Chereads / KALA HUJAN WAKTU ITU..!! / Chapter 16 - Trauma

Chapter 16 - Trauma

Akbar mulai menekan bibirnya hingga Diah tak lagi dapat bergerak. Terpaksa, lalu ia memejamkan mata. Sebutir kristal bening mulai lagi berjatuhan, setetes demi setetes membasahi pipi. Ada perih yang mulai tergores di hatinya. Ia tidak pernah menyangka semua akan menjadi kacau seperti ini. Diah tidak pernah membayangkan hari ini maupun kemarin dengan Mike terjadi padanya.

Takdir pun tidak pernah direncanakan untuk menyapa dirinya seperti ini, kejadian yang begitu saja datang kedalam kehidupannya. Membuat dia harus diperlakukan seperti saat ini oleh Akbar. Diah tidak pernah meminta, namun Mike yang tiba-tiba memperkosanya ditengah hujan dan dimalam tahun baru itu. Lalu sekarang, Diah tidak bisa memikirkannya lebih jauh lagi.

Ingin dirinya berontak, mematahkan perbuatan Akbar yang semakin jadi menjamah dirinya. Tangan yang terikat itu sedang berusaha berontak, namun Akbar terlalu kuat mengikatnya. Begitu juga dengan Adrian, Akbar mengikat ulang dirinya. Laki-laki yang sedang berbuat nista pada anaknya itu menyadari dirinya mengikat asal-asalan.

Simpul sederhana, diubah menjadi simpul mati. Kaki, tangan tak sedikit pun dapat digerakan. Akbar sudah merencanakan ini setelah kejadian kemarin.

Adrian geram, ia mengutuk perbuatan Akbar saat ini. Tak ada maaf dihati Adrian kali ini. Perbuatan Akbar membuat dia seperti orang bodoh yang sedang menonton langsung pergumulan anaknya.

Tubuhnya meronta saat dirinya mendapati airmata yang terus menerus menetes dari pelupuk mata anaknya. Amarahnya membuncah di dada yang terporak poranda oleh tiap cumbuan demi cumbuan Akbar pada Diah.

"Mmmh.. mmmmh.." Adrian bicara tak jelas, dari ekspresi wajahnya terlihat ia sedang marah pada Akbar. Ia mengutuk perbuatannya terhadap Diah.

Duuuk..

Duuuk...

Duuukkk..

Ia terus meronta, sebisa mungkin menarik perhatian Akbar dan menghentikan perbuatan nista itu terhenti walau hanya sejenak. Sayangnya, Akbar tidak peduli. Ia terlalu fokus pada wanita dihadapannya yang sedang terbaring tak berdaya di sofa. Adrian berdiri sekuat tenaga, kursi pun ikut terangkat oleh kekuatan sang ayah yang melihat anaknya teraniaya.

Mendekati pisau yang tergeletak di meja. mengubah posisi kursi dari menghadap Akbar dan Diah menjadi membelakanginya. Adrian mengayunkan kursinya, lagi dan lagi secara perlahan agar tidak menimbulkan suara. Ia mencoba meraih pisau itu, namun tidak berhasil. Terlalu cepat ia mengayun kan kursinya ke posisi semula. Disamping itu juga masih terlalu jauh letak pisau itu dengan posisi duduknya. Adrian mencoba sekali lagi, ia dekatakan lebih dekat lagi jarak posisinya dengan pisau itu. "B*jing*n.. lepasin Diah..!" Teriaknya, dan lalu..

Gedebuuk..

Adrian menarik tubuh Akbar, menghajarnya hingga terjengkang setelah bebas dari kungkungan tali yang mengikat dirinya.

"Sial..!! dasar tua b*ngka br*ngs*k, berani-beraninya gangguin gue..!!" Umpat Akbar kesal. Bergegas bangkit sembari mengelap bibirnya yang berdarah. Tatapan tajam pada Adrian, tanda bahwa dia tidak suka kesenangannya diganggu.

"Saya masih menghormati ayah kamu sebagai teman saya. Sebagai kepala desa, dan sebagai anak laki-lakinya yang pernah saya banggakan sebagai calon menantu saya, tapi ternyata.. ternyata kamu gak jauh beda dengan laki-laki asing itu.." maki Adrian. "Bahkan kelakuan mu lebih bejat daripada dia."

