Chereads / KALA HUJAN WAKTU ITU..!! / Chapter 17 - Kenangan dan Luka Dihati.

Chapter 17 - Kenangan dan Luka Dihati.

Sementara itu dirumah Adrian.

Diah duduk di dekat jendela, batinnya masih terguncang. Matanya menatap kosong keluar jendela, mendadak saja airmatanya menetes tanpa dipinta. Ya, perbuatan Akbar untuk kedua kalinya membuat Diah seperti orang trauma berkepanjangan. Dirinya masih belum bisa percaya apa yang sudah terjadi padanya, apalagi laki-laki itu adalah sahabat masa kecilnya, laki-laki yang amat dicintainya. Yang ia kagumi sebagai laki-laki yang sopan dan santun. Dan sesaat menjadi sebuah dilema terhadap Akbar yang bikin dirinya masih belum mengerti atas semua kejadian tadi dan dua hari lalu.

Hanya alasan sakit hatikah? atau pelampiasan nafsu terhadapnya?

Sepenuhnya Diah belum bisa menjawab dari semua pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Yang ia tau, Akbar telah berubah 180 derajat terhadapnya.

Airmata itu dibiarkan menetes, dibiarkan mengalir hingga terjatuh melalui telaga kesedihan jiwa yang sudah terporak- porandakan kejadian demi kejadian atas dirinya. Membekas di rok panjang yang dikenakan. Dipelukannya, sebuah figura dipeluk dengan erat.

"Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa Tuhan? Apa aku telah berbuat dosa hingga semua ini harus ku alami?!" bisiknya lirih. Membuat Airmatanya terus menetes tanpa berhenti. Diah menyeka, namun gagal untuk dihentikan.

"Kamu tau Tuhan, aku gak ingin semua ini terjadi padaku! Dan aku bukan pelacur yang bisa dijamah oleh semua laki-laki. Aku sungguh gak mau ini terjadi padaku!" lanjutnya semakin lirih, isak tangis terdengar disela-sela kata demi kata yang terucap dari bibirnya. "Tapi kenapa masih kau berikan padaku hingga aku seperti pelacur dimata Akbar..!"

"Dulu.." Diah mulai mengenang masa kecilnya. Dari ribuan memori yang tersimpan rapih ketika otak sedang mencari kenangan-kenangan masa kecil dirinya dengan Akbar. "Kita dulu adalah sahabat yang sangat akrab, sangat akrab hingga aku tidak bisa membedakan perasaan antara sahabat dan perasaan terhadap laki-laki." Katanya lagi, menundukan wajah. Menyeka airmatanya sekali lagi.

Ya, dulu. Itu sangat sudah lama sekali kejadiannya. Hubungan yang sangat erat. Hubungan sahabat yang sudah bagai kakak adik. Lalu, memori itu terbuka sedikit demi sedikit dari otak Diah.

Awal pertemuan saat masuk sekolah taman kanak-kanak. Dulu, katanya Akbar dirawat sama neneknya di Jakarta. Lalu Akbar pulang ke Lombok ikut bersama Ibu dan Ayahnya. Neneknya melarang Akbar ikut ke Lombok karena masih terlalu kecil ikut kedua orang tuanya.

Akbar masuk sekolah pertama kali tanpa rasa takut. Lain lagi dengan Diah, gadis cantik berambut hitam kuncir dua itu bersembunyi dibalik tubuh ayahnya yang mengantar Diah waktu itu. Keduanya belum saling mengenal, kedua ayah mereka pun sama-sama belum tahu kalau Adrian dan ayahnya Akbar adalah sahabat baik.

Kaki kecil itu melangkah penuh percaya diri. Ayahnya hanya mengantar sampai pintu depan sekolahan. Matanya tertuju pada Diah kecil yang tidak mau pindah dari balik tubuh ayahnya itu. Akbar melirik, lalu menghampiri Diah yang terus menggeleng saat salah satu guru membujuk Diah untuk masuk.

"Hei..!" Sapa Akbar tersenyum. "Ayo masuk sama aku! Nanti bisa kesiangan lho..!" Ujarnya mengulurkan tangan.

Diah melirik Akbar, kemudian melihat tangan Akbar yang sedang menunggu untuk disalaminya. Awalnya enggan, tapi Akbar begitu gigih membujuk Diah untuk ikut masuk ke kelas. Dengan takut-takut, akhirnya Diah membalas uluran tangan Akbar.

"Nah, gitu dong. Kita harus berani kesekolah sendiri!" Tukasnya menarik tangan Diah.

Diah bengong, Adrian heran. "Ayaaah, tolongin Diah..! Diah gak mau kesekolah!!!" Teriak Diah. Melirik ke arah Bu Guru.

"Gak apa-apa, Pak..! Biar anak pak Adrian mandiri." Ujar Bu Guru yang menyadari Adrian kebingungan. Kemudian tertawa bersama guru itu.

