Untuk pertama kalinya, aku melihat Bang Ash menangis. Bahkan, saat ayah dan bunda meninggal, tak ada setetes pun air mata yang tumpah. Aku tak tahu apa yang dirasakannya saat ini hingga dia mengeluarkan air mata. Apa menurutnya, aku terlihat begitu menyedihkan?
Bang Ash melepaskan pelukan, menyeka sudut mata dengan punggung tangan. Badannya masih sedikit bergetar, walaupun sesenggukannya sudah hilang. Dia meremas rambutnya dengan kuat.
"Bodoh," gumamnya.
"Bang ... gue nggak nyalahin lu sedikit pun."
Bang Ash menggeleng. "Tetep gue yang salah."
"Nggak, Bang. Jangan nyalahin diri sendiri. Oke?"
Dia menunduk, sedetik kemudian menatapku dalam. "Gue janji akan selalu jagain lu. Gue akan nebus dosa-dosa gue sama lu, Ars."
"Bang ... udah ah. Nggak usah melow gitu. Jelek tau!" Aku mencubit perutnya gemas. Dia meringis.
"Ya udah, kalo gitu lu mandi dulu gih. Biar seger."
"Iya, Bang."
Bang Ash membawa kembali nampan berisi mangkuk dan gelas. Lalu, menghilang di balik pintu.
Kacau.
Aku selalu membuat masalah. Kalau begini caranya, kapan dia bisa menikah?
***
Aku menatap pantulanku di cermin. Belum ada perubahan secara fisik. Hanya saja, sedikit terasa sakit di bagian payudara. Aku memiringkan badan, dan mengusap perut perlahan.
Mungkin, saat ini dia masih sebesar kacang polong. Tadinya, aku tak pernah berharap dia ada di dalam sana saat Evan berkhianat. Tapi sekarang, aku sangat berharap dia tumbuh dengan baik dan sempurna.
"Ars!" teriak Bang Ash.
"Iya?"
Bang Ash menyembul di balik pintu. "Ada Evan."
Aku mendengus kasar. "Mau apa lagi dia?" gumamku.
"Sama Maminya," lanjutnya.
Mami?
Aku segera ke luar untuk menemui mereka, diikuti oleh Bang Ash. Evan dan mami tengah duduk di ruang tamu. Sudah tersedia dua cangkir teh di atas meja.
"Hai, Mam," sapaku sambil duduk di sebelahnya.
"Tadinya mami mau ke rumah sakit. Tapi, kata Evan kamu udah pulang."
Aku melirik Evan, dia hanya menunduk. "Maaf, Mam. Aku lupa ngabarin."
"Tapi, kenapa kamu pulang ke sini? Kenapa bukan ke apartemen?"
Aku meraih jemari mami, mengelusnya. "Aku nggak bisa, Mam. Maaf."
Dahi mami berkerut. Kemudian menoleh pada Evan.
"Loh, tapi kenapa?"
"Emang Evan belum cerita?" Aku balik bertanya.
Evan mendongak. Menatapku, kemudian menatap mami.
"Cerita apa? Apa yang terjadi? Van, cerita sama mami."
Evan hanya diam. Kembali menunduk.
"Setelah anak ini lahir, aku mau pisah sama Evan, Mam," ucapku yakin.
Mami terlonjak. Menutup mulut dengan kedua tangan. Seketika matanya berkaca-kaca.
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Alasannya cukup logis. Mami tanya sendiri aja sama Evan."
Hening.
Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Yang aku tak habis pikir, kenapa Evan diam saja saat aku mengatakan ingin pisah. Sepasrah itukah dirinya?
"Evan, kita harus bicara," ucap mami sambil menoleh pada Evan. "Ars, mami pulang dulu ya. Kamu jaga kehamilanmu baik-baik," lanjutnya sambil mengusap perutku.
"Iya, Mam,"
"Ayo, Van!" ajak mami sambil berlalu.
Evan menatapku. "Aku pulang dulu, Ars."
Membuang muka, aku tak menjawabnya. Bang Ash menutup pintu setelah Evan ke luar. Aku memilih kembali ke kamar.
Perasaanku tidak cukup tenang sekarang. Setiap setelah bertemu dengannya, hati selalu bergejolak. Pikiran kacau. Campur aduk. Beginikah akibat yang ditimbulkan karena perasaanku yang teramat dalam?
Begitu besar pengaruhnya sehingga membuatku ingin tenggelam ke dasar bumi. Aku terhenyak ketika menyadari dia bukan lagi seseorang yang bisa membuatku terbang melayang. Di saat yang bersamaan, aku menginginkan dia--sesuatu dalam perutku--selalu bersama ayahnya.
***
Malam ini, Mbak Sri tengah memijat kakiku. Dia baru datang tadi sore. Sudah kukatakan untuk beristirahat, tapi dia tetap ingin menemaniku di kamar.
Dia sudah kuanggap sebagai kakak sendiri. Siapa lagi yang kuandalkan selain Bang Ash, kalau bukan dia? Sudah mengerti apa mauku. Makanan kesukaan, kebiasaan, dan kejelekanku, dia hafal semua.
"Dek Arsyana ini harus rajin-rajin minum vitamin. Biar bayinya sehat, Dek. Makan makanan yang bergizi juga. Buah dan sayur."
"Iya, Mbak."
