Di usia kehamilan yang mulai menginjak empat belas minggu, mual dan muntah semakin jarang. Sebaliknya, nafsu makanku sedikit lebih meningkat. Berat badan mulai bertambah. Beberapa bagian tubuh mulai terlihat berisi. Walau di bagian perut belum begitu kentara.
Aku masih menjalani hari seperti biasa. Namun, sebisa mungkin membatasi interaksi dengan Bang Ash. Dengan Evan sendiri, dia masih sering menemuiku. Biarlah, aku hanya memberikan sedikit ruang untuk dia merasakan kasih sayang seorang ayah.
Walau sejatinya, hati masih perih terasa. Rasa sakitnya masih sama seperti kali terakhir. Bahkan, aku memberi Evan kesempatan untuk bertemu 'dia' yang lain. Yang saat ini sedang berusaha tumbuh di dalam rahim perempuan lain.
Aku mulai mengikuti les masak. Baru seminggu yang lalu. Tujuanku mengikuti les masak bukan lagi demi Evan. Aku hanya ingin mencari kesibukan. Tak apa, itung-itung me-refresh otak yang begitu penat.
Air mengalir perlahan dari keran wastafel. Kubasuh tangan di atasnya sambil sesekali bercermin. Lingkar mata tampak jelas di wajah. Entahlah. Aku lupa kapan terakhir kali bisa tidur nyenyak.
"Ars?"
Aku memperhatikan sosok di belakangku dalam cermin. Hilda. Akhir-akhir ini aku mulai akrab dengannya. Kami mengikuti les di jam yang sama. Setidaknya, aku memiliki teman di sana.
"Eh, Hil? Udah selesai?" tanyaku.
"Udah, yuk!"
Aku dan Hilda ke luar dari toilet. Berjalan beriringan menuju halaman depan. Kami duduk di bangku taman yang kosong. Sore ini masih terang. Semilir angin berembus beberapa kali menyapu wajah, mengibaskan rambut
"Kamu nunggu dijemput?" tanyanya.
Aku menyunggingkan senyum. Sebenarnya aku sendiri tak tahu. Aku sama sekali tak mengharapkan Bang Ash datang menjemput. Apalagi Evan, tak sedikitpun mengharapkan kehadirannya.
"Iya, Hil. Kamu sendiri?"
Hilda mengangkat bahu. "Aku cuma pengen nyantai dulu aja di sini."
Aku tersenyum lagi. Menghirup dalam-dalam embusan angin sore.
"Berapa minggu?" tanyanya tiba-tiba.
"Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Kamu lagi hamil kan?"
Aku menatapnya lekat. Mengerutkan dahi. Bagaimana dia bisa tahu? Sedangkan setiap aku mengikuti les masak, aku sengaja mengenakan baju yang sedikit longgar.
Hilda meraih jemariku. "Aku pernah hamil, Ars. Kamu lupa?"
"Oh, ya ... kamu pasti bisa bedain mana perempuan yang sedang hamil."
Hilda tersenyum. "Jadi, udah berapa minggu?" ulangnya.
"Aku rasa, hampir empat belas minggu. Atau, lebih ... entahlah," jawabku terbata.
"Udah periksa?"
Aku menggeleng.
"Kamu harus sering-sering periksa. Untuk memastikan kondisi janin dalam perut."
Aku menundukkan wajah. Sebelum dia mengingatkan, aku sudah mengerti sebelumnya. Hanya saja ... tak mungkin aku pergi ke dokter kandungan seorang diri. Mbak Sri bisa saja menemani. Tapi, tak bisa memastikan jika mereka bertanya 'ke mana suaminya?', aku akan baik-baik saja.
"Aku nggak pernah liat suami kamu. Ke mana?"
"Dia ... kerja," jawabku pelan.
"Oh, jelas aja. Dia pasti sibuk untuk menyambut kelahiran anaknya. Juga, mempersiapkan masa depannya. Gitu kan?"
Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya. Sebuah polemik yang tak ada akhir.
"Kamu beruntung. Anakku lahir tanpa seorang ayah," lanjutnya.
"Kenapa?" tanyaku terkejut.
"Ayahnya nggak ada sejak dia masih dalam kandungan."
"Oh, maaf ... aku turut sedih dengernya."
"Nggak apa-apa." Hilda tersenyum.
Setelah itu, ada sebuah motor menepi di hadapan kami. Motor yang sama saat kulihat waktu itu.
