Chereads / I Love You, Ars! / Chapter 20 - Arsyana 20

Chapter 20 - Arsyana 20

Aku terbangun saat merasakan hawa panas di sekujur tubuh. Memicingkan mata, melihat ke arah jam dinding di kegelapan. Baru jam sebelas malam.

Aku meraba-raba, di mana remote AC berada. Tapi, tak kutemukan. Segera bangkit, hendak menyalakan saklar lampu. Saat terdengar suara orang yang sedang bercakap sendirian.

Bang Ash. Itu suara Bang Ash, sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Aku menajamkan pendengaran sambil membuka pintu perlahan. Jalan berjinjit menyusuri tembok menuju kamarnya.

"Aku nggak bisa," ucap Bang Ash tegas.

"Aku cari perempuan yang bisa terima dia. Dia milikku satu-satunya."

Jantungku berdegup kencang. Siapa 'dia' yang dimaksudnya? Aku?

"Kalo gitu maaf, aku nggak bisa. Karena dia belahan jiwaku."

"Lebih baik kita akhiri ini sekarang."

Aku tersentak. Setelah mencerna apa yang barusan kudengar. Bang Ash tengah mencoba memaksa Kanaya agar aku bebas keluar masuk ke dalam kehidupannya setelah mereka berumah tangga.

Aku segera kembali ke kamar. Berbaring di atas tempat tidur, dan menutup seluruh tubuh dengan selimut.

Pikiranku melayang entah ke mana. Sudah kusangka, selama ini aku menjadi penghalang atas hubungannya. Aku tak tahu pasti, kapan tepatnya mereka memulai hubungan. Tapi sepertinya, sudah cukup lama.

Butuh waktu lama untukku menyadari hubungan mereka. Selama ini, Bang Ash menyembunyikannya dariku. Aku sama sekali tak menyadari dia telah memiliki kekasih. Bodohnya aku, yang terus bergantung hidup padanya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka. Aku memejamkan mata. Menetralkan detak jantung yang tak beraturan.

"Ars ... udah tidur?" tanya Bang Ash berbisik.

Aku tak menjawab.

"Tidur yang nyenyak ya, Ars." Bang Ash mengusap kepalaku.

Dia masih selalu menganggapku gadis kecilnya yang manja. Sampai kapan pun, dia akan seperti itu. Terlebih, hubunganku dengan Evan tak sebaik perkiraannya. Dia memiliki rasa bersalah yang amat berlebihan.

Gamang. Sebelumnya aku tak pernah berpikir sejauh ini. Harusnya aku tetap tinggal bersama Evan. Harusnya aku pura-pura bahagia dengannya.

Aku merasa, tak ada masalah yang lebih berat karena disebabkan oleh diriku sendiri. Maafkan aku, Bang.

***

"Kemaren beli apa aja?" tanyanya saat kami berada di meja makan untuk menikmati sarapan.

"Baju," jawabku singkat.

"Cukup?"

"Hm." Aku hanya bergumam tanpa menatapnya. Menunduk, mengaduk-ngaduk makanan di atas piring tanpa ingin melahapnya.

Bang Ash menatapku serius.

"Kenapa lagi?"

"Nggak."

Dia menarik napas kasar. Lalu meneguk segelas air putih.

"Abisin sarapannya."

"Hm."

Makanan di atas piring sudah tercampur sempurna. Bahkan, lebih mirip muntahan daripada makanan. Aku semakin tak berselera memakannya. Kubanting sendok dan garpu di atas piring, sehingga berdentang nyaring.

Bang Ash terlonjak kaget melihatnya. Dadaku bergemuruh hebat. Kembang kempis napas turun naik. Mata mulai berembun. Aku segera pergi ke kamar. Membanting pintu kuat-kuat hingga berdebam.

"Ars!" teriak Bang Ash.

Aku terduduk di lantai, menekuk lutut. Membenamkan wajah di antaranya. Bulir bening berjatuhan tak beraturan. Tubuhku bergetar hebat. Sesenggukan di antara sedu sedan.

"Dek ... Mbak masuk ya?" tanya Mbak Sri dari luar.

