Perempuan di hadapanku menyunggingkan senyum. Evan berdiri di belakangnya, sesaat dia baru menyadari bahwa ada kehadiranku di balik pintu. Wajahnya terlihat memerah, rahangnya mengatup keras.
"Arsyana?"
Aku tersenyum tipis. "Aku cuma mau ambil barangku yang ketinggalan."
Aku melangkah masuk menerobos Renata dan Evan. Tak kusangka, keadaan di dalam apartemen masih kacau. Masih terlihat sama seperti saat kali terakhir aku ada di sini dua hari yang lalu.
Pecahan vas bunga, piring, dan gelas berserakan di lantai. Bantal sofa, dan barang-barang yang lain tergeletak di bawah tak beraturan. Separah inikah akibat dari perbuatan Evan yang membuatku jadi brutal?
Aku mencari-cari di mana ponselku berada. Menyingkap selimut, membuka laci, hingga berjongkok untuk mengintip di kolong sofa dan tempat tidur. Tak kutemukan.
Entah di mana terakhir kali aku menyimpannya. Seingatku, ponsel itu tak termasuk dalam list barang yang kulempar. Aku hampir lelah. Menyerah.
"Kamu cari apa, Ars?" tanya Evan yang berdiri di belakangku.
Aku menoleh. Ternyata Renata masih berdiri di ambang pintu. Apa yang sedang dilakukannya? Ada perlu apa dia? Atau jangan-jangan ... setelah aku pergi dari sini, dia bermaksud untuk tinggal bersama Evan?
"HP-ku di mana?" tanyaku ketus.
"Oh ... sebentar."
Evan membuka salah satu pintu lemari. Meraih ponselku yang berada di dalamnya. Lalu, memberikannya padaku.
"Makasih," ucapku seraya melangkah.
"Ars ...." Evan menahan langkahku.
Aku berbalik. "Apa?"
"Tunggu sebentar."
Evan berjalan menuju pintu. Menghentikan langkahnya di hadapan Renata.
"Pergi!"
"Van, tapi aku belum selesai."
"Gue bilang pergi!"
Renata menatap tajam ke arahku. Kilatan amarah terpancar di matanya. Dia mendengus kasar, lalu pergi meninggalkan aku dan Evan.
"Kenapa disuruh pergi? Dia lagi hamil anak kamu loh, Van," ucapku sinis.
"Aku tau apa yang kamu pikirkan, Ars. Tapi, aku yakin pikiran kamu salah."
"Terserah. Aku nggak peduli."
Aku segera melangkah meninggalkan Evan. Tak ingin berlama-lama dengannya dalam apartemen. Menengadahkan wajah, agar air mata sialan itu tak tumpah. Untuk ke sekian kali.
Saat aku tiba di lobi, seseorang menarik tanganku. Renata. Mau apa dia? Mencoba mengusikku?
"Aku mau ngomong sebentar."
Aku memutar bola mata. "Apa?"
"Aku cuma pengen Evan tanggung jawab."
"Terus?"
"Kamu masih istrinya kan? Atau setelah ini, kalian ada niatan untuk bercerai?"
Lancangnya perempuan jalang di hadapanku ini. Ingin sekali aku merobek mulutnya.
"Dengar, sebelum kamu meminta pertanggungjawaban, lebih baik kamu pastikan dulu anak yang kamu kandung itu anak siapa!"
"Anak ini darah dagingnya. Aku dan Evan melakukan itu dalam keadaan sadar."
Aku menatapnya nyalang. Mencerna setiap perkataan yang terlontar dari mulutnya. Benarkah seperti itu?
"Silakan. Buktikan," ucapku tegas sambil berlalu.
Aku pun tak tahu apa alasanku saat mengucapkannya. Hanya saja ... aku sedikit mencari celah. Celah yang mungkin memberikan sedikit harapan, bahwa Evan sama sekali tak melakukannya.
Bang Ash menatapku curiga saat aku masuk ke dalam mobil. Untungnya, tak ada setetes pun air mata yang jatuh.
"Kok lama?"
"Gue cari dulu, Bang. Lupa nyimpen HP di mana."
"Nggak ada apa-apa kan?"
Aku menggeleng. "Nggak ada."
Bang Ash terlihat ragu, seperti tak puas dengan apa yang didengarnya barusan. Kemudian, dia memilih untuk segera melajukan mobil.
***
Aku merebahkan diri di atas tempat tidur. Rasanya, sudah lama aku tak tidur di atasnya sejak terakhir kali aku di sini. Kamarku terlihat rapi. Apa mungkin Bang Ash yang merapikannya?
"Ars ...," teriak Bang Ash dari luar.
"Masuk aja, Bang."
Bang Ash muncul di balik pintu. Dia berjalan ke arahku, dan duduk di salah satu tepian ranjang.
"Cemilan lu belum dimakan?" tanyanya saat melirik bungkusan jajanan di atas meja.
"Udah nggak pengen," jawabku asal.
"Lu beneran ngerjain gue?"
Aku mengangkat bahu.
"Gue udah telepon Mbak Sri. Besok dia balik lagi ke sini."
"Gitu doang?"
