Mike dan Austin berpamitan sekali lagi pada Diah. Senyum diantara keduanya mengembang indah. Entah kenapa, hati Diah tiba-tiba merasa nyaman pada Mike yang kini ia ketahui bersikap baik padanya. Tetapi, ia tidak ingin gegabah tentang hatinya, takut salah menilai seperti ia menilai Akbar. Ia hanya berusaha meyakinkan perasaan yang sempat mengira Mike itu tak sebaik yang ia kira. Dan dulu, pikiran dan hatinya cuma ada Akbar dan Akbar saja. Semua menghilang kala laki-laki yang ia kagumi berbanding terbalik, berubah 180 derajat.
Disamping itu juga, Mike terlihat tulus ingin menikahinya. Dari balik sorot matanya tadi, Diah yakin Mike memang mencintainya. Tulus, bukan sekedar ingin menikmati tubuhnya saja. Permintaan maaf-nya pun ia sampaikan dengan sepenuh hati.
"Gue balik dulu, jaga diri lu baik-baik." Ucap Mike, seakan ia tak ingin memalingkan pandangannya pada Diah.
"Luka lu gak mau di obatin dulu?" Tanya Diah melihat wajah Mike yang sedikit membiru.
Mike menggeleng. "Udah biasa gue kayak gini. Tadi aja, adik gue ninju pipi gue ampe berdarah." Canda Mike sambil melirik Austin.
"Apaan lu? Gue nonjok lu biar lu sadar." Protes Austin membela diri. Diah tersenyum melihat tingkah Austin yang kesalnya ngegemesin.
"Ya udah, gue balik ya."
Dia mengangguk. "Hati-hati." Katanya mengingatkan.
"Wow..!" Suara laki-laki yang amat ia kenal terdengar dari belakang Mike dan Austin. "Ternyata feeling gue bener, kalian emang udah ada main belakang dari gue dengan alasan sudah hamil duluan..?!" Kata Akbar Sinis, turun dari motor.
"Akbar..?!" Sebut Diah membuat Mike dan Austin menoleh ke belakang. "Mau apa kamu di sini?!"
Akbar tidak menghiraukan pertanyaan Diah. "Benarkan Diah, kalian emang udah main belakang sebelumnya dari gue?"
"Maksud lu apa ya?" Tanya Mike dengan nada tegas.
"Elu.." tunjuk Akbar pada Mike. "Dan cewek murahan ini udah bersengkokol untuk bikin gue menderita, ya kan?" Katanya lagi, berganti menunjuk ke arah Diah.
"Cewek murahan?"
"Ya, cewek murahan yang gampang diajak tidur. Kayak dia ini." Seru Akbar menunjuk kearah Diah. Memancing amarah Mike yang sedang tertidur.
"Jaga mulut elu b*ngs*tt.." pekik Mike mengayunkan kepala tangannya. Tetapi Diah lebih cepat menahan tangan Mike.
Diah menggeleng. Sekali lagi ia melarang Mike bersikap gegabah. Sebenarnya, hati Diah sangat panas mendengar semua ucapan Akbar untuknya. Ia masih menghormati ayah dan ibunya Akbar yang bersahabat baik pada Ayahnya. Andaikan kesabarannya dia tidak bisa dibendung, mungkin tamparan keras akan mendarat dipipi laki-laki yang dulu ia puja itu. Dan ia hanya tidak ingin ayah dan dirinya kena masalah yang lebih besar lagi.
"Liat, dia aja gak emosi kayak elu. Dan itu tandanya dia setuju sama opini gue yang beneran terjadi sama dia." Ucap Akbar bernada suara melecehkan. Ia terlalu fokus pada reaksi Diah, Akbar ingin Diah maupun Mike marah. Dan itu sudah Akbar rencanakan untuk menjatuhkan keduanya di mata umum nantinya.
Tangan Mike mengepal, rasanya ia ingin segera mendaratkan satu tinju saja di wajah Akbar. Namun Diah lagi-lagi menghalangi niatnya.
"Bacot, mulut lu udah kayak perempuan." Sergah Mike murka. Tetap Diah tahan. Meredam amarah yang sudah kian tersulut ocehan Akbar.