"Lalu kenapa? Gue hanya melakukan apa yang akan gue lakukan, gak ada hubungannya dengan jabatan ayah gue. Jadi gak usah bawa nama bokap gue dalam masalah pribadi antara elu, gue dan putri elu yang pelacur itu."

"Dasar br*ngs*k..!!" Teriak Adrian sambil mengayunkan pukulannya.

Akbar menangkisnya.. "elu udah terlalu tua ngelawan gue orang tua bodoh." Bisik Akbar. "Sekarang gue perlihatkan gimana caranya memukul orang kayak elu." Balas Akbar, satu tinju dilayangkan ke arah perut Adrian.

Namun pembalasan Akbar bisa dipatahkan Adrian. Menahannya.

Tanpa banyak bicara, Adrian memelintir tangan pemuda itu sekuat tenaga. "Apa kamu ingat, saya yang ajari kamu beberapa jurus silat sejak kecil..??" Balas Adrian berbisik di telinga Akbar.

Didorong tubuh Akbar hingga tersungkur. "Pergi dan keluar dari rumah saya sekarang juga." Pinta Adrian baik-baik, tak ingin masalahnya dengan Akbar berlarut-larut.

"Aaah.. banyak omong lu tua bangka..!!" Teriaknya bangkit, menyerang kembali Adrian. Rupanya, Akbar belum puas dengan apa yang dia lakukan pada Adrian dan Diah.

Satu kepalan tangan dari Akbar di tangkap Adrian. Dihentikan pergerakan tangan Akbar yang hendak menyerangnya dengan emosi itu.

"Baik kalau itu mau kamu..!" Seru Adrian menggantung ucapannya.

Buuk.. wajah Akbar terkena pukulan balasan Adrian. "Itu untuk kelakuan kamu pada putri saya di balai desa." Kata Adrian menghampiri Akbar. Ditarik paksa rambut Akbar agar berdiri. Dan lagi..

Buuuk.. pukulan Adrian kembali mendarat, kali ini di sebelah kanan pipi Akbar. "Itu untuk kelakuan bejat kamu pada putriku hari ini."

Lagi, Adrian menarik rambut Akbar agar berdiri. "Dan ini.." putus Adrian.

Debuuuk.. bagian perut Akbar menjadi sasaran pukulan terakhir Adrian. "Untuk hinaan demi hinaan kamu pada putriku..!" Akbar tersungkur kesakitan. Ia meringis, bagian ulu hatinya terasa nyeri.

Adrian menekuk lututnya, ditatap dingin Akbar yang masih memegang perutnya. Diangkat wajahnya oleh Adrian, di hati laki-laki yang hampir berumur 50 tahun itu ada perasaan iba padanya. Ia ingat betul masa kecil Akbar. Bahkan Akbar, sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

Keakrabannya dengan Diah membuat Akbar selalu datang kerumahnya. Makan di rumah ini, bermain sampai-sampai ia tertidur karena kelelahan oleh waktu yang menguras tenaganya setelah seharian bermain. Adrian tau seperti apa bila Akbar tertawa, menangis di pelukannya saat Ibu dan Ayahnya memarahi bocah laki-laki yang saat ini sedang melampiaskan amarahnya.

Adrian merasa punya dua anak, anak yang lengkap. Laki-laki dan perempuan. Hingga Adrian berharap, ia menginginkan Akbar menjadi menantunya kelak. Menjaga putrinya bila tak lagi ada umur. Walau ia tidak berharap banyak, namun ayahnya Akbar meminta agar dilakukan perjodohan. Perjodohan itu seperti hadiah yang mewah buat dia dari Tuhan.

Ia tidak pernah berharap semua kejadian yang terjadi pada putrinya terjadi. Adrian tidak menginginkan itu, tapi, apa yang bisa diperbuat? Seperti saat istrinya meninggalkan dia dimalam hujan dan dimana Diah sedang panas sehabis imunisasi kala itu. Semua takdir Tuhan, Adrian tidak meminta, namun Tuhan memberikannya. Takdir juga yang menentang keinginan diri yang berharap perjodohan itu terjadi.

