Chereads / Petaka Sebuah Tulisan / Chapter 1 - Part 1 : Naya dan Blue Diary

Petaka Sebuah Tulisan

🇮🇩Cahaya_Ramadhan
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 62k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Part 1 : Naya dan Blue Diary

Suasana rumah yang lengang membuat Naya merasa sedikit kurang nyaman berada sendirian. Rumah yang biasanya ramai dengan suara mereka berempat, mendadak sunyi seperti tidak berpenghuni. Memang semalam ayah memperlihatkan 4 tiket pesawat yang telah dibooking oleh temannya. Tapi, Naya dengan cepat menolak untuk berangkat. Jadilah ayah, ibu serta Yuda adiknya subuh tadi pergi ke Kalimantan, dengan menumpangi sebuah pesawat. Ayah tidak mau terlambat menghadiri undangan sahabat karibnya. Naya sengaja menolak tawaran pergi ke Kalimantan bersama mereka, karena dia takut ketinggalan perkuliahan.

Teng..teng..teng...jam dinding besar yang berada di ruang tengah berdentang tiga kali. Jarum jam menunjukkan pukul 08.00 wib. Naya sudah bersiap-siap akan berangkat ke kampus. Sepatu tali yang selalu menemaninya pun sudah hampir selesai diikat. Tiba-tiba, ponsel Naya bergetar, pertanda ada pesan sms yang masuk. Naya pun segera melihat isi pesan yang tertera di ponselnya. Ternyata, sms dari pihak kampus. Melalui TU fakultas mereka memberitahukan bahwa perkuliahan hari ini dan besok diliburkan. Sebab, ada acara pelantikan rektor baru di kampus.

Naya pun kembali masuk ke dalam kamarnya. "Andai subuh tadi aku ikut berangkat bersama mereka ke Kalimantan. Pasti aku tidak kesepian begini. Dan aku pun akan merasa sangat senang dapat melihat pulau kalimantan yang luas. Ah, sudahlah semua sudah terjadi," sesal Naya pada dirinya. Tidak tahu harus berbuat apa, Naya pun tertegun duduk di kursi belajarnya. Dipandanginya jajaran buku yang tersusun rapi di atas meja belajar. "Semua buku itu sudah selesai aku baca," katanya dalam hati. Mata Naya pun langsung tertuju pada blue diary yang tergeletak di sudut meja. Blue diary itu merupakan hadiah pemberian dari ibunya, saat Naya berulang tahun yang ke-17. Blue diary bagi Naya sangat istimewa. Bukan karena harganya yang mahal atau bentuknya yang bagus. Tapi, karena blue diary diberikan oleh seorang ibu, sosok wanita yang paling berharga dalam hidupnya. Sejak saat itu, apapun yang dirasakannya selalu ia tuangkan ke dalam blue diary. "O ya, aku kan belum melanjutkan tulisanku yang sempat tertunda tadi pagi," katanya lagi.

Naya pun mulai menulis, "Hatiku tergerak ingin menulis. Mengurai kata-kata yang muncul dari bayang-bayang dalam fikiranku. Menuangkan semua kegelisahan yang mengganggu perasaanku. Anganku mulai melayang-layang. Khayalanku, fikiranku atau perasaanku saja. Tapi, aku merasa semalam kakek datang padaku. Aku menatap wajah kakek yang terlihat pucat. Aku berusaha meraih tangannya. Dia pun mengulurkan tangannya, seakan dia ingin memegang tanganku. Namun, kami tak dapat berpegangan. Kakek lalu membalikkan tubuhnya. Membelakangiku dan pergi. Aku kejar dia. Aku panggil dia. Tapi, dia pergi dan menghilang di balik pintu kamarku. Kakek tak berkata apapun kepadaku." Tulis Naya di dalam buku hariannya.

Naya memcoba memahami apa yang sudah ditulisnya. "Kenapa aku harus menulis seperti ini ?" tanyanya sendiri dalam hati. Naya berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. "Ah, ini kan hanya sebuah tulisan, sama seperti tulisanku yang lainnya," Naya berusaha menenangkan sendiri perasaannya.