Aku tak menjawabnya. Tak lama, Mbak Sri membuka pintu, melangkah masuk dan menghampiri. Dia mengusap punggungku dengan lembut. Aku semakin larut dalam isakan tangis.

"Dek ... tau nggak, kenapa Tuhan bebankan masalah ini sama Adek?"

Aku hanya menggeleng.

"Itu karena Dek Arsyana kuat."

Aku mendongakkan wajah, menatapnya sesaat. Lalu menghambur ke dalam pelukan Mbak Sri. Kembali tersedu di bahunya yang mulai basah oleh air mata. Mbak Sri terus mengelus rambutku.

"Kalo Adek sabar, pasti bisa ngelewatin ini semua. Setiap orang, ada ujiannya masing-masing. Sesuai kapasitas kemampuan yang diberikan Tuhan. Seberapa kuat kita dalam menghadapi ujian itu, akan dibayar tunai oleh sesuatu yang jauh lebih berharga dari sebelumnya."

Tangisku mulai mereda. Di pelukannya, aku merasa nyaman. Dengannya, aku seperti memiliki kakak perempuan. Tempat hati tercurah, tempat berkeluh kesah. Itu sebabnya dia memanggilku 'Dek Arsyana'.

"Dulu, waktu Mbak masih seumuran Adek, ujian Mbak bukan kayak gini. Mbak harus kerja banting tulang untuk menghidupi adik-adik Mbak yang masih kecil. Tiap hari makan cuma satu kali. Itu pun cuma sama garem dan kerupuk."

Aku kembali tersedu. Betapa bodohnya diri ini saat menganggap masalahku adalah yang terberat.

"Mbak cuma sekolah sampe SD aja. Tapi, gimana caranya Mbak menghidupi mereka, gimana caranya mereka bisa sekolah sampai tamat SMA, Mbak bekerja keras mati-matian."

Mbak Sri menjeda. Melepaskan pelukan. Menatap mataku. Menyibak rambut yang menempel di wajah yang tercampur air mata, menyelipkannya ke belakang telinga. Kemudian mengusap pipi yang basah.

"Masalah kita beda. Tentu cara untuk menghadapinya juga beda. Tapi, kita sama-sama harus memilih. Menyerah, atau menghadapinya? Kalo Mbak milih menghadapi semuanya. Nggak ada kata nangis dalam kamus Mbak."

"Aku cengeng ya, Mbak?" tanyaku mengusap sudut mata.

"Nggak. Ini wajar kok. Cuma, Adek jangan terlalu larut dalam sebuah masalah."

"Hidup aku udah hancur, Mbak."

"Siapa bilang? Ini apa?" tanya Mbak Sri mengusap perutku. "Ini masa depan kamu, Dek."

Aku kembali menitikkan air mata. Mbak Sri langsung menghapusnya.

"Bang Ash mau nikah, tapi aku jadi penghalang."

"Gini ... Adek tau kalo Bang Ash sayang banget sama Adek?"

Aku mengangguk.

"Karena itu, dia belum berani melangkah melihat Adek seperti ini. Makanya Mbak bilang, jangan terlalu larut. Agar Bang Ash bisa menikah tanpa terbebani."

Aku menatap nanar perempuan di hadapanku. Dia benar. Aku harus terlihat lebih tegar agar Bang Ash merasa lebih lega.

"Tapi, kalo Bang Ash nikah ...." Suaraku tercekat.

"Adek jangan merasa sendirian. Masih ada Mbak."

"Andai Evan nggak berkhianat."

"Coba Mbak tanya. Di dalam sini ... apa Adek benar-benar percaya kalo Mas Evan udah berkhianat? Hati Adek yakin?" tanya Mbak Sri meletakkan tangannya di atas dadaku.

Aku mengatupkan bibir. Sungguh, itu pula yang sedang berusaha kucari jawabannya. Aku tak percaya Evan melakukannya. Tapi, bukti foto dan surat keterangan USG itu ... entahlah.

Aku menggeleng. "Aku nggak tau, Mbak."

Mbak Sri mengusap pipiku dengan lembut. "Ikuti kata hati. Yakinlah."

