Chereads / The Emperor of Magic (IND) / Chapter 9 - A. Inti Sihir Ditutup

Chapter 9 - A. Inti Sihir Ditutup

Balam telah melihat keinginan para wanita, korban dari Goblin, mereka lebih memilih mati daripada hidup dengan menanggung rasa malu yang begitu besar, tentu saja itu keputusan yang salah. Namun, Balam yang telah menemui hal semacam ini berulang kali tahu jika para wanita ini tidak akan mengurungkan niatnya walaupun dia mencoba untuk menasihatinya, dengan alasan yang kuat itulah, Balam menebas mereka dengan satu kali tebasan, membebaskan mereka dari rasa malu serta penderitaan yang menyakitkan.

Langkah yang Balam ambil sangat mengejutkan untuk Pino, ini kali pertama dia melihat pembunuhan, dan itu dilakukan oleh Ayahnya sendiri, tepat di depan matanya, ia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, wanita yang ia selamatkan dari lubang neraka malah memilih mati daripada hidup, dan kematian itu dikabulkan oleh Ayahnya sendiri dan dilakukan dengan tangan nya sendiri.

"Kenapa, Nak? Jangan memasang wajah yang menakutkan, kemarahanmu itu tidak ada gunanya, perbuatan dan sikapmu sudah baik, Nak. Tapi... apa yang akan terjadi pada mereka selepas ini? Apakah mereka dapat hidup layak dan lepas dari bayang-bayang penderitaan ini? Apa kamu bisa memastikannya? Tidak!! Kamu tidak akan bisa melakukannya, Nak, mereka mengetahui semua itu... mereka memilih mati... kita harus menghormati keinginan dan keputusan mereka," seru Balam, dia memberikan tatapan dingin yang belum pernah ia tunjukkan pada Pino.

Salahkah Pino marah pada Balam? Tidak... dia tidak salah dalam masalah ini, dia menyelamatkan para wanita dari kegelapan dan mencoba untuk membawa mereka ke cahaya, sayangnya dia tidak mengetahui apa yang ada di pikiran para wanita, tidak memahami penderitaan yang telah para wanita itu lalui, sedangkan Balam cukup sering menemui kejadian semacam ini, sehingga dia tahu apa yang pantas untuk dilakukan meski itu bukan pilihan terbaik.

Pino marah dan kesal, namun ia tidak bisa menyangkal apa yang Balam katakan, ia tidak memiliki jawaban yang tepat akan masalah itu. Terkadang membantu seseorang keluar dari kegelapan tidak berarti akan membawanya keluar dari tempat itu, hanya membantu saja tanpa membimbing dan mengawasinya bukanlah langkah yang tepat, karena tiap orang memiliki jalannya sendiri. Akan tetapi, mengabaikan mereka juga pilihan yang buruk bahkan sangat buruk, dilema memang namun itulah kenyataan.

"Tidak seharusnya Ayah membunuh mereka juga, kan?" tanya Pino, dia menyarungkan pedangnya kembali, berjalan menuju ke wanita yang baru saja menatap cahaya untuk kali terakhir, mengambil kain yang terjatuh di tanah, lantas ia menutup kepala para wanita itu lantas membelakangi Ayahnya.

"Khawatirkan saja dirimu dulu, Nak. Kamu akan memahami apa yang Ayah lakukan di masa mendatang, sekarang kamu harus memperhatikan keadaanmu... istirahatlah, Ayah akan mengubur mereka," seru Balam, dia tidak memperhatikan apa yang dilakukan oleh Pino, ia mengangkat keempat wanita dan memindahkannya, lantas ia membuat lubang yang cukup besar, sehingga dia dapat memasukkan keempat wanita ke dalam lubang tersebut.

Malam itu menjadi semakin dingin, tanpa ada kehangatan lagi, bulan purnama bersinar dengan terang. Balam membasuh peluh di dahinya, dia baru saja menyelesaikan pemakaman untuk para wanita, korban kebiadaban Goblin. Ia duduk di dekat makam para wanita, matanya sendu, menatap langit, menyembunyikan perasaannya, ia tidak terlalu ingin mengambil kehidupan lagi. Malam ini dia kembali menjadi pribadi yang dulu, semenjak ia mengurus Pino, ia tak pernah melakukan tindakan seperti hari ini, mengambil nyawa manusia.