Dari situ, semua kisah antara Akbar dan Diah terjadi. Kisah persahabatan antara mereka terjalin hingga kejadian malam itu terjadi. Padahal Diah masih berharap Akbar mau menerima dirinya dan menolak Mike, namun, kejadian frontal Akbar membuat dirinya enggan untuk terus menyukai laki-laki itu.

Lalu ada beberapa kejadian yang membuat Diah bertambah menyukai Akbar. Senyuman Diah pun telah menjadi bagian hidup Akbar yang perlahan menyukai Diah, dulu.

"Elu tau, Bar..? Elu dulu begitu mengagumkan! Sangat menganggumkan hingga diri ini selalu terpaku pada apa yang elu lakukan buat gue! Elu bikin gue jatuh cinta. Tapi.." Diah menghela nafas panjang. Senyumnya terlihat getir. Sekali lagi ia mencoba menghentikan airmatanya. Jari jemarinya mengelus wajah Akbar didalam figura foto itu.

Mendadak saja raut wajah Diah menjadi sangat kesal. "Tapi sekarang semua memuakan, elu menjijikan. Elu terlalu egois menganggap orang yang terhina seperti gue kayak orang jahat yang telah membunuh ribuan orang."

Tangannya mengayun, melampiaskan kemarahannya yang selama ini ia pendam.

Praaang.. Figura itu hancur berantakan. Serpihan kaca berserakan. Foto dirinya dan Akbar waktu kecil tergeletak diantara ratusan serpihan kaca yang terurai kecil-kecil.

"Kenapa? Kenapa elu melihat dan menganggap gue kayak seorang pelacur? Seorang Pelacur yang seakan-akan seenak jidat elu bisa di jamah?"

hiks..

hiks..

isak tangis itu terdengar lagi, kali ini lebih menyakitkan suaranya. Tubuh itu pun jatuh kemudian. Duduk dilantai.

"Gue gak pernah minta kayak gini! Gue gak minta kejadian itu menimpa gue..!? Elu tau kan..? Gue sayang elu dari dulu, tapi setelah kejadian semalem dan dua hari lalu bikin syok, bikin elu terlihat menjijikan." Ungkapnya sakit hati. "Laki-laki yang seharusnya gue sayangi mendadak seperti seorang bajingan."

"Semuanya telah hancur, lalu apa elu pikir gue bisa menikah dengan Mike..?!" Diah menggeleng cepat, rasanya terlalu tinggi keinginannya untuk bisa dinikahi dengan Mike. Entahlah, Diah masih belum percaya Mike akan menikahi dia, walau Mike sudah menyakini dirinya. "Gue benci semua ini, Bar..! Gue benci sama nasib gue!!"

Adrian, tanpa sengaja mendengar curahan hati pada kenangan yang memenuhi ruang didalam kepalanya. Berdiri membelakangi pintu dengan kepala tertunduk dan raut wajah yang amat bersalah. Ia tahu apa yang Diah rasakan, sangat tau seperti apa rasanya bila disakiti orang yang kita sayangi. Ayah dari Diah tau hubungan puterinya dengan Akbar seperti apa. Dari bocah ingusan yang tidak mengerti dunia percintaan, hingga keduanya merasakan itu dan juga perjodohan atas saran Ferdy, ayahnya Akbar.

"Maafkan ayah Diah, maafkan bila ayah gagal menjadi Ayah sekaligus Ibu buat kamu..! Semua ini salah ayah, andaikan malam itu ayah cepat datang, mungkin kejadian ini tidak pernah terjadi pada kamu, dan kita." Katanya sambil mengusap kristal bening itu yang akhirnya terjatuh.

Dan didalam, matanya tertuju pada salah satu pecahan kaca didekatnya. Ia mengambil pecahan kaca itu, meletakan ke urat nadi dipergelangan tangan. "Elu tau, Bar! Gue juga mencintai elu, sangat mencintai elu. Tapi.." Oceh Diah diiringi isak tangisnya. "gue gak bisa, Bar! Gak bisa buat nikah sama elu. Jadi jangan limpahkan kekesalan elu atas semua yang udah terjadi sama gue..!"

"Dan apakah gue harus mati saja agar elu puas?!" Pikirnya. Menekan pecahan kaca lebih dalam lagi, setetes darah mulai keluar dari pergelangan tangannya. "Gue akan mati kalau itu mau elu, agar Mike dan elu gak ada yang bisa miliki gue!"

Adrian diluar, menjadi panik mendengar kalimat akhir puterinya. "Diaaah, Diah apa yang mau kamu lakukan di dalaaam?!" Teriak Adrian menggedor pintu.

Doook..

Doook..

Doook..

Ia berusaha mendobrak pintu kamar anak semata wayangnya itu. "Diah.., Ayah mohon jangan lakukan itu, Nak! Ayah mohon, sayang! Ayah gak mau kehilangan kamu, Diaah..!" Ceracau Adrian mulai ketakutan.

Doook..

Doook..

Doook..

Adrian mencoba sekali lagi mendobrak pintu. Dan..

