Kanaya.
Perempuan itu duduk di sebelahku. Untuk beberapa menit, kami hanya saling diam. Hingga Bang Ash ke luar dari kamarnya.
"Ars ... gue ... gue mau ngomong."
Aku mendongak. Menerka-nerka apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Kulirik Kanaya, dia hanya menunduk. Meremas ujung baju dengan kuat.
"Gue ... mau nikah sama Kanaya."
Apa yang kurasakan saat ini, aku tak tahu. Bahagia, atau sedih. Entahlah. Tak ada deskripsi yang tepat untuk menuliskan isi hatiku.
"Oh, ya? Bagus." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Aku ... cukup tau masalah kamu." Kanaya membuka suara. "Aku turut bersedih atas apa yang terjadi sama kamu, Ars," lanjutnya.
"Ya ...."
"Dan aku cukup tau kedekatan kamu dan Ashkara. Tapi, aku ...." Suara Kanaya tercekat.
Dia menggenggam tanganku.
"... Aku sama sekali nggak bermaksud ngambil Ashkara dari kamu."
Hening.
Sudah seharusnya Bang Ash menikah. Tanpa perlu mengkhawatirkan perempuan bodoh seperti diriku.
"Ars ... nggak apa-apa kan?" tanya Bang Ash kemudian.
Jika bisa menghilang ke dasar bumi, aku menginginkannya. Bertubi-tubi masalah menggelayuti. Walau sebenarnya, pernikahan Bang Ash bukanlah suatu masalah. Harusnya aku berbahagia atas ini. Tapi ... aku hanya tak ingin kehilangan sosok yang selalu melindungi.
"Kalian nggak perlu khawatirin aku. Tentu aja aku nggak apa-apa. Aku seneng," ucapku sedikit bergetar.
"Selama ini ... maaf kalo sikapku nggak baik. Tapi, aku cuma nggak suka setiap Ashkara nggak bisa tepatin janji."
"Karena aku? Bang Ash nggak bisa tepatin janji gara-gara aku?"
"Ars ...."
"Bang ... mulai sekarang, lu harus prioritasin Kanaya. Bukan gue. Ya?"
Bang Ash menatapku nanar. Aku sama sekali tak ingin terlihat seperti sedang mengiba. Untuk apa? Ini kehidupannya, dia telah memilihnya.
"Kalian lanjutin, aku ... masuk kamar dulu."
Tak ada jawaban. Mereka saling diam. Aku mulai melangkah menuju kamar. Membuka pintu, dan menutupnya. Menyandarkan punggung pada daun pintu. Merosot di bawahnya perlahan.
Betapa menyedihkan hidup seperti ini. Yang awalnya kukira Bang Ash adalah satu-satunya yang akan selalu tetap disampingku, perlahan akan pergi juga. Lambat laun, kenyataan itu akan menunjukkan bahwa dia adalah seorang pria dewasa yang butuh teman hidup.
Lihat diriku, kehilangan semangat cahaya. Kegagalan atas nama cinta, meninggalkan banyak luka. Ditambah luka yang lain. Yang mungkin akan membekas selamanya.
Di luar sana, kadang aku mendengar mereka bercakap pelan. Kadang, sunyi sama sekali. Aku tak bisa memastikan apa yang mereka bicarakan.
"Ars ...," lirih Bang Ash terdengar sayup. "Udah tidur?"
Aku membuka pintu. "Kenapa, Bang?"
"Gue boleh masuk?" Aku mengangguk.
"Kanaya udah pulang?" tanyaku sambil menghempaskan badan di atas tempat tidur.
Bang Ash berlutut di hadapanku, kemudian menatapku. "Kalo lu nggak setuju, gue bisa tunda, Ars."
"Kenapa? Gue setuju kok," kataku dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Tapi, mata lu nggak bilang gitu, Ars."
Aku menunduk. Membiarkan rambut menutupi wajah. Aku selalu malu setiap Bang Ash bisa membaca mataku. Dia selalu bisa memahamiku.
Bang Ash meraih jemariku. Diusapnya perlahan. "Ars ... bahkan, kalo lu nggak setuju ... gue bisa batalin."
Aku mengerjap. Tak percaya atas apa yang dikatakannya.
"Gue akan tetap berada di titik ini sampe kata 'bahagia' ada di dalam sini." Bang Ash meletakkan tangannya di atas dadaku.
Seketika jantungku berdetak kencang. Pria ini ... begitu membanggakan.
"Bahkan, kalo nanti lu pisah sama Evan ... gue mau jadi Ayah untuk anak ini," ucapnya sambil mengelus perutku.
Aku terkesiap. Apa maksudnya?
"Lu nggak usah mikir macem-macem!" Bang Ash mendelik. "Gue cuma mau mastiin kalo lu dan anak itu selalu bahagia. Ya walaupun ...."
"Apa?" tanyaku.
Bang Ash mengangkat bahu.
"Nggak usah segitunya kali, Bang. Gue nggak apa-apa. Lu harus tetep nikah sama Kanaya."
Bang Ash menunduk. "Gue cuma ... sayang banget sama lu, Ars ...."
Aku mengulum senyum. Aku selalu suka saat dia mengatakan itu. Kadang, aku berpikir ... apa hubunganku dengan Bang Ash sebagai adik-kakak terlalu dekat?