Tiba-tiba, ponsel Naya berdering. Perlahan Naya membuka panggilan masuk "halo Naya," suara nenek. "Iya nek," jawab Naya singkat. "Kamu ke Bandung sekarang yah Nay," pinta nenek kepada Naya saat itu. Tanpa mengiyakan perintah dari sang nenek. Naya pun langsung mengirim sms kepada ayah dan ibunya yang berada di Kalimantan (Ayah-ibu, Naya pergi ke Bandung. Tadi nenek telephon dan meminta Naya untuk segera datang ke Bandung. Sepertinya nenek sangat membutuhkan kehadiran Naya saat ini. Maafkan Naya hanya bisa memberitahu via sms. Do'akan Naya agar selamat di perjalanan). Demikian isi sms yang Naya kirim kepada kedua orang tuanya. Tanpa menunggu sms balasan dari ayah dan ibunya, Naya pun langsung mengemasi beberapa helai pakaiannya ke dalam tas rangsel.

Di dalam bis AC Jakarta-Bandung, Naya hanya duduk terdiam. Pandangannya lepas ke luar jendela. Naya nampak sangat gelisah. Kepalanya sudah dipenuhi dengan fikiran yang bukan-bukan. "Ada apa gerangan yang terjadi?" suara hati Naya bertanya-tanya. Selama di perjalanan Naya hanya dapat berdo'a dalam hati. Semoga segala sesuatunya selalu dimudahkan oleh yang Maha Kuasa. Dan dihindari dari segala mara bahaya. Bis yang ditumpangi Naya pun terus melaju dengan kencang menuju kota Bandung.

Sekitar 3 jam lebih, bis yang ditumpangi Naya akhirnya tiba di terminal Bandung. Bergegas Naya turun dari bis tersebut. Dan langsung memanggil tukang ojek di sekitar terminal. Tukang ojek pun segera mengantar Naya ke rumah neneknya.

Hanya beberapa menit saja, Naya sudah sampai di jalan dekat rumah neneknya. Mendadak langkah kaki Naya terhenti. Saat dia melihat beberapa orang membawa peti jenazah masuk ke dalam rumah neneknya. "Nenek....kakek.....," jerit Naya sambil berlari masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di dalam Naya langsung duduk bersimpuh di depan peti jenazah. Perlahan tutup peti itu pun dibuka pihak keluarga. Naya melihat ada kakek di dalamnya. Kakek sudah berbalut kain kafan. Naya tidak lagi dapat membendung air matanya. Tangis Naya pun memecah suasana. Naya menangis sambil memeluk nenek yang terus saja menangis sambil memegangi peti jenazah. "Inikah jawaban dari semua tulisanku," fikir Naya dalam tangisnya.

"Padahal baru semalam aku merasa kakek datang mengunjungiku," Naya bergumam sendiri. "Sore ini justru aku yang mendatangi kakek, melihat jasad kakek yang terbujur kaku. Melihat matanya yang tertutup rapat. Kakek sudah terbalut kain kafan. Dia sudah tak dapat memelukku lagi. Dia sudah tidak dapat bercerita lagi untukku. Dia tidak akan dapat menghiburku lagi, saat aku bersedih," hati Naya meratapi kepergian kakek tercintanya yang terlalu cepat. "Selamat jalan kakek," ucap Naya dalam hati.

Di tengah perasaan sedihnya, terfikir oleh Naya untuk mengirim sms kepada kedua orang tuanya yang saat itu sedang berada di Kalimantan. (Ayah-ibu, kakek sudah tiada. Andai kalian berdua ada di sini. Mungkin aku tidak terlalu terpukul. Aku bisa bersandar di dada kalian. Aku bisa menangis dalam pelukan kalian berdua. Karena, dia kakekku tercinta. Kakek yang selalu memberiku motivasi dalam segala hal. Tapi, kini dia pergi meninggalkan kita semua). Pesan singkat itu pun dikirim Naya kepada kedua orang tuanya.

Pemakaman kakek sudah selesai. Naya pun berpamitan kepada neneknya untuk kembali ke Jakarta malam itu juga. Naya memohon maaf, karena tidak dapat menemani neneknya yang masih diselimuti duka. Tapi, Naya berjanji akan sering berkunjung ke Bandung untuk menengok sang nenek.

#########################################

Setahun telah berlalu sejak kakek meninggal dunia. Pagi ini Naya harus datang lebih cepat ke kampus. Naya terdaftar sebagai mahasiswi di sebuah universitas swasta yang ada di Jakarta. Dari awal masuk Naya sudah memilih FISIP jurusan komunikasi massa sebagai bidang yang akan digelutinya.

