Aku mengangguk dan membawa barang-barangku menuju mejanya. Santi sedang ke kamar kecil, jadi aku langsung mengambil posisi duduk di sebelahnya. Tak lama Santi masuk kelas mendapatiku duduk di bangkunya.
"Ngapain kamu?" tanya Santi tak suka.
"Mau minta maaf, terus jadi teman sebangku kamu," jawabku polos. Jujur sajalah tak perlu banyak alasan.
"Nggak perlu sok baik, aku udah nggak percaya sama yang namanya teman, jadi kamu balik aja sama teman kamu yang baik hati dan kaya itu," ujar Santi sinis.
Raya memang dari keluarga yang cukup berada. Kami berteman sejak pertama kali masuk sekolah, dan dia sama sekali tak pernah menyinggung keluargaku. Yang dia tahu aku hidup menumpang, ibuku punya jasa setrika, dan kakakku pergi.
"Ya udah, aku cuma mau minta maaf soal kemarin, San, aku nggak bermaksud bikin kamu dihukum, aku cuma pengen keadilan, aku nyari uang sendiri, jikalau harus minta aku harus membantu dulu, bukan minta langsung cair, sekali lagi aku minta maaf, San," kataku selembut dan sesabar yang kubisa.
Santi tambah acuh tapi muka dan air matanya menggenang. Aku pamit memunguti kembali barang-barangku dan akan beranjak menuju tempatku semula bersama Raya tanpa sepengetahuan Raya.
"Hati-hati dengan Raya, Nay, siapa tahu ada maksud yang tersembunyi nantinya," katanya sesaat sebelum aku beranjak.
Aku hanya tersenyum. Tentu saja hanya aku dan Santi yang mendengar percakapan kami. Kelas sedang riuh ramai seperti pasar, obrolan tak jelas dari kelompok-kelompok yang sedang berdekatan, aku tak paham tapi kulihat Raya sangat sibuk dengan ponselnya. Bahkan sebagian kami tak membawa ponsel ke sekolah. Langkahku mendekat mendapatinya sedang berbalas pesan. Aku hanya langsung duduk di dekatnya tanpa bermaksud mengganggu.
"Ih, ngagetin aja kamu, Nay," katanya langsung memasukkan ponselnya kedalam laci. Mukanya terlihat kesal saat mendapatiku kembali duduk bersamanya.
"Sibuk apa sih, sampe diumpetin?" godaku. Mungkin dia sedang pdkt dengan teman atau siapalah karena mukanya tersenyum saja waktu berbalas pesan.
"Bisnis, dong, aku kan udah pinter cari uang," katanya sambil mengerlingkan matanya. Aku jijik, sumpah.
"Sejak kapan Raya genit?" kataku sambil mengambil posisi duduk kembali di sebelahnya. Dia tampak mengambil kembali ponselnya dan sibuk.
"Kalo kamu mau, nanti aku kasih tahu, tapi janji nggak boleh ngadu ke BK atau guru," katanya dengan nada yang menjanjikan sedikit mengancam.
"Hasilnya berapa? Kalau bisnis online aku nggak bisa, kan kami tahu aku nggak punya ponsel?" kataku dengan senyum terpaksa.
Jangankan ponsel, bahkan tv kami tak punya. Biasanya berita dan info kami dapatkan dari radio lokal yang sering diputar mbok Nur untuk menemani kami mengemas jajanan pasar. Ah, itu seminggu aku kerja saja hanya diberi upah sekitar 70ribu rupiah ditambah yang dari jasa setrika 20 hingga 30 ribu rupiah untuk uang saku, tabungan, iuran, dan tabungan. Untungnya aku sekolah di SMP Negeri yang SPP gratis.
"Hasil seharinya bisa sama dengan hasil kamu seminggu," kata Raya membuatku makin tertarik.
"Tapi ini rahasia," lanjutnya sekali lagi, "Rahasia kecilku."
***
"Kamu masih kecil main rahasia-rahasia segala," kataku tertawa.
"Ah, kamu nggak serius, Nay? Apa kamu mau hidup seperti ini terus Nay? Kalau ada kesempatan ambil aja, kamu cantik dan harusnya kamu nggak menderita," kata Raya.
Aku makin tertarik. Mungkin jika aku tahu cara mencari uang dengan cepat dan banyak selain ternak tuyul dan ngepet. Raya memang terlihat selalu memiliki uang dan barang-barang bagus. Bermerk katanya. Wajahnya terlihat cantik meskipun sedikit boros. Tapi entah teman-teman cowok seolah menghindari dari dia, tapi mungkin hanya perasaanku saja.
"Nay, aku ngomong sesuatu sama kamu," kata Rizal yang tiba-tiba muncul.
Raya terlihat sangat kaget. Kadang aku heran jika tiba-tiba aku atau Raya disapa oleh teman-teman. Ia selalu menunjukkan wajah terkejut dan sesuatu yang ditutupi. Aku hanya tertarik dengan ajakannya yang mungkin akan lumayan. Jika bisa membiayai hidupku dan sedikit membantu bapak dan ibu, menabung untuk membeli tanah nantinya. Atau jika mungkin membeli sawah yang lebih luas dari punya pakde Dar. Ah, aku sudah membayangkan hidupku begitu makmur.
"Mau ngomong apa, Zal?" tanyaku gugup. Semoga bukan masalah aku suka kamu dan obrolan sejenis. Aku tak ada waktu untuk bermain-main sekarang. Jika aku lengah maka keadaanku hanya akan makin membuat malu.
"Nanti aja di perpustakaan, Nay," kata Rizal.
"Oh, okay," jawabku akhirnya.
"Cie, tanggal mainnya cie," goda teman-teman sekelas silih berganti. Aku hanya diam tak malas menanggapi. Hidupku terlampau serius bagi mereka yang setiap hari bercanda.
Setelah bel sekolah aku mengajak Raya pergi ke perpustakaan, tempat janjianku dengan Rizal. Aku hanya tak ingin lebih memalukan diri sendiri jika hanya sendirian di sana.
"Aku nggak usah ikut aja, Nay," kata Raya menolak, "laper, mau makan," lanjutnya sembari mengelus perutnya. Aku hanya mengangguk, kecewa. Mungkin sesekali aku harus berinteraksi dengan teman yang lain agar hidupku tidak seputar Raya saja.
"Aku ikut deh, Nay," kata Santi menyusul. Aku tersenyum saja, aku tak menyangka saja jika ada yang mau menemaniku selain Raya.
Aku mengambil komik secara acak. Aku tak punya minat baca yang bagus. Aku hanya mengikuti komik dari Jepang tentang cinta-cintaan yang nggak masuk akal dan nggak mungkin terjadi saja. Rizal tampak serius dengan buku ensiklopedia. Santi mengambil majalah sekolah, mungkin akan membuka tentang zodiak.
"Ngomong apa, Zal?" tanyaku mengambil posisi duduk di depannya.
"Kamu hati-hati dengan Raya, Nay," katanya terkesan memberi peringatan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku dan Santi sekampung dengannya," kata Rizal.
"Terus?" tanyaku tak paham.
"Ya, kamu jangan percaya jika diajak sama Raya," kata Rizal yang diangguki Santi.
"Kalau ngomong yang jelas, astaga lupa apa kita habis pelajaran fisika, terus matematika? otakku udah panas, nggak bisa mikir berat," singutku.
"Ini tentang Rahasia Raya," jawab Rizal.