Setiap insan yang dikaruniai hawa nafsu, dikaruniai keinginan dan kesenangan. Begitu juga denganku. Jika kalian tanya apa cita-citaku? Aku tidak akan bisa menjawab dengan pasti. Bisa jadi aku ingin menjadi guru, esok hari menjadi dokter, besoknya lagi menjadi perawat. Aku takut mempunyai cita-cita jika akhirnya kecewa. Aku tak ingin mempunyai keinginan yang terlalu muluk dalam profesi. Aku hanya membayangkan diriku yang bergelimang harta, bisa seenaknya seperti pakde Husen.
"Kan nggak boleh panjang angan-angan," kataku jika mereka mempunyai impian setinggi langit, bahkan dalam kamusku terlalu membuang waktu.
"Kita boleh bermimpi, urusan kita hanya ikhtiar, lalu kembalikan semua pada Allah, selanjutnya urusan takdir," kata mbok Nur bijak. Ia terus mengaduk adonan yang bercampur gula jawa nan menggugah selera.
"Emang dulu impian simbok apa?" tanyaku penasaran.
"Mempunyai putri yang cantik dan sholehah, seorang santri, dan menjaga diri," tatapannya sendu. Kata Bapak mbok Nur tak mempunyai keturunan. Ia tidak melahirkan hingga Kakek menikah lagi.
"Kalau seperti itu apa bisa diikhtiarkan?" tanyaku bingung, apa yang seperti itu termasuk impian?
Impian menurutku dan mungkin teman-teman adalah sebuah profesi. Sesuatu yang bisa ia banggakan, menghasilkan, dan mempunyai pangkat. Jika yang dimaksud impian oleh mbok Nur seperti itu, maka aku memimpikan bersuami orang kaya dan mempunyai jabatan. Jadi aku hanya perlu berleha-leha dan semua kebutuhanku terpenuhi, hahaha.
"Simbok sudah ikhtiar selama 10 tahun hingga akhirnya mengalah. Tapi ternyata Allah gantikan dengan yang lebih baik meskipun bukan dari rahim simbok, bapakmu. Dia sangat menyayangi simbok dan sangat hormat pada simbok," katanya
"Tapi bapak kan bukan orang sukses mbok? Bukan orang yang punya profesi dan penghasilan besar?" protesku pada simbok.
"Apa sukses hanya materi? Uang?" tanya simbok tersenyum lembut. Jika sedang berbincang dengannya seperti ini aku seolah menemukan sosok yang kurang dalam hidupku.
Aku yang setiap harinya hanya berharap ada balasan untuk Pakde-pakde yang mendholimi ibu dan bapak, berharap kakakku pulang, dan mendapatkan uang dengan mudah. Jika perlu bapak tak usah bekerja sebagai serabutan, cukup di rumah dan akan kubangunkan kandang kambing. Tak perlu pusing mencari tambahan demi sekilo beras dan sebungkus teh.
"Menurutku iya, kalau pas pelajaran BK itu tentang profil orang sukses pasti jika bukan dokter, PNS, atau profesi yang wah, pasti yang mempunyai banyak perusahaan," kataku polos.
***
Mbok Nur tersenyum mengangkat growol dan memindahkan ke wadah. Mengganti adonan cenil. Aku masih menunggunya sembari mengerjakan tugas rumah yang diberikan Pak Fauzan, PR Fisika yang kubenci.
"Masih banyak PRnya?" tanya ibu ikut duduk dan memberiku bakwan yang masih panas.
"Masih, Bu," jawabku senang, mendapat perhatian kecil, ditemani belajar adalah keinginanku.
Tak lama bapak iku nimbrung bergabung bersama kami, aku tambah senang kini semua kumpul, kecuali kakak tentu saja.
Apa ada hal penting yang akan dibahas mungkin. Aku hanya sedikit merasa diperhatikan hari ini. Biasanya hanya mbok Nur yang memberiku wejangan, atau sekedar cerita masa mudanya.
"Simbok nggak capai tetap jualan?" tanya Bapak sambil menyeruput teh hangat yang juga dihidangkan ibu.