"Ya gue cuma ngasih tau. Biar ada yang jagain lu selama gue kerja."
"Nanti gue mau lanjut kursus masak, Bang."
"Nggak usahlah. Lu di rumah aja."
"Takut bete ah, Bang, di rumah terus."
"Ya tapi nanti kalo lu udah bener-bener sehat."
"Gue nggak sakit, Bang."
Aku menatap Bang Ash lekat. Sedikit pertanyaan terlintas di kepalaku. Dia salah tingkah, dan hendak melangkah.
"Bang!"
Dia berbalik. "Apa?"
"Lu seyakin apa Evan udah nyakitin gue sampe lu mukulin dia di rumah sakit?"
Bang Ash bergeming, menundukkan wajah.
"Sebelumnya lu udah tau sesuatu kan, Bang?" tanyaku yakin.
"Nggak, Ars. Gue cuma ...."
"Bahkan sampe sekarang gue belum cerita apa masalahnya."
Bang Ash menatapku. "Kita nggak usah ngomongin itu dulu, Ars. Lu istirahat ya."
Aku tertegun melihat Bang Ash menutup pintu. Sejak di rumah sakit, belum sedikit pun aku bercerita tentang masalahku dengan Evan. Tapi kenapa, seolah-olah Bang Ash sudah mengetahui semuanya hingga dia memukuli Evan. Kurasa, Evan sendiri tak mungkin begitu saja cerita pada Bang Ash.
***
Pagi.
Saat bangun tidur, aku merasakan mual yang luar biasa. Belum terisi makanan, yang dimuntahkan hanya cairan. Kepalaku sedikit cenat-cenut, isi perut seperti diaduk-aduk. Beginikah rasanya hamil?
Mungkin, aku terlihat payah sekarang. Melewati kehamilan seorang diri, hari-hariku akan begitu berat kedepannya. Tapi tidak, aku harus kuat. Aku pasti bisa.
"Ars ...," panggil Bang Ash.
"Masuk, Bang."
Bang Ash membuka pintu. Dia membawa sebuah nampan yang di atasnya ada mangkuk berisi bubur dan segelas teh manis. Meletakkannya di atas meja samping tempat tidur.
"Lu nggak apa-apa? Tadi gue denger lu kayak lagi muntah-muntah."
"Iya, Bang. Sedikit."
"Itu morning sickness namanya," ujar Bang Ash sambil memijit tengkukku.
"Kok lu tau?"
"Tau dong. Pas tau lu hamil, gue langsung browsing tentang semua hal yang berhubungan dengan kehamilan."
Aku merasa sangat diperhatikan oleh Bang Ash. Dia begitu peduli padaku. Juga padanya, yang kini tumbuh di dalam sana.
"Lu sarapan dulu ya?"
Aku melongok isi mangkuk. "Gue nggak mau makan bubur."
"Kenapa? Udah susah-susah gue buatin juga!"
Aku terkesiap. "Lu buat sendiri?"
"Iyalah. Gue bangun pagi-pagi cuma buat bikin bubur. Capek tau, pegel, harus diaduk-aduk terus."
Aku mengulum senyum. "Ya udah, gue makan sini."
"Tapi, jangan dimuntahin. Paksain, kasian kan ponakan gue di dalem."
"Iya, Bang. Ya udah lu sana, kerja."
"Gue nggak kerja dulu sampe Mbak Sri dateng."
"Segitunya ...."
"Ya daripada lu sendirian di rumah."
"Hmmm ...," gumamku sambil menyuap satu sendok bubur.
Tak buruk, hanya sedikit mual. Padahal rasanya lumayan enak. Tapi, bisalah kupaksakan sedikit demi menghargai Bang Ash. Dibanding aku, memang Bang Ash sudah sering masuk ke dapur. Dia bisa masak beberapa macam makanan, cuci piring, menyapu, dan mengepel lantai.
Kadang aku bertanya, kenapa bukan aku yang menjadi laki-laki? Sepertinya sedikit memalukan jadi seorang perempuan tapi tak becus mengerjakan pekerjaan rumah.
Juga, aku selalu mengkhawatirkan jika Bang Ash sudah menemukan pendamping hidup. Aku mengkhawatirkan diri sendiri. Apa aku bisa hidup mandiri tanpa merepotkan Bang Ash?
Aku menyimpan mangkuk di atas meja. Hanya tinggal tersisa setengah. Kuminum teh manis yang masih terasa hangat.
"Ars ...."
Aku menatap Bang Ash. Menunggunya melanjutkan kata-kata.
"Gue minta maaf."
"Untuk?"
Bang Ash menghela napas, mengembuskannya perlahan. Mengusap wajah dengan kedua tangan. Lalu menatapku iba.
"Lu udah gue tempatin dalam posisi yang salah."
Aku mengatupkan bibir. Dengan Bang Ash bicara seperti itu, aku semakin yakin dia telah mengetahui sesuatu.
"Gue percayain lu sama orang yang salah."
Hening.
Bang Ash menundukkan wajah. Terlihat bulir bening menetes di sudut matanya. Detik kemudian dia memelukku. Sangat erat. Sambil terus terisak. Aku hanya diam.