Kalau ABG Narsis, aku sih biasa ajah. Ini ... aku cuma bisa mendengus lemah. Ya Tuhan???
Jitak
Jangan.
Jitak.
Jangan.
Sabar Diaah... sabar!
Gawaiku berdering. Kulirik Pak Danis yang tentu saja marah melihat aku mengangkat telpon.
"DIAAAH!!"
"A minute plis?"
Ku biarkan saja Pak Danis mengoceh sendirian di belakang sana.
MAMA
Nama yang terpampang pada layar gawaiku. Ada kabar apalagi ini???
"Assalammualaikum, sayang?? Kamu masih di sekolah yah??"
"Iyah Mah . Kenapa??"
"Mama cuma mau bilang ama kamu sayang. Nanti ada anak om Ridwan dateng ke rumah. Mulai sekarang dia yang bakalan jagain kamu. "
"Duh Mama??? Diah nggak mau.. adek baek baek aja kok. "
"Nggak Dek. Pokoknya kali ini kamu harus nurut. Mama nggak mau denger lagi kalo rumah itu berhantu. Ok?"
"Maa??? " aku memelas.
"Kalau kamu nggak mau. Kamu harus pulang ke rumah tinggal ama Mama dan Papa. Ok??"
"Diah nggak Mau!"
Tut.
Tut.
Tut.
Telpon itu terputus. Air mataku hampir jatuh. Aku tak mau kembali ke rumah Papa. Diaa... bukan Ayahku. Dia suami ke dua Mama.
Pluk!
Lagi sebuah buku mendarat di kepalaku.
"We are aim a gold medal! Can u..."
Pak Danis diam tak melanjutkan ucapannya. Segera ku seka bulir bening yang mulai menganak sungai di mukaku.
"Bisa nggak sih, nggak usah pake acara mukul kepala Diah. Diah nggak sukak di gituin."
...
Danis
Ada apa dengan gadis ini? Kenapa tiba-tiba menangis di hadapanku hanya karena kupukul pelan kepalanya dengan buku.
Habisnya dari tadi dia urung mendengarkan aku. Asyik sendiri dengan gawainya dan lupa kenapa dia ada di sini sekarang.
"Oh. Maaf. Bisa kita lanjutkan belajarnya, Nona Diah Pratiwi?"
Apa yang menjadikan aku begitu tertarik untuk menjailinya? Aku juga bingung sendiri.
Dia yang pertama kali aku temui saat masuk ke sekolah ini. Dia juga yang menyelamatkan aku dari keusilan teman-teman sekelasnya.
Kabarnya, tak ada yang akan betah dengan ulah usil bin jahil anak anak kelas 3 ipa 3 itu.
Ada Miko si anak Kepala sekolah. Si kebal hukum yang selalu saja membuat keonaran dan kerusuan.
Aku masih ingat kejadian sebulan lalu saat aku pertama kali datang di sekolah ini. Aku berjalan di selasar kelas menyusuri satu demi satu kelas.
Ada satu yang riuh rendah. Aku menghampirinya.
Seorang gadis bermasker berdiri di depan kelas. Membawa buku usang yang hampir copot halamannya.
Buku tua yang lebih mirip kitab sakti empu Gandring itu di taruhnya perlahan.
Sedikit demi sedikit dia menuliskan rumusan di papan tulis. Pelan tapi pasti.
Beberapa siswa tampak berbisik dan berbincang di belakang kelas. Sambil sesekali melempari gadis bermasker yang ada di depan kelas dengan kertas ataupun pinsil.
Aku mengetuk pintu kelas itu. Mereka sudah terlalu usil.
Pintu kayu bercat abu itu terbuka setengah. Seseorang mendonggakkan kepalanya.
"Cari siapa,Pak?"
"Pak Jhoni ada?"
"Di kantin, Pak."
Wah sepagi ini di kantin??
Aku segera berjalan menuju kantin. Beberapa siswa tampak berusaha keluar kelas. Si gadis bermasker itu berteriak lantang.
"Masuk! Sekarang!!"