Di kampus Naya termasuk mahasiswi yang cerdas dan berprestasi. Banyak mahasiswa yang senang berteman dengannya. Kepribadiannya yang baik, periang, murah senyum dan supel. Membuat ia mudah mendapatkan teman. Meskipun memiliki banyak teman, tapi Naya selalu berusaha menghindari perkumpulan yang tidak bermanfaat. Baginya lebih baik menulis daripada ngumpul dan mengobrol tiada guna. Begitu pun saat dosen tidak mengisi perkuliahan. Naya lebih senang menghabiskan waktunya di perpustakaan dengan membaca buku ataupun membuat tulisan.

Ternyata, pagi itu seorang dosen ilmu komunikasi tidak bisa memberikan perkuliahan. Dikarenakan sang dosen sedang mengikuti diklat selama seminggu di kota Bogor. Semua teman Naya bersorak gembira. Mereka merasa senang mendapatkan jam kosong, bebas dari perkuliahan. Dan dapat pergi ke tempat nongkrong yang mereka suka. Namun, lain halnya dengan Naya. Betapa kecewanya hati Naya mendengar kabar tersebut. Baginya perkuliahan sangat penting untuk menambah ilmu dan pengetahuan. Dan untuk menghilangkan rasa kecewanya, Naya pun dengan sigap melangkahkan kakinya menuju ke perpustakaan.

Di ruang perpustakaan sudah banyak mahasiswa lain berkumpul. Ada yang mencari buku sebagai referensi makalah mereka. Ada juga yang datang untuk sekedar membaca buku seperti buku-buku ilmiah, jurnal, majalah. Juga membaca surat kabar yang terbit setiap harinya. Di sana juga ada beberapa mahasiswa yang sedang berdiskusi tentang tugas makalah yang diberikan oleh dosen mata kuliah tertentu. Semuanya sibuk dengan kepentingan dan urusan masing-masing.

Setelah mengisi buku kunjungan perpustakaan. Tanpa sungkan Naya pun memilih duduk di pojok ruangan baca. Tidak ada buku bacaan yang diambil Naya. Dia malah mengeluarkan blue diary dari dalam tasnya. Perlahan di bukanya blue diary kesayangannya. Di bacanya kembali tulisan-tulisan singkat curahan isi hatinya. Naya tersenyum sendiri membaca tulisan-tulisan yang dirangkainya sendiri. Namun, seketika itu pula raut wajah Naya berubah sedih. Saat membaca tulisan yang telah membuatnya mendapat musibah.

Ruang perpustakaan kampus Naya saat itu, memang dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Seperti, ada beberapa AC yang sengaja dipasang di dalam ruangan tersebut. Hingga Membuat pengunjung perpustakaan merasa nyaman dan betah berlama-lama di dalam. Begitu pun yang terjadi dengan Naya. Tanpa sadar dia memejamkan matanya dan terlelap.

Fikirannya seakan terbawa ke tempat dimana dia sendiri tidak tahu namanya. Dia hanya melihat sebuah lapangan luas bertanah merah. Tidak ada siapapun disana. Tapi, dia melihat Yuda ada disebelahnya. Secara tiba-tiba, kaki Naya merasa dingin dan bertambah dingin. Naya langsung memegang tangan Yuda adiknya. Setengah sadar Naya melihat ke arah kakinya yang kedinginan. Ternyata air sudah mengitari dirinya dan Yuda. Putarannya terus bertambah kuat dan tinggi. Naya berusaha lari dan pergi dari sana. Tapi, tidak bisa. Dia dan Yuda sudah dikepung putaran air. "Tolong.....," teriak Naya.

Tiba-tiba, "Nay, kamu lagi apa di sini ?" tanya Lina sambil menepuk pundak Naya. "Eh, iya aku di sini yah," jawab Naya gugup. "Kamu kenapa Nay, mukamu kok berkeringat ?" lanjut Lina bertanya pada Naya yang masih kebingungan. "Aku sedang menulis, Lin." Naya memperlihatkan blue diary miliknya kepada Lina. "Kamu ada perlu apa menemuiku," tanya Naya kepada Lina yang masih berdiri di sebelahnya. "Aku mau mengajakmu ke perkebunan teh di daerah Sukabumi. Apa kamu mau ikut?" Lina mengajukan tawaran kepada Naya yang masih menatap wajahnya. "Aku tidak bisa jawab sekarang Lin, nantilah aku hubungi kamu yah," jelas Naya. "Ok kalo begitu, aku pergi dulu Nay." Lina pun berlalu dari hadapan Naya. Naya melanjutkan tulisannya di atas kertas blue diary.

