Berada tepat di depan pintu gerbang Kota Morshore, Balam dan Pino merasakan sesuatu yang berbeda dari tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi, terutama untuk Pino. Melihat keramaian yang ada, begitu banyak prajurit dan penduduk yang ada di depan gerbang membuat Pino bertanya-tanya. Bukan penduduk yang membuat Pino bertanya-tanya, namun para prajurit yang tampak gagah dan memiliki aura sama seperti Balam. Mereka bertindak dengan sangat teratur dan tidak ceroboh.
Waktu melihat begitu banyak prajurit yang berjaga-jaga, Balam seperti kembali pada masa dia bertempur bersama mereka melawan para monster. Dia tidak bisa melepaskan bayang-bayang itu, walaupun dia sudah menggunakan berbagai cara untuk membuang jauh-jauh ingatan itu, akan tetapi semakin dia berusaha untuk melupakan ingatan itu malah makin kuat ingatan itu tertanam di ingatannya. Tidak ada cara baginya untuk melupakannya sehingga dia melatih dan mengajar Pino layaknya dia tengah berada di militer dan keprajuritan.
Berbeda dengan Balam yang terbiasa dengan para prajurit, Pino yang baru pertama kali melihat sosok semacam itu merasa aneh dan dia tertarik dengan mereka. Perawakannya yang berbeda dari anak-anak seumurannya juga menjadi keunggulan dari dirinya sendiri.
Tidak ada perbedaan dari dirinya dengan para prajurit tersebut bahkan dia merasa jika dia dapat mengalahkan mereka semua jika memang ada sebuah pertarungan, agak percaya diri memang Pino ini, apalagi setelah dia melalui pertarungan beberapa waktu lalu dan melihat kejadian itu.
"Ayah, para prajurit ini, apa mereka bisa menggunakan sihir? Mereka memang terlihat kuat, namun ada sesuatu yang berbeda. Entah mengapa aku merasa mereka kuat, tapi yang aku maksud kuat itu semacam tekanan yang mereka keluarkan. Apa Ayah tahu akan tekanan ini?" Pino tidak yakin dengan apa yang dia rasakan ketika merasakan tekanan yang dikeluarkan oleh para prajurit.
"Hahaha... kau memperhatikannya dengan cermat, mereka memang mampu menggunakan sihir meski hanya sihir dasar saja, menambah kekuatan, daya tahan, dan kecepatan. Ketiga sihir ini merupakan sebuah dasar yang harus dimiliki seseorang jika dia ingin bergabung dalam militer. Meski hanya sihir dasar yang dapat dipelajari oleh setiap orang yang memiliki sihir, kebanyakan dari mereka yang mempelajarinya adalah orang-orang yang menjadi prajurit biasa, sedangkan mereka yang mengincar posisi tinggi biasanya lebih mengembangkan sihir yang dia miliki sejak lahir," balas Balam, dia tahu jika suatu hari Pino akan menanyakan hal ini.
Dia cukup paham dengan sihir, meskipun hanya sebagian kecil, berbeda dengan Poorstag kawan yang akan mereka temui saat ini. Mereka tidak menemui sedikit pun masalah ketika mereka masuk ke dalam kota, setelah melewati para prajurit dan mendapatkan sebuah token tanda pengenal, mereka masuk ke dalam Kota Morshore.
Sebuah kota yang megah, lalu lintas yang tertata rapi, jalan utama dibagi menjadi dua dimana bagian tengah atau utama menjadi tempat untuk gerobak atau kereta kuda dan mereka yang mengendarai kuda, lalu di bagian samping yang terbagi menjadi dua yakni sisi kanan dan kiri diperuntukkan untuk mereka yang berjalan kaki. Di setiap sisi jalan selalu terdapat sebuah tiang lampu yang memiliki kegunaan untuk menyinari kegelapan pada malam hari dan cahaya itu dihasilkan dari Light Stone.
Bentuk tiap-tiap bangunan sangat mirip dengan bangunan eropa pada abad pertengahan, para penduduk terlihat segar dan berisi, mereka tampak penuh energi.
Suasana di dalam kota ramai dan padat, banyak sekali penduduk yang berinteraksi satu sama lain termasuk mereka yang mengendarai kereta kuda. Keramaian itu tidak menimbulkan suatu kekacauan karena ada cukup prajurit yang melakukan tindakan pencegahan dengan berpatroli.