Teringat saat aku berumur enam tahun, Bang Ash sebelas tahun. Saking dekatnya, aku selalu memimpikan suatu hari nanti aku dan Bang Ash bisa seperti ayah dan bunda. Baru saat aku beranjak remaja, aku menyadari ... bahwa itu tidaklah mungkin.
"Dengan cara apa gue harus tebus dosa gue, Ars?" pertanyaan Bang Ash membuyarkan lamunanku.
"Bang ... gue sama sekali nggak nyalahin lu sedikit pun atas apa yang terjadi."
Bang Ash menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Untuk ke sekian kalinya, gue minta maaf, Ars," lirihnya.
"Gue cuma punya lu. Begitu pun sebaliknya. Rasanya waktu terlalu berharga kalo di sia-siain gitu aja cuma buat nangis ...." Dia menjeda sesaat. "Karena itu, gue masih akan tetep di titik ini sampe lu bilang 'bahagia'," lanjutnya.
Air mata hampir jatuh. Bang Ash cepat-cepat mengusap sudut mata.
"Jangan pernah nangis lagi ya."
Bang Ash masih berlutut, dan menatapku. Jemariku digenggamnya kuat. Aku selalu malu saat berhadapan dengannya sedekat ini.
Aku meraih bantal di sampingku, dan memukulkannya pada Bang Ash.
"Awww! Apaan sih lu?"
"Lu jangan liatin gue kayak gitu! Udah sana!"
"Ade macam apa sih lu? Lagi melow juga!"
"Nggak usah melow! Sebel gue!"
"Lu ngeselin emang!"
"Bodo!"
Bang Ash berdiri sambil berkacak pinggang. Rahangnya mengatup keras.
"Apa? Udah sana!"
Aku mendorong Bang Ash sampai ke luar kamar. Menutup pintu, dan menguncinya.
***
"Jadi, sekarang aku cuma ngandalin keahlianku aja. Jualan berbagai macam dessert. Makanya ikutan les masak ini, biar bisa ngembangin usaha aku. Walaupun biayanya mahal, tapi sebanding dengan hasilnya," jelas Hilda panjang lebar.
"Aku salut sama kamu. Kamu bisa hidup mandiri tanpa didampingi seorang suami."
"Ya ... mau gimana lagi? Ayahnya Shaquila memang udah nggak ada. Tapi, bukan berarti aku lemah tanpanya. Aku harus bisa ngehidupin Shaquila sampai dia besar nanti. Life must go on, Ars!"
"Kamu bener."
Kadang, aku merasa beban hidupku berada di puncaknya. Lebih tinggi daripada orang lain. Tapi, aku sering keliru atas dua hal. Menghadapinya, atau melarikan diri. Dan aku memilih yang kedua, melarikan diri.
"Jadi, kamu tinggal pilih. Berjuang, atau menyerah. Kalo aku pilih berjuang. Karena rasanya nggak mungkin aku menyerah sedangkan Shaquila masih banyak waktu untuk hidup."
"Dia pasti bangga punya ibu hebat seperti kamu."
Aku pun bangga. Dia perempuan hebat. Tidak sepertiku yang cengeng, dan menyerah pada keadaan. Tapi perlu diingat. Aku dan Hilda berbeda. Kalau dia ditinggal mati, sedangkan aku? Mana mungkin ada perempuan yang mau terus bertahan setelah dikhianati?
"Ars, lu mau ikut?" ajak Hilda saat kami telah sampai di lobi.
"Ke mana?" tanyaku.
"Rencananya aku mau beli baju buat Shaquila."
"Beli baju?"
"Dia cepet gede, bajunya banyak yang udah nggak muat. Kamu mau ikut? Mungkin ... kamu bisa sekalian liat-liat baju hamil."
Aku berpikir sejenak. Hilda ada benarnya juga. Lama-lama perutku semakin membesar.
"Boleh. Aku izin dulu ya?"
"Izin suami kamu?"
"Hah? I-iya," jawabku terbata.
Aku menjauh beberapa meter dari Hilda. Meraih ponsel dalam tas. Mengusap layar, dan melakukan sebuah panggilan.
"Iya, Ars?"
"Bang, gue mau maen bentaran sama temen."
"Ke mana? Temen lu yang mana? Jangan bilang lu mau keluyuran sama temen malem lu itu, terus dugem?"
"Ih, ya nggalah, Bang! Gue mau beli baju hamil."
"Ntar aja lah sama gue belanjanya."
"Ogah! Lu rese kalo anter gue belanja. Ngajak cepet-cepet terus. Bilang pegel lah, apa lah. Ngeluh mulu!"
"Udah ngomelnya?" Aku terkikik geli. "Lagian, temen lu yang mana sih?"
"Temen gue yang satu ini baik."
"Oh, ya udah."
"Kok cuma ya udah sih?"
"Lah, terus?"
"Transfer lah, Bang!"
"Astaga ... yang hamilin siapa, minta duit ke siapa?!"
"Abang, ih! Iya, nggak?"
"Ya udah, gue transfer. Bawel!"
"Gitu dong!"
"Tapi, nanti struk belanjanya jangan dibuang."
"Buat apa?"
"Mau gue klaim buat dikasihin ke Evan!"
"Hmfffttt ...." Aku menahan tawa.
"Jangan ketawa!"