Akbar tertawa renyah. Seakan ia menang dalam perlombaan. "Untungnya gue gak jadi sama dia, coba kalau jadi. Mau ditaro dimana muka gue? Belum malam pertama eh.., udah hamil duluan..?!" Ucapnya mendekati Mike yang seperti anjing yang terikat, saat marah tali akan mengekangnya untuk berbuat lebih.
Diah memohon agar Mike tidak terlalu mengambil hati atas ucapan Akbar yang seperti mencari perhatian Diah.
Namun..
Buuuk.. tetap saja Akbar terkena satu tonjokan mantap dari tangan kiri Mike yang sedari tadi menahan tangan kanannya untuk menghajar wajah Akbar.
"Aaargh.. Mike..!" Pekik Diah, membuat Adrian berlari keluar.
Mata Adrian melotot kaget melihat Akbar sudah tersungkur di lantai. Dan untungnya, Austin bergegas menahan Mike yang hendak menghajar Akbar sekali lagi.
"B*ngs*t.. mulut lu udah benar-benar keterlaluan? Laki-laki mulut tuh, di jaga jangan kayak banci..! Jangan Lu pikir lu lebih sempurna dari Diah?" Maki Mike tak terbendung. Ucapan Akbar sudah keterlaluan.
Adrian menghampiri sembari.. "ada apa ini?" Berkata setengah berteriak.
"Mike, Austin, kalian pulanglah." Usul Adrian. "Biar Akbar saya yang ngurus." Lanjutnya mencoba membantu Akbar berdiri, namun ditepis cepat tangan Adrian dari bahunya.
Austin menarik Mike untuk menjauh dari depan rumah Diah. Mata Mike tetap fokus pada Akbar yang membalas tatapan itu dengan nanar. Sama-sama menaruh dendam.
"Kamu gak apa-apa, Akbar?" Adrian mencoba menolong Akbar yang tersungkur, sayangnya, tangan itu ditepis keras oleh Akbar.
Akbar tersenyum. "Keluarga yang sempurna." Pikir Akbar picik. "Ayahnya laki-laki miskin yang tidak berwibawa, penjilat ludah sendiri. Ibunya perebut laki orang dan pergi bersama selingkuhannya, lalu anaknya seorang pelacur ulung yang sok suci." Tuduhan Akbar yang membuat telinga Adrian terasa panas. Geram, marah, dan ingin rasanya ia menampar wajah anak sahabatnya itu seperti yang Mike lakukan.
Adrian menahannya sekuat mungkin agar amarahnya meledak. Tangannya mengepal erat, gigi gemerutuk keras.
"Lebih baik kamu pulang sekarang, Bar..!" Pinta Adrian.
"Lalu calon menantunya seorang bajingan." Lanjutnya lagi tak peduli ucapan Adrian, seolah tak puas menghina Adrian dan keluarganya.
"SAYA BILANG PULANG SEKARANG, AKBAR..!!" Adrian sudah berada dibatas kesabarannya. Ia berteriak sekeras mungkin tanpa peduli warga lain akan mendengar teriakannya itu.
Akbar berdecak. "Gak perlu berteriak kayak gitu pak tua, gue juga akan pulang. Lagi pula buat apa saya lama-lama dirumah ini.."
"Cuih..!" Akbar meludah hampir kena Adrian. Balik badan dan menaiki motornya. Motornya pun berjalan lambat sembari menatap kesal kearah Adrian.
"Kita masuk..!" Ajak Adrian pada Diah yang sedari tadi mendadak diam.
"Apa benar ibu pergi dengan laki-laki lain meninggalkan ayah?" Tanya Diah angkat bicara setelah mendengar ucapan ibunya dari Akbar tadi.
Langkah Adrian terhenti. Selama ini ia berusaha menyimpan rahasia itu agar Diah tak punya pikiran buruk tentang ibunya. Adrian sadar, lambat laun, rahasia itu pasti akan terbongkar juga. Sama seperti pepatah bilang, sepandai-pandainya melompat, pasti akan terjatuh juga. Dan, sepintar-pintarnya orang menyembunyikan mayat, pasti akan tercium juga. Itu yang terjadi padanya saat ini. Disaat masalahnya banyak yang belum dapat ia selesaikan.