Aku kembali memeluk Mbak Sri. Kali ini tak ada air mata. Hanya saja, sedikit tersisa sesenggukkan saat tubuh bergetar.

Serapuh ini. Sepayah ini. Itu sebabnya Bang Ash ragu untuk melangkah. Dia memilih mengakhiri hubungannya dengan Kanaya karena keegoisanku.

Aku ini apa? Hanya manusia tolol yang terlalu lemah. Mudah menyerah pada semesta. Enggan beranjak, pada setiap masalah yang mendera.

***

Aku tengah merapikan barang-barang yang akan kubawa. Tak banyak, karena sebelumnya baju-baju memang ditinggalkan di sana. Aku hanya membawa baju-baju hamil yang baru dibeli kemarin. Dan beberapa barang-barang kecil seperti beberapa vitamin, kosmetik, dan charger.

Setelah kupikirkan, lebih baik aku kembali tinggal di apartemen dengan Evan. Aku sudah menghubunginya, dan kita sepakat akan bertemu saat aku selesai kursus masak.

Tak ada yang perlu dikhawatirkan tentang masalah hati. Biarlah mengalir apa adanya. Yang terpenting, urusan pribadi Bang Ash sama sekali tak terusik.

"Dek Arsyana udah yakin?" tanya Mbak Sri saat masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas jus stroberi.

"Aku nggak tau. Tapi, seenggaknya ... aku meringankan beban Bang Ash."

"Nih, diminum dulu jusnya. Biar seger."

"Makasih, Mbak," ucapku seraya mengambil gelas berisi jus stroberi.

Aku menyeruputnya sedikit demi sedikit.

"Udah izin sama Abang?"

"Nggak usahlah, Mbak. Evan kan suami aku. Ngapain harus izin sama Abang?"

"Ya biar Abang nggak nyariin, Dek."

"Ya tinggal bilang aja aku kembali pada tempat yang seharusnya."

"Hmmm ... Mbak pulang kampung lagi deh."

"Nggaklah, Mbak. Kan nanti Kanaya tinggal di sini."

"Emang mereka udah balikan?"

"Ya nggak tau juga. Tapi, mudah-mudahan sih. Kan akunya juga mau pergi. Jadi bisalah mereka balikan, terus nikah."

Mbak Sri menatapku lekat. Kemudian memelukku erat.

"Bahagia selalu ya, Dek. Mbak sayang banget sama Adek."

Aku membalas pelukannya. "Makasih ya, Mbak."

Kami melepaskan pelukan. Aku segera bergegas menuju ke pintu depan.

"Nanti kalo Evan ke sini, jangan lupa ya tolong bawain barang-barang aku."

"Siap, Dek."

"Aku pergi dulu ya, Mbak. Titip Bang Ash. Hati-hati, dia galak!"

"Ih, Abang baik gitu!"

Aku tergelak. Menit berikutnya, meninggalkan rumah saat taksi online sudah tiba. Menaikinya dengan dada sedikit berdebar. Membayangkan saat kembali tinggal bersama Evan.

Jam-jam berikutnya kulewati dengan perasaan yang tak tenang. Tak hentinya dada berdentum hingga kelas usai. Terlebih, aku tak menemukan Hilda. Tak ada tempat mengadu saat perasaan tak menentu seperti ini.

Aku melangkah pelan di antara gelapnya malam. Hanya lampu-lampu di kanan-kiri yang menerangi. Saat akan berjalan di atas trotoar, aku melihat mobil Evan tengah terparkir di pinggir jalan. Tapi, tak kudapati dia di dalamnya.

Seraya tengok kanan-kiri mencari keberadaannya, aku melihat sosok yang sangat kukenal. Lampu di atasnya cukup jelas menyinari wajahnya. Dia tak sendiri.

Aku melangkah mengendap-endap. Memilih tempat yang cukup gelap. Mendengarkan pembicaraan dia dengan seseorang yang berdiri memebelakangiku. Cukup jelas inti pembicaraan mereka. Seketika kilatan amarah memuncak, hatiku begemuruh hebat.