"Hatiku tergerak ingin menulis. Mengurai kata-kata yang muncul dari bayang-bayang dalam fikiranku. Menuangkan semua kegelisahan yang mengganggu perasaanku. Anganku mulai melayang-layang. Khayalanku, fikiranku atau perasaanku saja. Aku merasa baru saja mengalami peristiwa yang sangat mengerikan. Aku berpegangan tangan dengan Yuda. Aku pegang tangan Yuda seerat-eratnya. Aku merasa berada dalam pusaran air yang sangat kuat. Pusaran air itu terus berputar di hadapan aku dan Yuda. Pusaran air itu terus saja berputar-putar semakin kuat dan kuat, hingga aku dan Yuda hampir tenggelam." Pena Naya menulis mengikuti gerakan fikirannya. Terkadang Naya pun bingung dengan apa yang ada pada dirinya. Ada rasa takut di dalam hatinya yang orang lain tidak dapat merasakannya. Perasaan itu muncul sendiri, setelah ia menyelesaikan tulisan terakhirnya.

Sore itu langit sangat terang. Naya beserta keluarganya sedang duduk asyik menikmati suasana sore di halaman rumah. Ayah dan ibu mengobrol di bawah pohon mangga. Yuda sedang mencuci motor kesayangannya. Sedangkan Naya duduk santai menyantap cemilan buatan ibu tercinta.

Naya teringat ajakan Lina tadi pagi di kampus. Segera ia menghampiri kedua orang tuanya. "Ayah ibu, bolehkah hari sabtu dan minggu aku pergi bersama teman-teman kampus ke sukabumi ?" tanya Naya kepada kedua orang tuanya. "Dalam rangka apa kamu mau kesana ?" ayah balik bertanya kepada Naya. "Kami pergi untuk refreshing aja yah, jenuh dengan aktivitas kampus," jelas Naya kepada ayahnya. "Pergilah kata ibu, tapi dengan syarat kamu harus dapat menjaga diri dan norma yang berlaku," tegas ibu mewakili ayah. "Baiklah bu," jawab Naya.

Naya pun berlalu meninggalkan kedua orang tuanya. Dan masuk ke dalam kamarnya, lalu menelphon Lina. Dia memberitahu Lina kalau dirinya sudah mendapat izin untuk pergi ke sukabumi. Dengan menyetujui syarat yang diberikan oleh ibunya.

Hari sabtu pagi pukul 09.00 wib. Naya sudah berkumpul bersama Lina, Veti, Sari, Devi dan Dini di terminal Kampung Rambutan Jakarta. Setelah membeli tiket bis jurusan Parung Kuda Sukabumi. Mereka pun segera masuk ke dalam bis yang sudah bersiap akan berangkat ke tempat tujuan.

Tidak menunggu waktu lama. Perlahan-lahan bis keluar dari terminal Kampung Rambutan. Naya dan teman-temannya sangat menikmati perjalanan mereka kali ini. Bis terus melaju melewati jalan tol dengan kecepatan tinggi. Sekitar dua jam lebih, akhirnya bis yang mereka tumpangi sampai di terminal Parung Kuda. Naya dan yang lainnya segera turun dari bis. Dan memastikan semua barang bawaan mereka tidak ada yang tertinggal.

Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan naik angkot menuju perkebunan teh. Kurang lebih 20 menit perjalanan, mereka sampai di perkebunan teh. Naya segera berlari ke arah perkebunan teh disusul dengan yang lainnya. Udara pegunungan terasa sangat dingin dan menyejukan. Keharuman daun teh tercium dimana-mana. Perkebunan teh itu sangat luas dengan warna hijau yang menawan hati. Bagaikan hamparan permadani hijau yang tertata dengan rapi. Sungguh sangat indah ciptaan yang Maha Kuasa.

Tiba-tiba, pandangan Naya mengarah ke sebuah papan kecil di sebelah kanan perkebunan teh. "AIR TERJUN" demikian tulisan yang tertera di atas papan kecil yang terpasang di sebuah pohon besar. "Teman-teman kesini sebentar," teriak Naya memanggil kelima temannya. Teman-teman Naya pun datang menghampiri. "Ada apa Nay," tanya Veti. "Baca nih," jawab Naya sambil menunjuk ke arah tulisan AIR TERJUN. "Bagaimana kalau kita berenam pergi kesana sekarang," ajak Naya serius.

"Nah, boleh juga tuh, aku setuju banget," kata Sari menanggapi ajakan Naya.

