Ditanganku sekarang sudah menggantung beberapa paper bag. Aku membeli cukup banyak baju hamil. Padahal, belum terlalu membutuhkan. Hanya saja ... aku tergiur dengan bentuk dan modelnya yang elegan. Siap-siap saja nanti kuping menjadi panas mendengarkan Bang Ash ngomel panjang lebar.
Sekarang, giliran Hilda yang memilih-milih baju bayi untuk Shaquila. Ini pendapatku saja, atau memang baju-baju anak perempuan lebih lucu? Lebih banyak model dan warna. Tidak monoton.
"Ini bagus nggak, Ars?" tanyanya merentangkan satu dress kecil berwarna merah muda.
"Bagus," jawabku.
Setelah memilih beberapa baju, Hilda membayarnya di kasir. Menit berikutnya, di antara lengan kami sudah bergelayut beberapa paper bag.
Saat tiba di ambang pintu keluar, aku berpapasan dengan seseorang yang begitu kukenal. Dia adalah lelakiku ... di masa lalu.
Aldi.
Ingin berpura-pura tak melihatnya, tapi mata ini sudah terlanjur tertangkap basah saat memandang ke arahnya.
"Arsyana?" sapanya sambil terus menatapku.
"Eh, ya?" Aku sedikit canggung.
"Apa kabar?"
"Ars, aku tunggu di sana ya?" Hilda berbisik di telinga seraya menunjuk tempat yang dimaksud. Aku mengangguk.
"Aku ... baik."
"Lama nggak ketemu. Kamu ... makin cantik."
Aku gelagapan. Layaknya orang bodoh yang bertemu sang mantan.
Laki-laki di hadapanku, masih sama seperti dulu. Perawakannya yang cenderung kurus, gel rambut yang melekat di rambut spike-nya, dan sebuah anting yang menggantung di telinga sebelah kiri. Tak lupa sebuah tato yang masih melekat memenuhi lengan kanannya.
Setelah bertemu Evan, aku tak habis pikir. Bisa-bisanya dulu aku tergila-gila pada seorang lelaki bergajulan seperti Aldi. Dari penampilannya saja, terlihat bahwa dia seorang bad boy.
Berbanding jauh dengan Evan. Pria mature yang sangat memperhatikan penampilan. Tubuhnya tegap berisi, dadanya bidang, badannya selalu wangi. Ciri khas pria metroseksual.
Ah, tapi tetap saja tak ada bedanya dengan Aldi. Sama-sama laki-laki brengsek, suka bermain perempuan.
Cih.
Aku merutuki diri sendiri. Miris.
"Permisi," pamitku.
"Ars!" Aldi mencekal lenganku.
"Apa?"
"Kamu gemukan sekarang. Lagi ... hamil?"
Aku menutup bagian perut dengan tas. Walaupun tak sepenuhnya tertutupi.
"Nggak usah ditutupin. Orang masih keliatan."
"Iya. Aku lagi hamil," ucapku sambil kembali menarik tas.
"Suami kamu mana? Kok nggak nemenin kamu berpergian? Harusnya kan kalo kamu lagi hamil ...."
"Dia lagi kerja," kataku cepat-cepat menyela kalimatnya.
"Oh ... oke. Kalo gitu, salam buat suami kamu."
"Ya."
Aku segera melangkah, meninggalkan Aldi di depan outlet baju bayi. Mungkin aku terlihat canggung. Tidak seperti dia yang terlihat sangat santai.
Tapi, aku bertanya-tanya. Kenapa dia juga sendiri? Ke mana perempuan yang dulu dia nikahi? Ah, biarlah. Aku tak peduli, itu bukan urusanku.
"Yuk, Hil," ajakku setelah berdiri di hadapannya.
"Udah? Yuk!"
Kami berjalan beriringan.
"Suami kamu udah pulang?"
"Hah? Hmmm ... belum."
"Kita makan dulu yuk?"
"Boleh."
Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan untuk makan ramen. Aku dan Hilda memesan dua porsi ramen pedas. Sembari menunggu pesanan datang, kami terlibat percakapan singkat. Sambil selfie sesekali.
Aku mengusap layar ponsel. Memperbesar objek di dalamnya. Wajah Hilda terlihat sangat cantik. Rasanya, terlalu sia-sia jika dia hidup tanpa seorang suami.
Beberapa menit selanjutnya, pesanan datang. Aku dan Hilda segera melahap mie ramen yang masih mengepul. Sedikit meniupnya lembut di atas sumpit.
"Ars!"
Aku menoleh. Ternyata mami, Erika, dan Latisha. Mereka segera menghampiriku.
"Arsyana ... mami kangen," ucapnya sambil cium pipi kanan dan kiri.
"Hai, Ars. Apa kabar?" sapa Erika.
"Baik, Kak." Lalu aku menoleh pada Latisha. "Hai, cantik! Gimana kabarnya?" tanyaku mengusap rambutnya.
"Kabar aku baik, Tante."
"Loh, loh ... sebentar ...." Mami mengintip isi mangkukku. "Kamu makan mie?"
"I-iya, Mam," jawabku ragu.
"Ini nggak bagus buat pertumbuhan bayi kamu, Ars."
"Aku jarang kok, Mam, makan ini. Baru kali ini."
"Tetep aja ini nggak baik."
"Too much, Mam! Udah, Ars. Lanjutin aja makannya," perintah Erika.
"Hih! Ya udah kalo gitu. Erika, pesenin satu juga buat mami."
"Nah kan, Mami juga pengen?" ledek Erika sambil terkikik.
