Tiba-tiba saja, motor yang dikendarai Naya berhenti.
"Oh ya, aku lupa mengisi bensin!"
"Bagaimana yah?!"
"Kalau aku mengantre di pom bensin, sudah pasti aku terlambat masuk kelas."
"Kalau mengisi di pinggir jalan, takut mesin motorku cepat rusak."
"Dua pilihan yang sulit."
"Sudahlah, aku beli bensin di pinggir jalan aja!"
Dengan sekuat tenaga Naya pun mendorong motornya. Hingga dia menjumpai pom bensin mini di depan sebuah mini market.
"20 ribu aja, bang!" ucap Naya pada pemilik pom bensin mini.
"Ok, neng!"
Hanya dalam waktu sepuluh menit, tangki motor Naya pun sudah terisi bensin. Perlahan-lahan Naya pun menghidupkan mesin motornya. Dan kembali melaju di jalan raya. Setelah melalui beberapa lampu merah. Akhirnya, Naya pun sampai di depan kampus.
Dengan tergesa-gesa Naya memarkirkan motornya. Dia coba menengok ke kanan dan kiri parkiran. Tapi, dia tidak melihat seorang pun temannya yang biasa nongkrong ada di situ.
"Pasti mereka semua sudah masuk kelas!"
"Mati aku terlambat!"
"Dia dosen killer!"
"Oh, tidak!"
"Tamatlah riwayatku hari ini!"
Naya terus mempercepat langkah kakinya. Meskipun dengan nafas yang terengah-engah. Tapi, akhirnya dia bisa menaiki puluhan anak tangga hingga mencapai lantai tiga.
Naya sudah berdiri di depan kelasnya. Tapi, pintu kelas tertutup rapat. Ada keraguan di hati Naya untuk mengetuk pintu kelas. Karena, terdengar suara dosen yang tengah menjelaskan materi perkulihannya. Naya menengok jarum jam di tangannya. Benar saja, dia sudah terlambat mengikuti perkuliahan sekitar 30 menit.
Naya pun menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya dia memutuskan menarik engsel pintu kelasnya. Pintu kelas pun terbuka lebar. Di depan papan tulis sang dosen berdiri dengan wajah garangnya. Naya hanya dapat berdiri mematung. Sambil menundukkan wajahnya karena takut kepada sang dosen. Naya juga menahan malu kepada teman kelasnya karena datang terlambat.
"Kenapa kamu datang terlambat?" tanya sang dosen dengan suara kuat.
"Motor saya mogok, pak." Jawab Naya sambil tertunduk.
"Alasan!"
"Mana tugas diskusi?" sang dosen pun kembali bertanya.
Naya pun segera membuka tas ranselnya. Dengan tangan gemetar dan jantung berdegup kencang, Naya terus membolak-balik tumpukan buku yang dibawanya. Tapi, tugas diskusi yang sudah dibuatnya tidak juga ditemukan dalam tas ranselnya.
"Mana tugasmu?!" dengan suara membentak sang dosen kembali mencecar Naya dengan tugas diskusi minggu yang lalu.
"Maaf, pak! tugas diskusinya sudah saya buat. Tapi, ketinggalan di rumah." Dengan suara yang hampir tidak terdengar, Naya berusaha memberikan penjelasan kepada sang dosen. Namun, sang dosen tidak bisa menerima penjelasan Naya.
Dosen yang bernama Dalwan itu pun mendekat ke arah Naya yang masih berdiri di depan pintu kelas. Tanpa berbicara apapun, sang dosen menarik tas ransel yang dipegang Naya. Kemudian, dengan kasarnya sang dosen membuka paksa tas ransel milik Naya. Lalu, menghamburkan seluruh isi tasnya ke lantai.
"Ha.....ha.....ha.....!" tawa sang dosen memecah kesunyian ruang kelas. Tapi, tidak seorang pun mahasiswa yang berani menatap sang dosen.
"Jadi, buku-buku rongsok ini yang kamu bawa ke kampus!" sambil mencemooh Naya, sang dosen pun menginjak-injak buku-buku Naya.
"Jangan.....!" teriak Naya.
"Tolong, pak!"
"Maafkan saya!"
"Saya akan antar tugasnya hari ini juga!" sambil menangis Naya memohon pengertian sang dosen. Tapi, dosen Dalwan tidak mendengarkan permohonan maaf Naya. Dia justru semakin menjadi-jadi dengan mengacak-acak seluruh isi kantong dalam tas ransel Naya.
"Apa ini?" tanya sang dosen dengan mata melotot.
"Itu buku diary saya, pak!"
"Tolong, jangan dibuka pak!" pinta Naya dengan memelas. Tapi, sang dosen pura-pura tidak mendengarnya. Dengan tersenyum mengejek dia pun membuka blue diary milik Naya.
Secara tiba-tiba sinar biru memancar keluar dari blue diary. Sang dosen pun terkejut bukan main. Dan langsung melempar blue diary ke lantai.