"Kita sudahi saja semuanya, Akbar. Om memaafkan kamu." Ujar Adrian. Menuntun Akbar berdiri. "Pulanglah, dan lupain semua kejadian ini. Dan Om harap, kita gak ada lagi dendam diantara kita, Akbar!" Lanjutnya.

Tetap saja, Akbar tidak terima itu. Rasa sakitnya terlalu membekas didadanya. Rasa sakitnya membuat harapannya juga hilang. Walau dia tidak bisa merubah semua yang sudah terjadi, tapi dia tidak pernah rela Diah akan menjadi milik orang lain. Ditatap sinis Adrian dan Diah yang masih trauma di sofa bergantian.

Akbar mendorong Adrian, lalu mengambil bajunya. Diambang pintu, ia menatap Diah sekali lagi, lalu menatap Adrian penuh kebencian diantara keduanya untuk kesekian kalinya. Dan pergi meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang masih tersimpan amarah.

Suara helaan nafas terberat Adrian berhembus pelan. Ia menghampiri putrinya yang masih terikat, dibuka ikat pinggang. Diseka airmata putrinya yang amat tersiksa itu. Diah memeluk kemudian. Erat sangat erat, menangis setelah itu, menjerit dan melepaskan semua rasa sakit didadanya. Bagi Diah, semua kejadian tadi menyisakan trauma berat di hidupnya. Ketakutan.

"Ini udah berakhir, gak ada lagi yang akan mengganggu kamu lagi. Dan ayah gak akan membiarkan itu terjadi sama kamu, kita." Imbuh Adrian menenangkan Diah didalam eratnya pelukan.

****

Di halaman, Seruni asik mengecek pekerjaan tukang kebun rumahnya. Ia serius sekali mengamati tiap tumbuhan dan bunga yang tumbuh di tanam disitu.

Tak lama, Akbar masuk dengan wajah tak sedap di pandang. Seruni mendengus, ini bukan pertama kalinya ia melihat putra semata wayangnya itu pulang dengan wajah penuh memar seperti itu setelah berita tak sedap hinggap ditelinga Akbar. Selalu saja ia dapati setelah keluar dari rumah.

Akbar masuk terburu-buru, bergegas Seruni menghentikan langkah kaki anaknya. "Jangan bilang ini perbuatan mereka lagi?" Akbar cukup kaget. Menoleh, lalu menunduk wajahnya.

"Jawab ibu, Akbar?! Ibu gak suka mereka semakin seenaknya melakukan ini sama wajahmu." Geram Seruni. Diamati wajah Akbar yang kian bertambah banyak memar di wajahnya. "Mereka udah keterlaluan, dan kita harus membalas semuanya itu."

Akbar menepis tangan ibunya dari dagu.

"Ibu udah bilang kan sama kamu? bahkan kita udah merencanakan semua semalem? Jadi bisa kan kamu bersabar sedikit?" Tanya Seruni berbondong. "Jangan kayak anak kecil yang melakukan apapun dengan gegabah? kalau sampai semua orang tau kamu selalu mengusik Adrian dan Diah gimana? bisa hancur rencana yang kita susun semalem, Akbar!" Tandas Seruni marah.

Akbar membalikan tubuh, melirik sebentar kearah ibunya.. "Aku pengen, mereka juga ngerasain apa yang aku rasain. Bahkan, aku pengen yang lebih menyakitkan dari yang sudah mereka lakukan sama aku..!" Ucap Akbar. "Apa Ibu bisa bikin semua keinginan aku terwujud?!"

"Iya, tentu aja, sayang." Jawab Seruni senang mendengar ucapan anaknya itu. Ia menghampirinya. "Kita akan buat keduanya menderita." Ucapan Seruni membuat tabiat Akbar berubah. Lalu tersenyum licik. "Tapi jangan pernah bertindak bodoh sendiri kayak gini lagi. Kita lakukan semuanya sesuai rencana..?!" Bisiknya.

"Rencana?!" Suara laki-laki dari belakang membuat Akbar dan Seruni menutup mulutnya rapat-rapat. "Rencana apaan?!" Tanya laki-laki itu mendekati Ibu dan Anak itu. Seruni dan Akbar menoleh, senyum mereka mengembang. Ragu-ragu.

****

Bersambung..