"Nggak le, masih kuat. Kamu mau belajar po?" jawab mbok yang langsung memberi penawaran kepada bapak.
"Saya nggak bisa jualan, mbok," jawab bapak lemah. Sesungging seyum terbit di bibir mbok Nur.
"Lihat anakmu, Naya. Belajar tidak harus dari yang lebih tua, kamu lihat dia rajin sekali membantu simbok, membantu istrimu, dan tidak merepotkan kalian, dia anak yang baik dan mau berusaha," kata mbok Nur.
Jiwaku melayang, aku sangat senang saat-saat seperti ini, disanjung dan dibanggakan tepat dihadapanku, aku makin giat membaca dan mengerjakan tugas fisika yang sebenarnya sangat memusingkan kepala. Jika boleh jujur setiap belajar sendiri kepalaku serasa mau pecah. Maka aku sering belajar sembari menunggu mbok Nur mematangkan jajanannya.
"Aku juga ada pikiran untuk berjualan, tapi belum ada modal," jawab bapak sedikit merendahkan suaranya.
"Hasil dari kamu kerja kemana uangnya? Sebulan ini kulihat kamu kerja, 'kan?" tanya mbok Nur yang sebenarnya mewakili pertanyaan yang tak sanggup kukeluarkan. Sebenarnya hanya aku muak.
"Buat bayar utang," jawab bapak sambil melirik ibu yang menumduk.
"Dengan siapa lagi kalian berhutang? Tak kasihan kalian sama Naya yang harusnya kalian sayang-sayang? Jangan lupakan anak perempuanmu, le, dia juga pasti punya cita-cita. Bantulah barang sedikit, beli buku misalnya. Jangan apa-apa sendiri," kali ini simbok selesai dan menunggu dingin growol yang nantinya akan dibungkus saat sedikit hangat.
Bapak diam menatapku, tepatnya kami saling menatap. Aku benar-benar sedang dibanggakan hari ini. Dan aku senang bukan kepalang.
"Cita-citamu apa, nduk?" tanya Bapak akhirnya.
"Konglomerat."
***
Aku lupa terakhir kali muka bapak seperti itu. Wajahnya selalu biasa dengan gurat sabar yang ia tampakan. Hari ini wajahnya sedikit memerah. Bukan marah, bahkan bapak tidak bisa marah meskipun ibu ngomel-ngomel. Aku tahu bapak sedang malu, sama sepertiku. Aku malu sebenarnya karena diantara teman-teman yang mau berbicara padaku mereka yang punya orang tua berkecukupan.
"Anakmu ini menganggap sukses itu kaya, le," kata mbok Nur sembari menggelintir cenil sebelum dikukus nantinya.
"Ya, kan tolok ukur jaman sekarang semua duit, mbok?" kata Bapak. Nadanya renyah. Suara yang ia rindukan sejak 4 tahun lalu.
"Eh, le, utang sama siapa kamu?" tanya mbok Nur.
"Ah, mbok, buk, pak, Nay ngantuk, ijin mau tidur dulu," kataku beranjak pamit lalu pergi setelah kepala mereka mengangguk-angguk. Setidaknya aku masih memilik harapan jangka pendek.
Sepulang sekolah tak biasanya teman-teman sekelas tidak ada yang beranjak, semua masih duduk di bangku masing-masing.
Pasti urusan orang dewasa, aku tak ingin membuang pikiran dengan tahu masalah yang lebih pelik lagi. Aku sudah merasa hidupku terlalu menderita untuk anak seusiaku. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa mengeluh kata mereka, coba mereka-mereka itu menjadi aku! Bahkan berteman saja mana sudi, 'kan?
Sebenarnya aku juga tak terlalu senang di sekolah. Selain kebanyakan dari mereka adalah anak pamer, aku sangat tidak percaya diri beradaptasi di lingkungan. Aku lebih suka menyendiri, melamun, berangan-angan dan membangun duniaku sendiri lewat monolog. Kadang juga aku akan tertawa sendiri karena monolog lucu pada diri sendiri. Biarlah dikatakan gila, aku bahagia.