Akhirnya, mereka berenam pun melanjutkan perjalanan ke tempat air terjun. Mereka pergi tanpa pemandu dari warga sekitar. Mereka nekat menerobos mengikuti jalan setapak yang cukup sulit. Jalan dengan batu-batu besar yang licin. Di kanan kirinya hanya ada pohon-pohon besar. Juga rumput-rumput liar yang tinggi dan tumbuh dimana-mana menutupi jalan.

Sekitar 15 menit, Naya dan teman-teman sampai di air terjun pertama. Air terjun dengan aliran air yang sangat deras. Dan dikelilingi bebatuan besar, sungguh sangat menakjubkan.

Tepat di bawah air terjun, ada kubangan air yang sangat besar membentuk seperti kolam. Naya dan teman-teman duduk di atas batu besar untuk melepas lelah. "Lihat di atas sana," tunjuk Lina ke arah atas air terjun. "Bagaimana kalau kita coba naik ke atas," tantang Lina kepada Naya dan yang lainnya. "Boleh juga kita coba, anggap saja kita berenam sang petualang," jawab Naya. "Ha.....ha....ha" tawa mereka menyepakati tantangan Lina.

Tidak menunggu lama mereka berenam pun segera menapaki kembali jalan setapak menuju ke atas air terjun. Meski medan yang mereka lewati cukup sulit. Tapi, mereka tetap nekat dan bersemangat, menuju air terjun berikutnya.

Beberapa menit kemudian mereka pun sampai di lokasi tujuan. Ternyata, air terjun yang kedua tidak setinggi yang pertama. Melihat hal itu Naya dan teman-temannya bertekad untuk melihat air terjun yang ketiga. Kali ini mereka tidak bisa melalui jalan setapak. Perjalanan harus dilalui dengan cara melompat dari batu besar yang satu ke batu besar yang lainnya. Mereka pun harus memanjat sebuah batu besar yang berada di sebelah air terjun. Jarak tempuhnya memang dekat. Tapi, harus dilalui dengan penuh kewaspadaan dan hati-hati. Karena, batu-batu besar itu selalu basah dan sangat licin akibat terkena cipratan air terjun.

Satu persatu dari mereka bisa mencapai puncak. Tibalah sekarang giliran Naya untuk memanjat batu besar itu. "Nay, pegang tanganku," devi memberikan tangannya kepada Naya. Tapi, naas bagi Naya. Dia tidak bisa memegang tangan Devi.

Saat itulah peristiwa yang tidak diinginkan terjadi. Kaki naya terpeleset dan tubuhnya pun meluncur ke bawah. Naya tenggelam ke dalam kubangan air terjun yang kedua. Veti berusaha meraih tangan Naya, tapi tidak bisa. Hingga akhirnya, tubuh Naya pun hilang di dalam kubangan. "Tolong.....,"teriak Naya. "Naya.........." teriak teman-temannya. Namun, suara Naya tidak terdengar lagi. Veti, Lina, Dini, Sari dan Devi terus saja berteriak meminta pertolongan. Mereka berlima sangat ketakutan. Mereka tidak lagi melihat tubuh Naya di atas permukaan air.

Dari dalam kubangan air terjun, Naya melihat teman-temannya di atas sana berteriak-teriak. Ia pun berteriak mohon pertolongan. Tapi, mereka tidak bisa mendengar teriakan Naya. "Ibu...tolong bu, Naya tidak bisa berenang," suara hati Naya memanggil ibunya. Naya melihat ada tangan Yuda di dekatnya, ia raih tangan itu tapi terlepas. Naya merasa dirinya hampa, berputar-putar dan melayang. Naya tidak tahu dimana dia berada saat itu. Naya ingin sekali bangun dan memeluk teman-temannya. Tapi, tubuhnya kaku untuk digerakkan. Naya masih bisa mendengar suara orang di sekelilingnya. Tapi, suara itu terdengar amat jauh. Sampai akhirnya semua suara itu pun menghilang. Tidak ada lagi wajah teman-temannya. Pandangannya diselimuti kegelapan. Semuanya berubah menjadi gelap, sunyi dan dingin. "Inikah jawaban dari tulisanku," suara hati Naya yang terakhir sebelum dia tidak sadarkan diri.

Teriakan teman-teman Naya pun membuahkan hasil. Pertolongan dari penduduk sekitar datang tepat waktu. Beberapa orang laki-laki menyelam mencari tubuh Naya. Syukurlah tubuh Naya dapat segera ditemukan. Mereka dengan cepat melakukan pertolongan pertama kepada Naya yang terbaring tidak sadarkan diri. Mereka keluarkan air dari dalam tubuh Naya. Dan mengganti pakaiannya, agar Naya dapat merasa lebih hangat.