Adrian menoleh perlahan. Disana, pada diri anaknya menanti dirinya menjawab semua pertanyaan yang ingin dia dengar tentang ibunya dari Adrian.
"Benar..!" Jawab Adrian melangkah dekat dengan Diah. Ia pikir, semua memang sudah waktunya buat dia berkata jujur pada anak satu-satunya. "Ayah gak bisa lagi menjaga rahasia ini. Ayah akan ceritakan semua sama kamu, Diah." Lanjutnya sembari menepuk-nepuk bahu putrinya.
"Tapi kenapa ayah bohong sama aku?"
"Lebih baik kita masuk, ayah akan ceritakan didalam alesannya." Usul Adrian.
Diah melangkah mengikuti langkah kaki ayahnya. Ditatap sendu bahu ayahnya yang sedang berjalan itu. Bahu yang selalu ia sandarkan saat dirinya menangis dimasa kecilnya. Masa kecil yang ia habiskan bersama ayahnya, hanya ayahnya.
Ayahnya selalu berkata, ibunya telah meninggal dunia setiap dia bertanya atau sedang iri dengan temannya yang mempunyai ibu. Iya, rasa iri itu membuat ia sedih akan keakraban teman-temannya yang bisa diantar-jemput sekolah. Sedangkan Diah, hanya ayahnya. Bahkan saat pertemuan orang tua disekolah, hanya ayahlah laki-laki seorang yang datang diantara puluhan ibu-ibu.
Dan hanya pada ayahnya-lah ia mendapatkan kasih sayang dan perhatian disetiap ia sedih mengingat ibu.
Diah duduk berhadapan Adrian. Ditatap ayahnya yang sedang membuka kacamata dan meletakan diatas meja. Adrian menghela nafas. Mungkin ini sudah waktu dan jalannya ia harus memberitahu rahasia yang selalu mengganjal hatinya saat Diah menanyakan ibunya berada.
"Jadi..?!" Tanya Diah membuka suara. Rasanya ia tak sabar menanti ayahnya membuka mulutnya untuk memulai ceritanya.
"Ya, ayah berbohong padamu, Diah." Ungkap Adrian menyesal. "Semua benar yang Akbar bilang, ibumu belum meninggal. Tapi dia pergi bersama laki-laki lain yang lebih kaya dari ayah." Itu sudah dua kali Adrian rasakan. Pertama Seruni, ibunya Akbar. Lalu ibunya Diah.
"Jadi waktu itu.."
Keadaan Adrian sangat memprihatinkan. Walau dia siswa beprestasi disekolahnya, keadaan yang selalu membuatnya kalah. Apalagi bila harus bicara uang dan uang, Adrian langsung menyerah dan menghentikan langkahnya untuk maju atau memperebutkan orang yang dicintainya.
Hujan rintik kala itu. Rintiknya tidak sedikit. Mulanya kecil lambat laun menjadi besar.
Dirumah kecil nan sederhana. Adrian dan istrinya hidup. Saat itu, Diah masih berumur 2 bulan. Masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang tuanya.
Ibunya Diah membereskan baju kedalam tas. Ada mobil mewah bertengger dihalaman rumah kecilnya itu.
Adrian berusaha menghalangi istrinya yang bersikeras untuk tetap meninggalkan dia dan Diah. "Nes, apa kamu tega ninggalin anak kita yang masih kecil? Diah masih butuh kamu, Nes. Butuh ibunya..!"
"Kalau gitu, apa kamu bisa ngasih aku berlian, emas atau minimal baju dan sepatu mahal?" Ujar Nesya, ibunya Diah. "Apa kamu sanggup ngasih aku itu seperti laki-laki di luar itu?"
Adrian terdiam. "Aku emang gak sanggup, tapi seenggaknya, bertahanlah demi Diah, Nes..!"
"Gak bisa mas, aku udah gak sanggup hidup kayak gini terus menerus sama kamu. Apalagi, ocehan dan hinaan ibu-ibu warga sini." Elak Nesya kembali membereskan bajunya.
"Mas mohon Nes, jangan pergi tinggalin Diah dan aku." Mohon Adrian memelas. Nesya tak peduli. Ia menarik kopernya dan menenteng tasnya.