Bruuuaaak..

Mata Adrian terbuka lebar, darah dari pergelangan tangan puterinya sudah banyak yang keluar. Diah menoleh, lalu tersenyum sangat getir diberikan pada Adrian.

Adrian bergegas berlari, "Apa yang kamu lakukan, Diaaah..!" Direbut pecahan kaca itu, dan dibuang jauh-jauh dari sekitar Diah. "Lihat, apa yang kamu lakukan, Hah?!" Tunjuk Adrian pada luka dipergelangan tangan Diah. "Kamu mau bunuh diri? Mau ninggalin ayah??"

"Lepasin aku ayah, lepasin! Biarin Aku mati ayah, aku mau mati aja..!"

Adrian memeluk erat tubuh anaknya. "Gak.. gak boleh! Kamu gak boleh ninggalin ayah. Kamu satu-satunya peninggalan ibu buat ayah. Kamu satu-satunya yang membuat ayah tetap bertahan hidup." Pelukan itu dilepaskan setelah keadaan Diah tenang. "Kamu tunggu disini, ayah mau ambil kotak obat di dapur." Katanya keluar kamar Diah.

Diah terdiam. Ia mencerna semua kalimat demi kalimat dari ucapan Adrian barusan. Helaan nafasnya terdengar berat. Masih ada beban didalam dirinya. Masih ada juga pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran didalam benaknya.

Kali ini, pertanyaan datang seputar tentang ibunya. Diah tidak tahu persis apa penyebab ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya. Waktu itu, usianya masih terlalu muda. 11 bulan, usia segitu bahkan sangat muda untuk mengerti masalah kedua orang tuanya. Namun, bukan dirinya tidak pernah mendengar kisah seputar ibunya dari mulut-mulut para tetangganya. Mulut-mulut itu membicarakan banyak hal tentang ibunya. Semua warga tau tentang kebaikan, kecantikan dan keburukan ibunya. Tapi tidak dengannya, sedikitpun ia tidak mengingat seperti apa wajah ibunya.

"Diah, ini ayah bawain obat buat kamu." Ujar Adrian masuk kekamar setelah bunyi pintu terdengar. Posisi duduk Diah masih sama saat Adrian tinggal pergi.

Adrian mulai mengobati luka gores dipergelangan tangan puterinya. Sangat pelan dan lembut.

"Apakah aku anak haram?" Mendadak saja pertanyaan Diah menghentikan gerak tangan Adrian yang hendak mem-perban luka itu.

"A..pa?"

"Aku ini anak haram kan, Yah?!" Tanya Diah sekali lagi.

"Maksud kamu apa bilang begitu?" Suara Adrian meninggi. "Siapa yang bilang semua itu, Diah? Bu Seruni?"

Diam terdiam, kepalanya masih tertunduk. Adrian menglepaskan hembusan nafasnya. Mengusap wajahnya kemudian. "Jadi benar bu Seruni yang bilang ini sama kamu?!"

"Bukan hanya Bu Seruni, tapi hampir semua warga sini tau siapa sebenarnya aku."

"Aaah.." Keluah Adrian. "Ada masalah apa lagi ini? Kenapa selalu aja biang keladinya Seruni, Seruni dan Seruni lagi..?" Katanya tak habis pikir.

"Jadi benar semua ucapan warga?!"

"Gak.. gak ada yang anak haram..!" Sergah Adrian. "Kamu anak ayah, kamu juga punya ibu. Jadi, kamu bukan anak haram, NGERTI?!" Lanjutnya penuh penekanan.

"Terus, kenapa ibu ninggalin Diah dan ayah?!"

Lagi, Adrian menghempaskan nafasnya. Kali ini dua kali lebih panjang. "Yang jelas, ibu hanya takut miskin hidup sama ayah. Itu aja, bukan masalah anak haram seperti orang katakan sama kamu..!" Tangannya melanjutkan mengobati luka Diah.

"Apa lebih baik Diah mati aja agar gak menjadi beban ayah lagi?!"

Adrian mendelik, ditatap wajah Diah. "Apa lagi ini?!" Tanya Adrian heran. "Bu Seruni lagi?!"

Diah menggeleng.

"Lalu?!"

"Diah hanya merasa sudah menyusahkan ayah selama ini. Bahkan sampai saat ini, Diah malah bikin ayah malu dihadapan orang-orang nantinya."

"Dengarkan ayah baik-baik! Kamu bukan beban, bagi ayah kamu adalah anak yang paling membanggakan buat ayah! Apapun yang orang lain pikirkan tentang kamu dan apapun yang sudah terjadi sama kamu, Ayah tidak peduli..," Kemudian Adrian memeluk tubuh rapuh Diah kembali. "Karena ayah sangat sayang sama kamu!"

Diah membalas pelukan ayahnya. Ia sedikit merindukan pelukan itu. Entahlah, Diah hanya bingung dengan semua pikiran dibenaknya.

****

Bersambung...