Setelah ditunggu beberapa saat, naya belum juga sadarkan diri. Denyut nadi Naya sangat lemah. Khawatir sesuatu terjadi pada Naya. Mereka pun membawa Naya ke rumah sakit terdekat.

"Nay, bangun nak, ini ibu datang," terdengar suara ibu di telinga Naya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Suara ibu menyadarkan Naya. Perlahan mata Naya pun terbuka. Naya melihat beberapa orang yang berada di dekatnya. Ada ayah, ibu, Yuda dan teman-teman. Mereka semua tersenyum bahagia.

Syukurlah akhirnya Naya dapat melewati masa kritisnya dan berangsur baik. Setelah kondisi Naya dinyatakan benar-benar baik. Dokter pun memperbolehkan Naya untuk dibawa pulang. Mereka semua kembali ke Jakarta dengan penuh rasa syukur, karena terlepas dari segala mara bahaya.

################################

Sekarang Naya sudah menginjak semester akhir. Kesibukannya menyusun skripsi membuatnya tidak punya waktu untuk bepergian. Hari-harinya dihabiskan dengan tumpukan buku-buku referensi. Sungguh sangat menyita waktu. Juga melelahkan hati dan fikirannyaq1.

Tok tok tok!!! Terdengar suara ketukan di pintu kamar Naya. "Masuk aja bu, pintunya tidak dikunci kok!" ucap Naya. Ibu pun perlahan membuka pintu kamar. Lalu duduk di tepi ranjang. Ibu menatap wajah Naya dengan penuh harap. "Kamu ada waktu tidak, Nay?" tanya ibu. "Ada yang bisa Naya bantu bu?" jawab Naya. "Lusa nenekmu datang dari Bandung, dia meminta kamu menjemputnya, di terminal Kampung Rambutan sekitar jam 5 sore," jelas ibu kepada Naya. "Baiklah Naya usahakan bisa bu," Naya memberi kepastian kepada ibunya.

Makan malam sudah usai. Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 wib. Pemandangan di luar jendela sangat gelap. Hanya ada suara jangkrik yang saling bersahutan. Naya masih sibuk mengetik skripsi pada laptopnya. Padahal matanya sudah sangat lelah dan mengantuk.

Tersentak Naya dari tempat duduknya. Dia melihat sosok nenek sudah berada di belakangnya. Nenek tersenyum padanya. "Nenek, kok sudah sampai di sini," tanya Naya kepada sang nenek. Naya pun bangun dan berdiri dari tempat duduknya. Saat Naya membalikkan tubuhnya, dia tidak lagi melihat nenek yang tadi berdiri tepat di belakangnya.

"Nenek...nenek....," teriak Naya memanggil neneknya. "Nay, bangun sudah jam 6 pagi nih," suara ibu mengejutkan Naya. "Kamu kenapa tidur sambil memeluk kursi?" tanya ibu keheranan. Naya tidak menjawab pertanyaan ibu. Dia pun segera keluar kamar dan pergi mandi.

Tanpa sarapan pagi Naya bergegas pergi ke kampus. Pagi ini dia ingin jumpa dengan dosen pembimbing skripsinya. Namun, harapannya sirna. Dosen pembimbing yang ditunggunya tidak bisa datang ke kampus, karena ada halangan. Ada rasa kesal, kecewa dan lelah di wajah Naya. Pekerjaan yang dia kebut semalaman menjadi sia-sia.

Naya terduduk di depan ruang praktikum. Dikeluarkannya blue diary dari dalam tasnya. "Lebih baik aku mencurahkan kegundahan ini disini," katanya dalam hati. Naya pun mulai menulis di blue diary kesayangannya. "Hatiku tergerak ingin menulis. Mengurai kata-kata yang muncul dari bayang-bayang dalam fikiranku. Menuangkan semua kegelisahan yang mengganggu perasaanku. Anganku mulai melayang-layang. Khayalanku, fikiranku atau perasaanku saja. Semalam nenek berdiri di belakangku. Aku tidak bermimpi, aku juga tidak mengkhayal. Nenek benar-benar menemuiku. Tapi, dia hanya tersenyum. Tidak ada pesan apa-apa kepadaku. Aku berusaha ingin memeluknya. Tapi, seketika itu nenek menghilang dari pandanganku."