"Ars, aku udah dijemput. Aku duluan ya," ucapnya sambil berlalu dan bergegas menaiki motor.
Aku memandangi kepergiannya yamg semakin menjauh dan hilang di tengah keramaian. Menit berikutnya, sebuah mobil menepi di hadapanku. Evan.
Dia membuka pintu, lalu turun dari mobil. Menghampiri, dan duduk di sampingku. Dia mengenakan kemeja warna navy, lengkap dengan dasi yang menggantung.
"Aku baru tahu barusan kalo kamu mulai les masak lagi."
"Bosen di rumah."
"Aku anter kamu pulang ya."
"Aku nunggu Bang Ash."
"Ashkara buru-buru tadi, mau jemput Kanaya katanya."
Kanaya. Kalau saja dia sedikit ramah, aku pasti akan menyukainya. Sering kali aku mendapatinya sedang cemberut di hadapan Bang Ash. Sama seperti dia memaksakan senyum di depanku. Seolah-olah aku sebagai penghalang dalam hubungannya.
Ponselku berdering, aku merogohnya dalam tas. Bang Ash.
"Iya, Bang?"
"Ars, lu bisa pulang sendiri?"
"Iya, Bang."
"Maaf, gue nggak bisa jemput ...."
Tut.
Kumatikan sambungan telepon. Berikutnya, Bang Ash kembali menghubung. Namun, kuabaikan.
"Ars, aku anter ya?" tawar Evan sekali lagi.
Tak ada pilihan. Aku mengangguk pasrah. Evan segera membukakan pintu mobil untukku. Aku bergegas masuk ke dalamnya.
Tak ada obrolan yang berarti selama perjalanan. Aku banyak mengalihkan pandangan.
"Kamu ngidam apa?" tanyanya sambil terus menyetir.
"Renata ngidam apa?" Aku balik bertanya.
Evan menarik napas pelan. "Aku tanya kamu."
"Aku juga tanya kamu ... tentang dia."
"Aku masih suami kamu, aku berhak tau."
"Dia juga anak kamu. Kamu berhak tau."
Rem berdecit ketika Evan menginjak pedal rem tiba-tiba. Jantungku berdegup kencang. Napasku terengah.
"Kita ini apa?" Nada suaranya meninggi.
Aku tak menjawab.
"Kamu masih istriku, Ars!" teriaknya.
Aku menatapnya nyalang.
"Maaf, aku hanya ... Ars ... aku mohon, percaya sama aku," ucapnya dengan nada lebih lembut.
"Tunggu bayi itu lahir."
"Aku nggak bisa jauh sama kamu selama itu, Ars!"
Aku membuang muka. Hening. Menit berikutnya, Evan kembali mengemudikan mobil. Sepanjang jalan kami hanya diam. Larut dalam pikiran masing-masing.
Saat sampai, aku langsung turun dari mobil tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan Evan di dalam mobil. Aku masuk ke dalam kamar, melewati Mbak Sri yang sedang menyapu lantai. Lalu, berbaring di atas tempat tidur, membelakangi pintu yang lupa kututup.
Tak lama, aku merasakan sesuatu naik ke atas tempat tidur. Sebelah tangan melingkar di atas tubuh. Mengusap perutku perlahan.
"Aku kangen kamu, Ars ...," lirihnya sambil menciumi rambutku dengan sayang.
Aku masih tetap membelakanginya. Tak ingin menoleh sedikit pun. Merasakan sentuhannya dalam diam, tak berniat menolaknya. Aku pasrah.
Evan menyingkap sedikit bajuku. Kini, kulit tangannya bersentuhan langsung dengan perutku. Dia mengusapnya dengan lembut.
"Dia butuh ayahnya, Ars ...."
Aku tak menggubris. Entah kenapa, dadaku berdebar dengan kencang. Kerinduan yang mendalam, membuatku terhanyut dalam buaiannya.
Di saat yang bersamaan, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam sana. Untuk pertama kali. Aku menitikkan air mata. Tanpa suara.
"Ars ... dia bergerak, Ars. Aku bisa merasakannya," ucapnya antusias sambil melongok wajahku.
Aku menyeka air mata. Membalikkan badan menghadapnya. "Udah. Kamu pulang ya."
"Nggak. Aku masih pengen ngerasain dia bergerak lagi."
"Tapi, Van ...."
Belum sempat aku melanjutkan kata-kata, Evan mencium bibirku. Mengulumnya lembut. Melumatnya perlahan. Aku terhanyut.
