Chereads / Susu kotak rasa STRAWBERRY / Chapter 2 - Modus

Chapter 2 - Modus

Aku mengikuti langkah Ari ke parkiran. Beberapa siswa masih sibuk dengan kegiatan eskulnya masing-masing.

Duran dengan tim paskibrakanya. Fahri dengan tim karatenya. Dan Adit dengan klub majalah sekolah. Juga masih banyak siswa lain dengan kegiatannya masing-masing. Atau yang asyik sendiri main gitar di pojokan sekolah juga ada. Yang menebar bunga-bunga cinta di taman sekolah, di kantin. Di bawah pohon. Di dalam kelas, di teras.

Indahnya masa putih abu-abu.

Ah aku sampai lupa, namu Diah Pratiwi. Aku siswi kelas 3 Sma. Anak Ipa. Udah pasti kalo aku ini pinter nggak ketulungan soalnya aku rutin ikut olympiade sains walo cuma sampek tingkat kota.

Hiks ngebanggain diri sendiri. Istiqfar dong,Dee. Sadar!! Sadar!!!

"Muka kok di lipet aja,Dee?"suara Ari membuyarkan lemunanku.

"Eh.. iyah..."

"Tadi nasi buat siapa? Kok aku liat kamu makan lagi di mushola???"

"Eh. Itu... itu... bu..--at pak Danis."

"Pak Danis? Oh... guru fisika yang baru itu yah?"

"Iyah.."

Ari menyodorkan helm kepadaku. Aku segera naik ke motornya.

"Pegangan, biar nggak jatuh."

"Nggak .. tenang ajah."

Saat kami keluar gerbang sekolah, aku melihat pak Danis berkancak pingang di pinggir jalan. Aku segera bersembunyi di belakang Ari. Mendekatkan kepalaku ke bahunya.

Ku lihat seutas senyum ada di wajahnya.

Yah salah sangka deh dia.

.

.

Ari sedari dulu selalu memaksaku untuk mau di antar pulang. Segala cara di cobanya, hatiku bergeming. Tak pernah sekalipun mau dia mengantarkanku pulang. Tapi kali ini aku kepepet. Ah biarlah... lagi pula perutku sakit karena telat makan.

Ku perbaiki dudukku agar Ari tak salah sangka. Dia sebenarnya sih cukup tampan. Tapi, ada seorang gadis yang tergila-gila padanya. Aku tak mau di sebut tukang tikung. Walau...

Ah... entahlah.

Kami sampai di rumah. Aku segera turun dan mengembalikan helm Ari.

"Besok aku jemput yah?"

"Eh nggak usah besok aku naik sepeda ajah."

"Yah.. Diah."

Ari segera memacu motornya.

"Eh tunggu!!!"

"Kamu berubah pikiran?"

"Eh bukan. Besok ngumpul di perpus yah? Di suruh Pak Danis."

"Oh.. OsN yah?"

"Iyah... baeklah besok aku bawa Dira."

"Ok."

"Assalammualaikum..."

"Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarakatuhuu..."

...

Aku memasuki halaman rumahku. Sebuah rumah besar bergaya kuno.

Rumah ini punya 3 kamar dan 2 lantai. Aku memilih tidur di lantai atas. Alasannya sih karena ada balkon, jadi kalau aku mau lihat cantiknya langit malam cuma tinggal buka horden ajah.

Aku tinggal sendirian, sementara Papa dan Mama tinggal di rumah Papa yang lain. Mama dan Papa tentu tidak mau membiarkan aku tinggal sendirian. Sudah entah berapa banyak satpam yang ditugaskan untuk menjagaku.

Tapi, baru juga seminggu mereka sudah lari kocar kacir. Katanya rumahku berhantu.

Bodo amat. Pokoknya aku tenang dan tentram tinggal sendirian.

Setiap seminggu sekali Kak Wita datang, menjengukku. Rumahnya tak jauh dari sini. Dia sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak laki-laki.

Sementara Mama kadang 3 hari sekali mampir. Kadang dia mengirimkan makanan. Kadang dia ikut nginap.

Apa nggak sepi tinggal sendiri?

Buatku sih... aku merasa tenang dan nyaman. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau.

..

Aku segera masuk ke pelataran rumah. Bunga bogenfil warna warni berjajar rapi.

Ada tukang kebun yang selalu datang setiap 2 minggu sekali.

Mbok Mina tampak berdiri di depan rumah.

"Oh.. Neng Diah sudah pulang. Mari Non saya bawain tasnya."

"Ng....ngak usah Mbok."

"Ini Neng, dari Ibuk. Katanya jangan lupa makan."

Wanita paruh baya itu melirik dapurku yang tak berbentuk. Segera dia merapikan dapur itu dengan dua tangan cekatannya.

Aku naik ke kamarku. Merebahkan diri di kasurku yang nyaman.

"Apa kepalanya masih jendol yah?"

Tiba-tiba saja, wajah Pak Danis lewat di kepalaku.

"Eh?? Kenapa pulak aku mikirin lelaki egois seperti dia. Dih amit amit."