Demikian curahan hati Naya dalam blue diary. "Mengapa aku harus menulis yang orang lain tidak tahu ?" tanya Naya pada hati kecilnya. Perasaan Naya mulai tidak tenang. Jantungnya berdetak tidak teratur. Mendadak kepalanya pusing, memikirkan apa yang harus diperbuatnya. Akhirnya, Naya menutup blue diary di tangannya. Perlahan dia melangkah meninggalkan ruang praktikum.

Sesampainya di lobby kampus. "Nay, tunggu," panggil Veti. Naya pun menghentikan langkahnya. "Kamu jadi ketemu dosen pembimbing," tanya Veti kepada Naya yang terlihat tidak bersemangat. "Kok, kamu lesu begitu sih Nay, kamu sakit ?" Pertanyaan Veti hanya dijawab dengan gelengan kepala saja. "Ayo kesini, Nay." Veti menarik lengan Naya ke tempat duduk yang tersedia di lobby. "Sekarang tolong jelasin ke aku, ada apa sebenarnya ?" lanjut Veti dengan nada sedikit memaksa. "Besok sore jam 5, kamu temankan aku ke terminal Kampung Rambutan yah," ajak Naya. "Ok, aku mau," sahut Veti. Mereka pun sepakat ketemuan langsung di terminal.

Tepat pukul 17.00 wib, Naya dan Veti sudah terlihat duduk dan berbincang-bincang di ruang tunggu terminal. 15 menit sudah mereka menunggu kedatangan bis dari Bandung. Tapi, bis yang mereka tunggu tidak kunjung datang. Naya pun beranjak ke bagian informasi kedatangan. Dan menanyakan mengapa bis dari Bandung belum datang. Kata bagian informasi, bis mengalami keterlambatan sekitar 1 jam. Naya pun kembali ke tempat duduknya.

Veti melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Nay, sekarang pukul 18.15 wib," kata Veti. "Hah !!! Mendadak wajah Naya berubah pucat. Ada kekhawatiran tersirat di wajahnya. "Aku takut Vet," katanya kemudian. "Apa yang kamu takutkan ?" tanya Veti heran. "Aku takut peristiwa itu terulang lagi," jelas Naya. "Peristiwa apa nih, aku tidak mengerti," Veti balik bertanya. Naya mengeluarkan blue diary dari dalam tasnya. "Ini Vet," Naya menunjukkan blue diary yang dipegangnya. "Oh... itu aku tahu, itu kan buku harian kamu," jawab Veti dengan nada santai. "Tapi, kamu tidak tahu apa yang aku tulis didalamnya," tegas Naya.

Perlahan-lahan Naya menjelaskan apa saja yang pernah dia tulis didalam blue diary. Termasuk semua peristiwa yang dialaminya setelah dia menulis perasaan hatinya. Dan sore ini pun, gambaran perasaan hatinya sudah dia tulis dalam blue diary. Naya pun membuka blue diary untuk pertama kalinya kepada orang lain. Lembar demi lembar Veti membaca tulisan Naya. Dan Naya menjelaskannya semuanya dengan serius kepada Veti. Hari, tanggal, perasaan, ketakutan, kegelisahan hati Naya tertera dengan sangat jelas di dalam blue diary.

Veti tercengang saat membaca tulisan Naya di lembar terakhir. "Hatiku tergerak ingin menulis. Mengurai kata-kata yang muncul dari bayang-bayang dalam fikiranku. Menuangkan semua kegelisahan yang mengganggu perasaanku. Anganku mulai melayang-layang. Khayalanku, fikiranku atau perasaanku saja. Semalam nenek berdiri di belakangku. Aku tidak bermimpi, aku juga tidak mengkhayal. Nenek benar-benar menemuiku. Tapi, dia hanya tersenyum. Tidak ada pesan apa-apa kepadaku. Aku berusaha ingin memeluknya. Tapi, seketika itu nenek menghilang dari pandanganku."

"Apa tulisan kamu ini untuk saat sekarang, Nay ?" tanya Veti dengan suara bergetar. Naya hanya mengangguk, membenarkan apa yang Veti katakan. "Itu artinya nenek kamu ?" jari telunjuk Veti menunjuk ke atas. "Aku juga berfikir yang sama dengan kamu," lanjut Naya. "Trus, kita harus bagaimana nih ?" Veti berbalik badan. Veti mondar mandir mencari jawaban untuk pertanyaannya sendiri.