"Mbok, ini sisa kemarin?" tanyaku menyingkirkan sisa dagangan kemarin. Masih lumayan banyak.
"Iya, kemarin sepi, pengunjung pasar sedang bosan dengan jajanan simbok," kata mbok Nur.
"Terus simbok nggak ada bathi?" tanyaku polos.
Mbok Nur tersenyum seperti biasa. Aku juga diam sambil terus membantu simbok di amben bambu yang usang namun kokoh ini. Kami masih tinggal di rumah reyot namun bersih itu.
"Maaf lho mbok, apa mbok Nur tak berniat membangun rumah yang lebih baik?" tanyaku pelan.
"Apa cita-citamu, ah katakanlah keinginanmu?" tanya mbok Nur menjawab juga dengan bertanya.
"Hidup yang baik tanpa dipandang sebelah mata, bisa beli apa yang ingin dibeli, bisa bermain tanpa takut dikatai miskin," jawabku menerawang.
"Ah, Nay, simbok capai ngomong sama kamu, selalu tentang harta dan segalanya yang tampak," kata mbok Nur sedikit cemberut.
Aku diam menunduk, malu sebenarnya. Otakku hanya tentang uang, uang, uang dan kemudahan serta tersedianya sesuatu yang aku inginkan. Aku terlalu iri dan malu pada teman-teman. Dan mungkin menjadikanku sangat sempit dalam berfikir.
"Kamu masih bolong-bolong sholat, Nay?" tanya simbok lagi.
Aku mengangguk malu-malu. Aku melaksanakan kewajiban juga seenak jidat, tidak dibiasakan untuk lebih taat oleh ibu maupun bapak. Mereka hanya bilang jika sudah waktunya sholat, jika aku malas aku melewatkannya begitu saja.
"Ada pelajaran Agama Islam, 'kan?" tanya mbok Nur sekali lagi dan aku tetap hanya mengangguk diam.
Sebenarnya aku dongkol setiap dinasihati seperti ini, seolah-olah aku selalu salah dan keliru. Simbok akan mengarahkanku dan mengajakku melakukan apa yang dikatakannya. Seperti bulan lalu, aku harus belajar mengaji bersama mbok Nur setiap habis Maghrib sebelum belajar. Aku memang belum lancar dalam membaca Al Qur'an meskipun sudah SMP.
"Kamu bisa lihat simbok? Jika dilihat dari materi simbok juga tak lebih baik dari bapakmu, dari kamu," katanya lembut masih sembari membungkus dan mengepak growol, cenil, dan lainnya.
"Simbok masih punya rumah, punya pekerjaan," jawabku sedikit menahan agar dongkolku tidak kentara.
"Tanah dan rumah ini juga bukan milik simbok, pada awalnya, simbok juga menumpang. Dan pekerjaan simbok saat ini bukan tanpa awalan yang berat, Nay," katanya lembut.
"Seperti halnya kamu yabg harus bangun pagi pada awalnya, beratkan?" tanya mbok Nur kemudian.
"Ya memang berat, tapi kan aku mau bantu mbok Nur, kasihan semuanya dikerjakan sendiri," kataku jujur. Pada awalnya memang membantu tapi karena diberi upah tujuanku berbelok menjadi bekerja dengan mengharap upah.
"Cita-cita itu sebuah visi hidup, tujuan hidup. Jadi jika tujuanmu hanya untuk dunia, ya kesenanganmu selesai sampai sini. Tapi jika cita-citamu untuk jangka waktu yang sangat panjang, maka kau akan melihat dunia begitu singkat, Nay, fana," kata mbok Nur.
Aku hanya mangut-mangut seolah mengerti, tapi siapa yang mengerti perkataan seperti itu? Bahkan membayangkannya saja tidak bisa, apa karena kami beda usia? Kata-kata mbok Nur sama sekali tak membuat hatiku goyah dan aku masih belum menemukan tujuan hidupku.
"Cita-citaku apa?"