Laki-laki ber-tuxedo menyambut Nesya dengan senang. Kemenangan sudah menjadi miliknya setelah berhasil merebut istri Adrian yang cantik itu.
"Ayo mas, kita pergi sekarang." Ajak Nesya seakan-akan enggan untuk bertahan lebih lama lagi didalam rumah itu. Bahkan, ia sudah tak peduli pada Diah. Tak sedikitpun dirinya melihat Diah yang saat itu tertidur.
"Nes.. Nesya tunggu, Nes..!" Nesya terus berlari mengikuti langkah laki-laki yang tidak pernah Adrian ketahui siapa nama dan tinggalnya. Ia hanya baru melihatnya saat ini. Saat membawa lari istrinya.
Petir menyambar diiringi suara tangis Diah dan kepergian Nesya. Ada kebingungan dihatinya, terus mengejar istrinya atau mendiami Diah yang menangis keras di kamar. Lalu suara rintik hujan mulai membasahi tanah yang tandus.
Ditatap bergantian Nesya yang sudah masuk kedalam mobil dan ambang pintu yang mendengarkan suara tangisan anaknya.
Langkah kaki Adrian menuju kamar. Menggendong Diah dari pada harus menahan Nesya yang sudah tak peduli lagi pada dirinya dan Diah.
"Itulah kejadiannya." Kata Adrian mengakhiri.
"Jadi ayah mendiami ibu dibawa kabur laki-laki itu?"
Adrian mengangguk. "Di pikiran ayah itu dua pilihan yang sulit. Tapi ayah, gak akan pernah meninggalkan kamu."
"Seperti ayah yang harus memilih antara sahabat dan perasaan ayah pada ibunya Akbar?" Tanya Diah, ingin tau lebih dalam lagi masa lalu ayahnya.
"A..pa? Gimana kamu tau?"
"Semua bercerita tentang ayah dan ibu. Tentang kisah cinta ayah dengan bu Seruni, tentang keluarga kita. Tentang kemiskinan kita, tapi aku hanya bisa diam saat sebagian orang mencemoohkan ku. Maka dari itu, aku selalu bertanya, 'dimana ibu, ayah?' tapi ayah selalu bilang, ibu sudah meninggal dan tenang di surga." Jelas Diah. Mendadak hatinya perih. Diah tidak tau harus menyalahkan siapa? Bahkan dia tidak bisa menyalahkan ayahnya yang telah merawat dia hingga sekarang sendirian, penuh cinta, kasih sayang dan perhatian.
"Kita bagai orang rendah di mata pengikut ibunya Akbar. Semua melihat aku jijik, walau sebagian ibu-ibu gak seperti itu, tapi kadang hati aku sakit." Lanjut Diah lirih. "Dan aku pikir, Akbar berbeda dengan ibunya. Tapi ternyata.." Bibir dia bergemetaran, tak sanggup ia mengatakan kebejatan Akbar yang hendak memaksa dirinya melayani nafsu teman kecilnya itu di balai desa.
Justru, Diah merasa dirinyalah yang dipatut dipersalahkan atas usaha ayahnya yang sia-sia melakukan semua untuk dirinya.
"Maafkan aku, Yah."
Ayahnya terdiam sembari menatap iba anaknya yang sedang berusaha menyeka airmatanya.
Adrian beranjak, lalu duduk disamping anaknya. Disandarkan kepala Diah didadanya, sama seperti waktu Diah kecil dulu. Didekap penuh kehangatan dan cinta ayahnya.
"Maafkan aku ayah, maafkan telah menyia-nyiakan kerja keras ayah dalam merawat aku."
"Iya, ayah juga minta maaf sebab ayah udah marah-marah dan nyuruh kamu gugurin kandungan." Serunya, melepaskan pelukannya. Ditatap lekat wajah putrinya. Lalu diseka sisa airmata yang masih menetes itu. "Sekarang, apapun yang terjadi kita hadapi bersama. Ayah, kamu dan Mike, kita lindungi bayi ini." Katanya lagi sambil mengelus perut Diah. Memeluk kemudian.
Ada senyum di bibir Diah disela-sela airmata yang kembali menetes.
****
Bersambung...