Suaranya besar sekali. Aku terkekeh mendengarkan suaranya.
Lalu aku pergi menemui Pak Jhoni, guru Fisika paling senior di sekolah ini. Dia akan menjadi guru pembimbing aku selama ada di sekolah ini.
Hari pertama mengajar.
Beberapa kali Diah memanggil namaku.
"Pak.. maaf Pak tadi siapa nama Bapak?" Aku menoleh memulas senyum untuknya.
"Nama saya Danis."
Aku kembali menulis di papan tulis.
"Pak... maaf Pak." Aku kembali menoleh.
"Iyah kenapa?"
"Itu baris ke 3 kanan nggak jelas tulisannya."
Aku mengambil penghapus dan mengkoreksi bagian yang Diah minta. Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi benda jatuh.
Aku segera menoleh dengan sigap. Tak ada apa-apa. Hanya beberapa siswa yang mulai senyum-senyum tak jelas. Dan seorang siswa memegangi kepalanya.
Diah masih kalem sambil menulis di bukunya.
Aku berbalik dan kembali menulis.
"Hm..." dia lagi dia lagi.
"Kamu mau bilang apa lagi? Bisa kita lanjutkan kelas ini?"
"Ng... bisa Pak."
Saat kelas berakhir Ardi sang ketua kelas membantuku membawa buku tugas berkata. "Tadi itu, Diah melempar kepala Dino dengan penghapus papan tulis. Soalnya berkali-kali Dino berusaha melempar bapak dengan telur busuk."
"Waa??"
Aku takjub. Diah...
"Udah sering guru di usilin ama Dino dan Miko. Dan biasanya memang Diah yang paling di depan untuk melawan mereka berdua. Kalau kami... mana berani."
"Hm... gitu."
"Kenapa gitu?"
"Kan Miko anak kepsek Pak. Kalo kita macem-macem malah kami yang bakalan di keluarin."
Aku masih ingat tingkah kocak Diah saat aku masuk ke kelasnya. Ternyata kekonyolannya itu untuk melindungi aku.
Anak kecil yang aneh.
..
Aku tak pernah betah mengajar di sekolah. Karena wajahku yang terlalu tampan ini. Setiap siswi yang melihat ku bukannya belajar malah sibuk senyum-senyum sendiri melihat ke arahku.
Aku pernah pindah ke sekolah khusus pria. Sama saja, guru di sana malah pingsan saat pertama kali melihatku.
Tapi, tidak di sini. Semua tampak normal dan baik-baik saja. Hanya segelintir siswi yang sibuk melirik centil ke arahku. Sebagian lainnya malah takut-takut menatap langsung ke arahku. Atau ada juga yang terang-terangan menggodaku.
Dan Diah, dia termasuk gadis yang tidak memperdulikan aku. Acuh,cuek,tapi kadang menjadi super perhatian dan paling bisa diandalkan.
Dan aku yakin, diantara semua gadis yang aku temui cuma Diah saja yang bilang ke temen-temennya. Kalau aku nggak Ganteng sama sekali.
Dasar anak kecil bau stroberi!
..
Gawaiku berdering, ada panggilan dari Mama. Segera aku anggkat panggilan itu.
"Ya,Ma. Assalammu'alaikum."
"Duh Daniiis kamu ini ke mana ajah nggak angkat telpon Mama??"
"Danis masih di sekolah,Mah. Nanti saja yah?"
Segera kumatikan gawaiku. Aku tak mau Mama mengangguku hari ini. Sudah cukup. Cukup sudah dia berusaha menjodohkan aku dengan banyak gadis.
Adikku Dimash, juga tak luput dari perhatian Mama. Ketauan sekali saja dia bonceng anak gadis orang, langsung disuruh nikahi. Agar bisa memaksaku segera menikah dengan gadis pilihan Mama.
[Jangan lupa ke rumah Pak Praditya sore ini. Inget yah... kamu mama jodohin dengan anak gadis mereka. Mama yakin kali ini kamu pasti suka.]
"Pak bisa kita lanjutkan ini?"
"Ah iyah.. sebentar."