Aku sungguh merindukannya. Tanpa sadar, aku memejamkan mata, melingkarkan tangan di lehernya. Kembali merasakan getaran cinta yang telah lama hilang.
"Ars ...." Suara Bang Ash memanggilku.
Aku langsung mendorong tubuh Evan kuat-kuat. Dia melepaskan tangan yang tengah mengusap perutku.
"Bang Ash pulang. Kamu juga cepet pulang," ucapku kembali berbalik membelakangi Evan. Merapikan baju yang sempat tersingkap.
"Ars? Evan?" Bang Ash telah berada di kamarku. Aku bergeming, tak melihat keduanya.
"Ash, besok gue mau anter Arsyana periksa ke dokter kandungan. Lu ngizinin, nggak ngizinin, gue akan tetep ajak dia," ucap Evan tegas.
Bang Ash tak menjawab. Terdengar suara langkah kaki yang semakin menjauh. Disusul suara mesin kendaraan yang meninggalkan halaman rumah.
"Ars ...," panggil Bang Ash pelan.
"Gue capek, Bang. Pengen istirahat," sahutku tanpa membalikkan badan.
"Ya udah. Lu istirahat ya."
Derap langkah Bang Ash kian menjauh. Saat bersamaan, air mata kembali meleleh. Aku selalu tak bisa menahannya. Selalu seperti ini akhirnya. Aku payah. Muak.
***
Walau belum sempurna, dia telah memperlihatkan lekukan bentuk tubuhnya. Jantungnya telah berdetak. Di dalam sana, dia memintaku untuk terus bertahan hingga akhir. Bekerja sama hingga dia terlahir.
Evan tak hentinya memandangi foto hasil USG. Sesekali meraih jemariku, digenggamnya sangat erat. Aku berkali-kali menengadahkan wajah, mengatur napas. Bahagiaku harusnya lebih dari ini.
Ini ... tak adil.
Aku melepaskan genggaman tangannya. Hendak melangkah, namun ditahannya.
"Ars ...."
"Cukup, Van."
Evan memelukku seketika. Aku diam.
Merasakan dekapannya yang kuat dan hangat. Tak ada yang lebih nyaman daripada ini. Aku memejamkan mata. Mencoba memohon pada semesta untuk terus seperti ini hingga beberapa saat.
Aku gelisah ketika sang waktu terus berputar. Akan ada saatnya kata perpisahan. Menyisakan kenangan yang telah lalu.
"Evan ... aku boleh minta sesuatu?"
"Apapun ...," bisiknya lembut.
"Aku harap ... kamu jangan temuin aku lagi."
***
Hari-hari yang kulalui, terasa berat. Aku semakin payah dalam situasi seperti ini. Semakin jarang pula mengobrol dengan Bang Ash. Aku hanya ingin memberikan ruang pada Bang Ash untuk mengeksplor tentang kekasihnya.
Aku hanya adiknya. Tak boleh egois, apalagi tak tahu diri. Bang Ash adalah pria dewasa. Sama seperti pria-pria lainnya yang mungkin saja butuh waktu untuk menyesap manisnya cinta.
Sedangkan yang menjadi pusat duniaku, kini tak ada. Tak ada lagi dua anak manusia yang saling memadu kasih di antara heningnya malam. Tak ada lagi detak jantung yang saling bersahutan di antara perasaan yang kian menggebu.
Sebongkah rasa, secercah harapan, melebur menjadi satu. Sirna, tak lagi sama. Tema, sudah berbeda. Aksara, tercerai entah ke mana.
Yang ada hanyalah ... banyaknya mimpi buruk yang rutin menghantui. Betapa biadabnya ketika aku bersusah payah menahan beribu pedang yang kian menusuk jantung.
Bodoh. Tolol. Cacian apa tepatnya yang pantas untukku? Menyedihkan.
Deja vu. Seperti setahun lalu, aku kembali terperosok ke dasar bumi. Namun, jauh lebih dalam. Sehingga membuatku membutuhkan lebih banyak energi dari sebelumnya. Bertahan, atau tetap tinggal?
Butuh waktu lama untuk menata hati. Dengan sekejap hancur berkeping-keping, luluh lantak, porak poranda. Olehnya yang memiliki hati seperti belati. Menyayat hingga ke akarnya.
Rumit.
Menyakitkan.
Aku rapuh. Goyah. Kerinduan, harapan, tak lagi timbul ke permukaan. Aku lelah. Pasrah. Menyerah. Pada semesta yang enggan berpihak.