"Besok mau dibikinin makanan apa sama Mbak?"
"Apa aja, Mbak. Aku kangen masakan Mbak Sri."
"Oh jelas, wong suami Mbak juga selalu kangen masakan Mbak katanya. Emang dasar, cowok itu suka gombal." Mbak Sri terkekeh. Sedetik kemudian dia mengatupkan mulutnya saat menyadari raut wajahku berubah.
Pandanganku kosong. Menerawang jauh entah ke mana. Apa aku sama seperti Mbak Sri yang selalu dirindukan suaminya? Bukan masakannya, karena masakanku sama sekali tak enak. Maksudku ... apa Evan selalu merindukan kehadiranku saat aku tak ada?
Aroma tubuhnya ... jelas, aku sangat rindu. Aku selalu ingin membenamkan kepala di atas dadanya. Mendengarkan jantungnya yang berdetak, hingga detak jantungku pun ikut bertalu-talu saat merasakannya.
Berceloteh tentang kegiatan di hari itu. Usapan lembut tangannya di atas rambut. Desahan napasnya yang saling berebutan dengan decak jarum jam. Buaian dan belaian sepanjang malam. Hingga aku tertidur dalam dekapannya yang hangat.
***
"Mau sarapan apa?" tanya Bang Ash saat aku memuntahkan semua isi perut.
Aku telah mencoba memakan masakan Mbak Sri. Tak diragukan soal rasanya. Hanya saja ... perutku tak bisa berkompromi. Entah kenapa.
"Aku mau sarapan di taman, Bang."
"Sarapan apa di sana?"
"Bubur, nasi uduk, ketoprak, atau apalah yang ada di situ."
"Yakin nggak dimuntahin?"
"Hmmm ...." Aku bergumam. Sebetulnya tak yakin. Sangat tak yakin.
Aku hanya ingin mencari udara segar. Udara pagi bukankah bagus untuk me-refresh otakku yang begitu jenuh? Aku jenuh. Tak seperti dulu. Saat bosan, langsung berkeliaran malam bersama teman-teman ke klub. Tapi tidak saat ini. Aku harus menjaga dia yang sedang berusaha hidup bersamaku.
"Ya udah deh. Ayo! Tapi, jangan lama-lama. Gue mau kerja."
"Lu kerja aja. Gue sama Mbak Sri."
Bang Ash melihat jam di dinding. Lalu berpikir sejenak. Kemudian melihat jam dinding lagi. Entah apa yang dipikirkannya. Mengambil keputusan sederhana saja begitu lama.
"Gue masih bisa kok. Ayo cepet!"
Aku segera mengikuti Bang Ash naik ke mobil. Sebenarnya jarak dari rumah ke taman tak begitu jauh. Mungkin, Bang Ash khawatir pada kondisiku bila berjalan terlalu lama.
Setelah menempuh jarak kurang lebih lima menit, akhirnya kami sampai. Di taman, banyak orang yang berjualan. Aneka cemilan, dan makanan berat untuk sarapan.
"Mau makan apa?"
"Hmmm ...."
"Jangan kelamaan mikir. Gue bisa telat ini."
"Tuh kan lu gitu, ah! Kan udah gue bilang tadi. Gue bisa ke sini sama Mbak Sri."
"Ya udah cepet, mau makan apa?"
"Itu aja!" Tanganku menunjuk pada penjual ketoprak.
"Yakin?"
"Iya."
"Mau dimuntahin gak?"
"Abang, ih!" Aku mencubit perut Bang Ash.
Dalam situasi yang berbeda, terkadang Bang Ash bisa berubah menjadi galak. Mungkin saat ini karena dia mengejar waktu untuk pergi ke kantor. Salahnya sendiri kenapa dia bersikeras ingin mengantarku ke taman.
"Bang, ketopraknya satu ya," pesan Bang Ash pada penjualnya.
"Kok satu? Lu nggak sarapan?" tanyaku.
"Liat aja nanti," Bang Ash menahan tawa.
Apa maksudnya?
Aku dan Bang Ash duduk di kursi plastik, menunggu pesanan datang. Bang Ash mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Aku sedikit risih dengan sikapnya. Untuk apa dia mengantarku jika harus terburu-buru.
"Satu porsi ketoprak, Mas," ucap si penjual meletakkan piring berisi ketoprak di atas meja.
"Makasih, Bang. Nih, Ars."
"Nggak mau."
"Tuh kan! Kenapa sih?"
"Nggak nafsu. Buat lu aja!"
"Mulai deh! Untung cuma pesen satu."
Aku melirik Bang Ash yang mulai menyendok ketoprak. Tapi rasanya, melihat dia melahap ketoprak, aku jadi ingin memakannya juga.
"Gue mau, sini!" Aku merebut piring dan sendok dari tangan Bang Ash. Langsung melahapnya cepat.
"Astaga, nih bocah ... bener-bener!"
Aku mendelik.
"Gue boleh jewer lu nggak?" tanyanya berbisik di telinga. Aku menyiku perutnya. "Awww!" Bang Ash meringis.
Aku menahan tawa. Sudah lama sekali aku tak bercanda seperti ini dengannya. Aku mulai merasakan seperti dulu. Kembali menjadi gadisnya yang manja.
"Ashkara!" teriak seseorang dari jauh.
Aku dan Bang Ash menoleh.
"Kanaya?"