Para mahasiswa lain yang sedari tadi diam saja di dalam kelas. Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan ruang kelas. Mereka terlihat ketakutan menyaksikan sinar biru yang memancar dari dalam blue diary. Sinar biru itu memancar memenuhi seisi ruangan.
Kejadian aneh itu membuat sang dosen tidak bisa bergerak. Sedangkan Naya sendiri masih terisak-isak dalam tangisnya. Sekuat tenaga dia berusaha merapikan buku-bukunya yang berserakan di lantai kelas.
Saat Naya hendak mengambil blue diary yang tergeletak di dekat dinding. Mendadak matanya tertuju pada sebuah tulisan yang muncul dari dalam blue diary "Dia akan lewat".
Dengan tangan gemetar Naya pun cepat-cepat menutup blue diary yang telah dipegangnya. Lalu, memasukkannya kembali ke dalam tas ranselnya.
Saat Naya hendak berdiri. Tiba-tiba, sang dosen dengan langkah cepat meninggalkannya sendirian di dalam ruang kelas. Naya hanya bisa memandangi ruang kelas yang kosong. Tangisnya pun kembali memecah keheningan kelas. Naya berusaha menguatkan hatinya. Tapi, dia tidak bisa. Naya merasa sangat sakit hati dengan perlakuan sang dosen terhadapnya.
Naya pun melangkah menuju mejanya. Dia duduk di kursi yang biasa digunakannya untuk mendengarkan perkuliahan. Lalu, dia sandarkan kepalanya di atas tas ransel yang tergeletak di meja. Naya berusaha menenangkan hatinya. Dan menghentikan air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya.
"Apakah kesalahanku terlalu berat?"
"Kenapa Pak Dalwan bersikap seperti itu?"
"Kenapa dia mempermalukanku di depan semua teman sekelasku?"
Semua pertanyaan itu terus berkecamuk dalam hatinya. Tetapi, Naya tidak bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaannya sendiri. Perlahan Naya mengangkat kepalanya. Matanya tertuju pada tas ransel yang tadi menjadi sandaran kepalanya. Hati Naya pun tergerak mengeluarkan blue diary kesayangannya.
Blue diary telah dibuka oleh Naya. Dan dia pun mulai mencurahkan seluruh perasaan hatinya.
"Pak Dalwan kamu dosenku. Seorang dosen yang sangat aku hormati. Kepandaianmu dalam menyampaikan materi perkuliahan sungguh sangat mengagumkanku. Kamu sosok dosen yang terkenal dengan semua kedisiplinan dan aturan-aturan. Kamu juga disegani oleh para seniormu, karena keilmuanmu. Kamu dosen yang memiliki banyak prestasi dan penghargaan. Tapi, pak. Hari ini kamu sudah sangat menyakiti hatiku. Kamu bebani aku dengan sejuta kesalahan di pundakku. Kamu permalukan aku di depan semua temanku. Kamu juga mengejek blue diary kesayanganku. Hatiku sungguh sangat sakit. Dan aku sungguh sangat membencimu."
Naya pun menyudahi goresan luka hatinya di dalam blue diary. Hatinya sudah merasa puas dapat menumpahkannya dalam blue diary. Hingga air matanya tidak lagi membasahi pipinya. Naya pun menyimpan kembali blue diary di dalam tas ranselnya. Hatinya sudah mulai merasa lega.
Karena, merasa tidak ada lagi yang harus dikerjakannya di kampus. Naya pun berniat untuk cepat pulang ke rumah. Tapi, tiba-tiba dia mendengar para mahasiswa di luar sana berteriak-teriak.
"Tolong.....!"
"Pak Dalwan!"
Naya yang mendengar teriakan minta tolong, langsung berlari keluar kelas dan mencari sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari ruang laboratorium. Di dalamnya sudah banyak mahasiswa berkerumun. Naya pun berusaha menerobos kerumunan para mahasiswa.
Betapa terkejutnya Naya saat mengetahui orang yang dikerumuni oleh para mahasiswa adalah Pak Dalwan. Naya melihat Pak Dalwan yang tergeletak tidak berdaya. Matanya melotot ke atas. Tubuhnya kejang-kejang. Dari mulutnya keluar busa bercampur darah. Naya merasa tidak tega melihatnya. Dia pun duduk di sebelah Pak Dalwan.
"Maafkan saya, pak!" ucap Naya pelan sambil memegangi tangan Pak Dalwan. Tapi, Pak Dalwan sedikit pun tidak meresponnya. Hingga takdir berkata lain. Pak Dalwan pun harus lewat dan menghembuskan nafas terakhirnya di ruang laboratorium.
"Selamat jalan, pak!"
"Semoga kamu memaafkan semua salahku!"
"Karena, aku juga telah memaafkanmu, meski hati ini masih terasa sakit."