Kota Morshore sendiri memiliki sebuah tempat yang menjadi destinasi untuk para wisatawan yakni Taman Azer, sebuah taman yang berlokasi di tengah-tengah kota. Taman ini menjadi identitas kota karena adanya sebuah patung yang berdiri dengan gagahnya di tengah-tengah air mancur. Di sekitar patung berbentuk seorang pria yang mengangkat pedang terdapat beberapa bangku serta tiang lampu serta berbagai macam tanaman hias dan bunga.
Mereka berdua tidak tertarik untuk mengunjungi Taman Azer, mereka bergegas menuju ke kediaman Poorstag yang berada di area timur kota, tentunya ada banyak sekali toko, penginapan, rumah makan, dan bar. Balam ingin mengajak Pino menuju ke sebuah serikat petualang atau lebih dikenal dengan nama Guild.
Itu hanyalah keinginannya semata, Balam yang sangat memahami Pino tahu jika bukan itu keinginan Pino melainkan mempelajari sihir, itulah yang menjadi keinginan Pino. Ketika memikirkan keinginan anaknya, Balam merasa jika Akademi Coasthaven akan menjadi tempat yang cocok untuknya mempelajari sihir.
Mereka melihat sebuah bangunan berlantai dua bergaya khas eropa abad pertengahan. Balam mengetuk pintu beberapa kali, namun tidak ada satu pun orang yang membalas ketukannya atau membuka pintu.
"Ayah, apa tempat ini benar-benar tujuan kita? Di bandingkan dengan rumah-rumah lainnya, tempat ini tampak berbeda dan unik, lebih mirip seperti toko daripada rumah. Ini agak aneh, saat aku berada di depan pintu ini, aku merasakan tekanan yang sama seperti saat aku berada di depan para prajurit tadi," ucap Pino, dia merasa sesak di dadanya.
"Ya, inilah kediaman kawanku, Nak. Dia seorang penyihir menengah yang mampu dan membantuku untuk menyegel kekuatanmu. Karena kau merasakan tekanan itu, itu artinya kita berada di tempat yang tepat. Tenang saja, dia pasti akan keluar dan kita bisa membuka segel di dadamu itu dan membuat inti sihirmu terbebas dari belenggunya. Sudah berapa tahun lamanya, aku yakin jika dia sudah menemukan suatu cara untuk membuka segel ini dengan mudah." Balam menenangkan Pino yang tampak khawatir dengan situasi yang ada di depan mereka.
Tidak ada jawaban dari balik pintu membuat Pino gelisah, dia tidak yakin apakah dia berada di tempat yang tepat atau tidak. Perlahan-lahan dia mulai merasa tidak nyaman dan makin tidak nyaman, ketidaknyamanan itu makin menjadi-jadi ketika pintu itu terbuka dan terlihat sosok paruh baya yang berbadan biasa dengan jubah berwarna hijau menutupi seluruh tubuhnya dan dia membawa sebuah tongkat dengan bagian atasnya berupa kristal berwarna merah delima.
"Poorstag, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau terlihat lebih tua? Oh... bisakan kita masuk dan berbicara di dalam saja? Aku ingin membuka segel yang pernah kau gunakan waktu itu, apa kau bisa melakukannya?" tanya Balam, banyak pertanyaan yang keluar dari mulutnya begitu saja ketika dia bertemu dengan Poorstag.
"Balam? Kau tidak terlalu banyak berubah, sikapmu masih sama juga. Jadi, dia adalah Pino, anakmu yang menyebabkan kegemparan waktu itu. Dia sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa, matanya sama seperti matamu dan dia. Setajam elang dan sedingin es, tampaknya dia juga sudah melalui sebuah peristiwa tertentu. Masuklah... kita akan membahas masalah tadi," ucap Poorstag, dia meminta mereka berdua untuk masuk ke dalam rumahnya.
Duduk di ruang tamu, mereka bertiga saling berhadap-hadapan dan seorang pria yang tampak seperti seorang pelayan membawakan minuman untuk mereka bertiga.
"Baiklah, kau sudah mengutarakan tujuanmu, Balam. Aku bisa membukanya namun bersiaplah untuk sesuatu yang mengejutkan," seru Poorstag.