Akbar pulang berwajah kusut. Ditekuk, dengan hati kesal. Masuk tanpa salam, nyelonong biarpun ibunya berada diruang tamu.
"Lho.., Akbar? Dari mana kamu, nak?" Pertanyaan Seruni diabaikan begitu saja. Ia langsung masuk kamar dan membanting pintu sekeras mungkin.
Braaak..
"Ada apa lagi sih, tuh, anak?!" Gerutu Seruni, cukup kaget mendengar pintu yang ditutup sekeras mungkin oleh putera satu-satunya itu.
Didalam kamar, Akbar berdiri diam ditengah-tengah kamar yang cukup luas. pikirannya masih saja bergelut pada kejadian tadi, kejadiannya membuat dia kesal dan menaruh dendam. Rasa hati belum puas dengan apa yang Mike lakukan padanya. Ia juga masih belum puas membuat Diah menderita dengan segala ucapannya.
Entah apa yang membuatnya berubah seperti ini, itu semua karena Diah. Yang menjadi penyebab utama adalah Diah. Harapannya seakan hancur, hatinya seolah dipermainkan. Dan perjodohan itu seperti tak ada artinya lagi buat Diah. Lalu apa rasa yang selama ini ada di hati keduanya? Akbar layaknya sebuah mainan, mainan yang bisa dibuang ketika bosan. Itu yang ia rasakan saat ini. Begitu sakit hatinya.
Akbar berdiri di cermin. Di lihat baik-baik wajahnya yang memar itu. Torehan tinju Mike membekas jelas berwarna biru keunguan diwajah tampannya. "Br*ngs*k.., benar-benar sialan mereka semua..! liat aja, gue akan bales semua yang udah kalian lakukan sama gue." Tukas Akbar sedikit menggeram. Mengelus-elus pipinya. Seketika itu juga, bayangan tentang kemesraan Diah pada Mike mendadak muncul disela-sela kekesalannya.
"Aaagh.." teriaknya dan..
Praaang.. satu tinju mendarat di kaca hingga berkeping-keping. Darah mengucur diantara luka tertusuk serpihan kaca cermin.
"Liat aja, gue gak akan main-main membalas perbuatan elu sama gue." Gumam Akbar, seakan belum bisa melupakan sakit hatinya pada Diah dan Mike. Sedari kecil ia menyukai Diah seperti Diah menyukainya. Perjodohan yang bikin ia semakin yakin pada Diah. Namun, semua impiannya menikahi Diah kandas dalam sekejap oleh Mike dibanding dia memupuk rasa cinta itu dari hanya sekedar suka hingga jatuh cinta sesungguhnya.
"Kenapa lagi sih, tuh anak? selalu aja teriak sehabis dari luar rumah..!" Gumam ibunya, beranjak bangun dan menyusul setelah mendengar suara kaca pecah.
Lagi, ibunya masuk ke kamar Akbar dalam keadaan kacau balau. Persis kapal perang yang hancur tertembak meriam. "Ya Tuhaaan, kamu kenapa lagi sih, Bar?!" Katanya setengah berteriak. Menghampiri Akbar yang masih berdiri di depan figura cermin yang pecah.
Seruni mengamati wajah Akbar, ada memar baru yang cukup terlihat mencurigakan bagi Seruni. Ia langsung menolehkan wajah Akbar ke arahnya. "Apa ini Akbar? Siapa yang bikin wajah kamu kayak gini?" Tanya Seruni di jawab dengan diamnya Akbar. "Jangan bilang ini perbuatan keluarga Adrian?!" Akbar menepis tangan Seruni yang sibuk pada wajah Akbar. Berjalan, duduk kemudian sambil menatap lantai. Tak ada senyuman yang membias di wajahnya kini. Kesal penuh amarah.
"Jawab Ibu, Akbar! Apa benar itu perbuatan Adrian..?!" Akbar tetap diam. "Jadi benar ini perbuatan keluarganya Adrian?" Tanya Seruni geram. Tebakannya benar. Akhirnya, Akbar mengangguk.
"Kurang ajar..! Gak tau di untung, masih berani dia nyentuh kamu." Oceh Seruni Geram.
"Lalu apa rencana ibu buat hancurin hidup mereka?" tanya Akbar berdiri, mulai tak ada rasa iba lagi terhadap keluarga Adrian. Ikut terbawa hasutan ibunya. "Ibu tau kan, semakin lama mereka berdua semakin ngelunjak." Kata Akbar, bikin semua semakin rumit.