Ia tahu seberapa besar dampak dari tindakannya terhadap Pino, namun ia tidak bisa mengingkari keinginan para wanita, dia hanya bisa memendam perasaan bersalah ini. Walapun dia sering melakukan aksi semacam ini, namun itu semua terjadi di masa lampau, lebih dari sepuluh tahun ia tidak membunuh sesama lagi, perasaan yang ia rasakan hari ini membuatnya teringat kembali pada masa itu.

Mau bagaimana pun, ia tidak membiarkan Pino menanggung beban ini, maka dia mengambilnya. Membawa mereka kembali ke kehidupan biasa tidak menjamin mereka hidup dengan baik, tanggung jawab itu jauh lebih berat daripada mengambil nyawa mereka, terutama keputusan ini dapat di ambil setelah Balam melihat keputusan para wanita yang sudah bulat.

Melihat Pino yang duduk jauh darinya sambil menatap makam lekat-lekat tanpa mengedipkan mata, Balam merasa bersalah. "Nak, maaf, kamu harus melihat kejadian itu... tindakan yang Ayah lakukan memang bukan tindakan yang benar, jika kamu memiliki kekuatan yang lebih besar... kamu pasti akan memiliki banyak pilihan," ucap Balam, ia menghampiri Pino ketika dia mengucapkan hal ini.

Hanya beberapa langkah dari tempat Pino duduk, Balam berdiri dengan tenang, matanya menatap Pino dengan tatapan kasih sayang. Sekejap ia tidak bisa melihat Pino lagi, ia berbalik dan hendak meninggalkan Pino yang diam tak menanggapi perkataannya. Tentu ia tidak bisa marah akan sikap yang Pino tunjukkan, ia diam dan berjalan meninggalkan Pino.

"Iya, Ayah. Apa yang Ayah lakukan terlalu mengejutkan untukku, aku tidak pernah melihat Ayah seperti ini," balas Pino, ia menundukkan kepalanya, tak lagi berani menatap Balam, seumur-umur baru ini dia melihat Balam dengan sikap seperti ini, apalagi pada waktu Balam membunuh para wanita. Pino bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari ayahnya, ia merasa jika Balam terbiasa melakukan tindakan semacam itu.

Mereka diam dan saling bertatap-tatapan mata, Pino memberanikan diri untuk menatap mata Balam, ia menghela nafas pelan saat matanya bertemu dengan tatapan mata Balam. Pino berdiri, ia berjalan pelan, ia melangkah mendekati Balam, namun dia tidak memeluk Balam ataupun berada di depannya. Ia melewati Balam dan berjalan menuju ke makam para wanita.

Memegang sebuah batu, lantas menaruhnya ke makam para wanita, lantas ia memegangnya kuat-kuat. Matanya penuh tekad, tatapannya tegas, lantas ia berucap serius, "Maafkan aku... aku tidak bisa menolong kalian lebih awal, jika aku memiliki kekuatan yang lebih, aku bisa menolong kalian. Aku tidak bisa melakukan apapun saat ini, namun... aku berjanji... aku akan membuat dunia ini menjadi lebih baik dan lebih layak lagi untuk ditempati."

Pino mengatakannya dengan serius, wajahnya datar namun matanya penuh tekad. Ia berdiri meninggalkan makam tersebut dan melewati Balam, lalu berkata pelan, " Ayah... bagaimana aku bisa mempelajari sihir dengan cepat? Aku pernah mendengar dari beberapa orang yang hidup dengan kita dulu... jika aku memiliki mana yang besar, mirip dengan ibu."

Balam tak terlalu terkejut ketika Pino mengatakan tentang sihir ataupun membuat dunia menjadi lebih baik, ia malah tersenyum lebar dan melihat Pino dengan kelembutan, "Ayah tahu, kamu akan mengatakan ini, Nak. Tujuan kita pergi ke Kota Morshore untuk membuatmu memahami apa itu sihir... kamu akan lebih mengerti ketika berada di sana nanti. Salah satu syarat untuk mempelajari sihir adalah membuka inti sihir... sebelum itu, Ayah ingin kamu tahu... jika Ayah meminta teman Ayah untuk menutup inti sihirmu."