...

Tok.

Tok.

"Non.. mbok mau pulang dulu. Dapur dan cucian sudah saya rapikan."

Suara parau mbok Mina terdengar di balik pintu kamarku.

"Iyah Mbok. Makasih."

"Oh iyah Non. Ada pesan dari Bapak."

"Apa Mbok katanya?"

"Rumah ini mau di kontrakin,Non. Jadi biar Non Diah ada temennya. Gitu kata Bapak."

"Hah???? Duuh.. masa Bapak bilang gitu sih???"

"Iya Non. Mbok pamit dulu."

Aku cuma bisa pasrah dengan keputusan Papa.

Kebebasanku?? Hwaaaaa....

..

Ke esokan harinya.

Aku ke sekolah seperti biasa. Dengan beberapa buku tebal di tanganku. Juga tas ransel beratku. Aku minum susu kotak rasa stroberri pemberian Pak Danis. Ah lumayan buat sarapan.

Baru juga sampai di gerbang dalam.

Seseorang menyodorkan kertas kepadaku. Siapalagi kalau bukan Pak Danis. Sontak bibirku miring mendapati kertas itu di hadapanku.

"Dih masih pagi udah ngajak berantem."rutukku dalam hati.

"Foto kopi rangkap 7 ok?"

"Duitnya Pak?"

"Pake duit kamu nanti saya ganti."

Yah...

Aku segera balik kanan, putar haluan ke warung atk di depan sekolah. Memfoto kopi sesuai permintaan Pak Danis.

Ku tinggalkan saja kertas keramatnya di sana. Hahaha... biarkan saja. Enak ajah aku suruh bayarin fotokopinya.

..

Pelajaran di mulai. Kulihat beberapa orang sibuk berlarian sambil berbisik.

"Dee, dah siap Pr matematika??"

"Udah dong."

Ah iyah aku lupa Pak Danis juga mengajar Matematika di sekolah ini. YA ALLAH... kenapa harus dia lagi???

Dia masuk ke kelas. Seketika kelas menjadi hening. Aku diam sambil mengamati wajah oval Pak Danis.

"Pagi??"

"Pagiii Pak."

"Pratiwi?? Mana kertas yang saya minta?"

"Masih di fotokopi Pak."

"Kamu tinggalin di sana??"

"Iyah..."

"Sekarang kamu ambil. Cepat!!!"

Aku segera berlari keluar kelas mengambil kertas tadi.

"Berapa, Bang?"

"5000 dek."

" ini Bang."

Ku sodorkan uang 5000 an dari saku rokku.

Secepat kilat, aku kembali ke kelas. "Ini,Pak. 5000."ucapku sambiĺ menadahkan tangan.

"Apa?"

"Minta duit saya udah bayarin fotokopiannya."

Dia diam membisu.

"Kumpulkan teman-temanmu di perpustakaan sekarang!"

Luar biasa!

Aku segera keluar dari kelas dan mulai berkeliling sekolah memanggil para anggota klub Sains.

"Adit, temenin aku dong?"

"Siaap!"

"Adit. Saya cuma nyuruh Diah bukan kamu. Kamu sekarang duduk. Ada latihan soal yang harus kita bahas."

Glek!

Jahaaat!

Setelah berkeliling aku datang ke perpus. Di sana, pak Danis duduk di sebuah kursi. Matahari pagi menyirami tubuhnya. Di depannya ada sebuah kristal prisma segitiga yang dia jejer rapi.

Pantulan cahayanya berwarna warni. Berputar-putar di langit-langit perpustakaan.

"Aaah .. Kireeei..."

"Mau sampai kapan kamu lihatin saya terus? Saya tau kalau saya ini ganteng maksimal."

"Dih... Ya Allah... yang liatin dia juga sapa???"

"Kenapa, Dee?" Dira menepuk pundakku. Gadis berponi itu menarik tanganku dan duduk di depan Pak Danis.

Ari dan Dira duduk di sisi kiri dan kanan sementara beberapa siswa lainnya duduk di kursi belakang.

Pancaran cahaya itu masih terlalu menyilaukan mata, menganggu penglihatan.

Ada kilauan cahaya yang menyentuh ujung rambut Pak Danis. Dia seakan mandi mentari pagi. Entah kenapa begitu menyenagkan menatapi pemandangan langka di depanku.

Sreeeet!!

Husna menutup tirai jendela perpus. Membuat pancaran cahaya itu terhalang.

Pak Danis tersenyum manis.

"Thanks Husna. Mari kita lanjutkan. Coba buka halaman 2."

Senyuman manis yang terukir di wajah Pak Danis, entah mengapa begitu terasa indah di wajahku. Aku tergidik.

Sadar Dee!! Sadar!!!

Kenapa jugak aku harus duduk di depan dia? Duuuuh... ku benamkan mukaku ke buku tebal berisi kumpulas soal.

Jedug!

Pluk!

Sebuah buku mendarat di kepalaku.

"Fokus!" Ucapnya sambil melotot.