Mami hanya mendelik. Kemudian duduk di bangku sebelahku. Disusul oleh Latisha.
"Loh, ini siapa?" tanya mami pada Hilda.
Ah, aku hampir lupa bahwa ada Hilda di depanku. "Ini Hilda, Mam. Temen kursus aku."
Hilda menyalami mami sambil memperkenalkan diri. "Aku Hilda, Tante."
"Saya mertuanya Arsyana."
"Oh, mertuanya? Wah ... saya iri loh, Tante. Kalian bisa sedekat ini."
"Iya dong. Mami ini sayang banget sama Arsyana. Apalagi, sekarang dia lagi hamil cucu mami," ucap mami sambil mengelus perutku.
Erika duduk di samping Hilda. Mereka bersalaman seraya memperkenalkan diri masing-masing.
Aku hanya tersenyum simpul. Sejujurnya, aku bahagia moment seperti ini. Di mana, mami sangat antusias atas kehamilanku. Tak pernah kusangka akan mendapatkan mertua sebaik mami. Yang awalnya kukira dia akan seperti mertua-mertua jahat seperti kebanyakan sinetron. Minus anaknya yang bejat.
Kami melewati makan malam dengan menu ramen sambil sesekali terlibat percakapan receh. Mami selalu membicarakan Evan. Bagaimana lucunya Evan kecil, dia yang paling tampan satu komplek, atau begitu ketergantungannya dia terhadap mami. Aku lebih banyak diam.
Setelah acara makan malam selesai, kami berjalan bersama-sama menuju parkiran. Mami dan Erika menawari untuk mengantarku pulang.
"Hil, kamu juga kita anterin pulang ya?" tawar Erika.
"Oh, nggak usah, Mbak. Saya udah ada yang jemput kok."
"Oh, gitu? Ya udah, hati-hati di jalan ya."
"Iya, Mbak. Kalian juga, hati-hati di jalan."
Aku duduk di kursi belakang bersama Latisha. Dia tengah mengunyah cotton candy yang dibelinya di dalam mal tadi. Terlihat semakin manis jika dia yang memakannya. Berkali-kali aku mengelus rambut dan mengelus pipinya. Gemas.
"Ars, kamu sama Evan gimana?" tanya mami tiba-tiba.
"Aku nggak tau, Mam."
"Ars, kamu percaya Evan ngehamilin perempuan lain?" imbuh Erika sambil terus menyetir.
"Aku maunya nggak percaya, Kak. Tapi udah banyak bukti."
Mami menatap lurus ke depan. Tak ada lagi kalimat yang ke luar dari mulutnya. Begitupun Erika. Yang terdengar hanyalah, celoteh dari bibir Latisha hingga sampai di depan halaman rumah.
"Mami, Kak ... makasih ya udah anterin aku. Dah, cantik," ucapku sambil menyentil dagu Latisha.
"You're welcome," jawab Erika.
"Ars ...."
"Iya, Mam?"
"Mami harap, kamu nggak pisah sama Evan. Pikirin lagi semuanya baik-baik."
Aku menarik napas perlahan, lalu tersenyum simpul. "Iya, Mam. Aku masuk dulu."
Aku bergegas ke luar dari mobil. Menunggu Erika melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah. Setelah itu, baru aku masuk ke dalam rumah.
"Abang belum pulang, Mbak?" tanyaku pada Mbak Sri yang sedang membuat teh di dapur.
"Tadi sih udah pulang, Dek. Tapi pergi lagi sama Mbak Kanaya."
"Ke mana?"
"Nggak bilang mau ke mana."
"Oh."
"Dek Arsyana mau Mbak bikinin teh? Atau jus?"
"Nggak deh. Aku udah kenyang."
"Oalah ... itu belanjaannya banyak banget, Dek?" Mata Mbak Sri terbuka lebar saat melihat barang bawaan di kedua tanganku.
"Ini? Hehe ... jangan bilang sama Abang ya?"
"Siap. Asal ...."
"Nih," selaku mengulurkan satu plastik ramen. "Aku kan selalu inget sama Mbak yang doyan makan."
"Wah ... makasih loh, Dek."
"Hm," gumamku memanyunkan bibir. "Aku ke kamar dulu."
"Iya ... eh, Dek ...."
"Kenapa?"
"Tadi Mas Evan ke sini."
"Terus?"
"Ya nyariin Dek Arsyana lah. Masa nyariin Mbak?"
"Ya terus Mbak bilang apa?"
"Bilang Dek Arsyana belum pulang."
"Gitu doang? Ya udah sih!" ucapku ketus hendak melangkah.
"Dek, bentar!"
"Apa lagi, Mbak?"
"Ini." Mbak Sri mengulurkan sebuah amplop putih. "Mas Evan nitip ini."
"Apa ini?"
"Belum Mbak buka lah, Dek."
"Oke. Makasih ya, Mbak."
Mbak Sri hanya bergumam. Kulihat di sudut mata, dia tampak menuangkan ramen ke dalam mangkuk. Aku segera memasuki kamar. Menyimpan barang belanjaan di pojok ruangan.
Aku duduk di tepian tempat tidur. Meraih ponsel di dalam tas. Mengusap layar perlahan. Ternyata, puluhan misscall dari Evan. Banyak chat yang berderet darinya.
Aku segera membuka amplop dari Evan secara perlahan. Dahiku mengernyit saat melihat isinya. Debit card dan credit card. Seketika aku ingat Bang Ash. Dasar, menyebalkan!
Saat aku hendak berdiri, selembar kertas putih terjatuh dari amplop. Aku membaca tulisan di atasnya.
'I love you, Ars.'