Naya hanya duduk terdiam dan menunduk sambil memandangi blue diary kesayangannya. Tiba-tiba, Veti mengahmpiri Naya dan langsung menarik blue diary yang sedang dipegang Naya. "Aku punya solusi untuk semua ini," ucap Veti tegas. Blue diary sudah berada di tangan Veti. Ia pun langsung membukanya dan mencari lembar terakhir. Ini dia ! Srettttt.....! Veti mendadak langsung menyobek lembar tulisan Naya yang terakhir. "Vet !!! teriak Naya. "Kamu diam saja, kamu lihat apa yang akan aku lakukan," cegah Veti. Naya pun langsung terdiam dan melihat apa yang dibuat Veti terhadap blue diarynya.

Veti telah menyobek lembar kertas terakhir. Lalu, kertas yang sudah disobeknya itu pun terus disobek-sobek hingga menjadi bagian-bagian kecil. Kemudian, potongan kertas kecil itu di taburkannya ke dalam selokan yang ada di terminal. "Selamat jalan tulisan, tinta itu akan memudar bercampur dengan air selokan yang hitam," kata Veti dengan tersenyum sinis. Terlihat potongan kertas kecil itu pun hanyut terbawa air.

Veti kembali menghampiri Naya ketika salah seorang bagian informasi mendatangi Naya. Dan memberitahukan kabar buruk yang menimpah bis dari Bandung. Ternyata bis yang ditumpangi nenek dan yang lainnya, tergelincir masuk ke dalam jurang. "Tidakkkkk! Nenek.....! tangis Naya pun pecah. "Aku tidak mau seperti ini Vet," Naya memeluk tubuh Veti erat. "Sabarlah," kata Veti menenangkan Naya. "Ini baru sekedar informasi, kita tunggu kebenarannya," lanjut Veti. "Jangan berfikir yang bukan-bukan, serahkan semuanya kepada yang Maha Kuasa," ucap Veti tenang. "Yakinlah semuanya sudah ada yang mengatur, yaitu yang di atas," lanjut Veti.

Veti dan Naya mengikuti saran dari bagian informasi. Yang mengharuskan mereka segera pulang, dikarenakan hari sudah malam. Dikhawatirkan mereka berdua kemalaman di jalan. Dan itu sangat berbahaya. Memang bila malam hari, di jalanan sangat rentan dengan aksi kejahatan. Veti dan Naya pun segera meninggalkan ruang tunggu terminal. Mereka berpisah di jalan, karena mereka harus pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya di rumah Naya diajukan dengan pertanyaan beruntun dari keluarganya. "Mana nenek ? Kenapa kamu tidak telephon kami ? Trus kenapa kamu pulang sampai selarut ini ?" Tidak satu pun pertanyaan dijawab Naya. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya. Dan telungkup di atas tempat tidurnya. Dia benamkan wajahnya ke atas bantal. Tangisnya pun tidak dapat ditahannya lagi.

Perlahan ibu mendekati Naya. Mengusap kepala dan punggung putri tercintanya. "Sabar Nay, segala sesuatu dapat dibicarakan baik-baik sayang," kata ibu lembut menenangkan hati anaknya. Mendengar suara ibu, Naya pun membalikkan badannya. Dia langsung duduk dan memeluk ibunya. "Bis yang ditumpangi nenek masuk ke dalam jurang, bu," jelas Naya. Ibu pun larut dalam kesedihan. Malam bertambah larut, sunyi, sepi dan berselimut kesedihan. Sampai akhirnya, mereka pun terlelap dalam tidurnya.

Keesokan paginya. "Kring, kring, kring.....!" Ibu segera mengangkat telephon yang terus berdering. "Betul, dengan saya sendiri," jawab ibu. "Baiklah, kami sekeluarga akan segera datang," Ibu pun menutup gagang telephon yang dipegangnya.

Ayah, ibu, Yuda dan Naya dengan cepat berangkat ke rumah sakit yang dimaksud si penelphon tadi. Sesampainya di rumah sakit, mereka diantar perawat ke kamar 209. Di sana, terbaring nenek dengan selang infus dan kepala diperban. Nenek tersenyum. Naya pun langsung memeluk sang nenek. "Syukurlah nenek selamat," ucap Naya.

Naya teringat Veti temannnya. Dia pun langsung mengirim sms kepada Veti "terima kasih teman. Nenekku masih hidup dan selamat dari kecelakaan maut. Benar katamu, semua sudah ada yang mengatur, yaitu yang di atas,. Aku akan menyimpan blue diary di tempat yang jauh. Agar tidak ada lagi peristiwa lain yang mengganggu hati dan fikiranku."