"Udah, kamu tenang aja.. nanti biar ibu yang ngurus. Liat aja, nanti mereka bakalan nyesel." Seruni mencoba buat Akbar bersikap tenang. Matanya mendelik tajam ke arah jendela. Seakan ia mampu melihat apa yang ia ingin lihat.
"Tapi aku mau Ibu ngelakuin sesuatu hal yang bisa bikin mereka menderita dan tidak bisa ngelupain itu semua." Seruni melirik Anaknya. Lalu tersenyum menyeringai, ia sangat senang anak satu-satunya itu sudah sejalan dengan pikirannya.
"Akan ibu buat mereka sengsara dari apa yang kamu pinta." Sahutnya menepuk-nepuk pipi Akbar.
Laki-laki yang dulu berperangai sangat baik itu mendadak merubah menakutkan, senyumannya seakan lupa siapa sebenarnya Akbar sebelum dikecewakan.
****
Di hotel..
Mike sama geramnya dengan Akbar. Dia masih belum puas menghajar wajah laki-laki bermulut comel itu. Rasanya ia ingin menyumpal mulut Akbar dengan sepatunya.
Duduk didepan Austin yang masih terdiam. Mike menatap adiknya yang tertunduk. "Kenapa lu liatin gue? Ada yang aneh sama gue, hah?" Tanya Mike kesal sekaligus penasaran dengan sikap adiknya itu.
Austin tersenyum kemudian menghela nafas. "Gue heran sama elu, kenapa sih, cewek-cewek pada suka sama cowok playboy kayak elu itu?" Ia berdiri, berjalan dan lalu mengambil segelas air yang sudah ia tuang. "Padahal, gue jauh lebih baik dibanding elu." katanya lagi meletakan gelas. Berjalan kearah kasur dan menjatuhkan diri ke kasur.
"Maksud elu?"
"Gak.. gak ada apa-apa." Jawab Austin menelungkup wajahnya ke bantal. Membiarkan sepatu serta jaketnya menempel pada kaki dan tubuhnya.
"Ok..! gue anggap itu ucapan orang mabuk. Tapi kenapa sikap lu jadi aneh begini, Hah?!" Selidik Mike penasaran. Ia membuka jaketnya dan kemudian di gantungkan pada lemari yang sudah tersedia di hotel.
"Maksud elu?!" Austin mengangkat kepalanya dan menatap heran kearah Mike yang asik membuka sepatunya. Walaupun Mike terkenal badboy, tapi ia tetap menjaga kebersihan tubuhnya dibanding Austin terkesan masa bodo dengan kulit tubuhnya.
Mike mendesah.. "Elu bego, apa pura-pura bego?!" Tangannya menyambar handuk di atas kasurnya.
"Dengar ya, Mike..! Kalau yang elu maksud tentang perlakuan laki-laki itu sama elu dan gue gak bantuin elu menghajar laki-laki itu, gue pikir itu tindakan pengeroyokan. Dan gue gak suka bersikap gak gentle kayak gitu."
Mike mendelik, menatap sini kearah adiknya yang lebih banyak diam.
"Woi.. kenapa jadi keliatan sinis gitu sama gue?!" Protes Austin. "Elu sadar kan, semua yang terjadi karena ulah elu. Dan gue rasa elu yang harus perbaiki semua yang udah elu lakukan. Pertengkaran itu, gue rasa akan bikin Diah dalam bahaya."
"Jadi elu bela laki-laki bermulut perempuan itu?" tuduh Mike kembali kedalam kamar, emosinya bukan bertambah reda, malah dua kali lebih kesal mendengar ucapan adiknya itu.
"Gue cuma kuatir, Mike..! Gue ngerasa, laki-laki itu menaruh dendam pada Diah dan malah bertambah setelah kejadian tadi."
"Gue akan ngelindungi dia, apapun itu. Bahkan nyawa gue taruhannya."
Austin berdiri, dihampiri kakaknya itu. "Gue yakin elu bisa. Tapi gue saranin, elu harus tetap berhati-hati." Katanya menepuk bahu Mike. Berwajah kurang semangat, lalu menjatuhkan kembali dirinya dikasur kamar hotel penthouse itu.
"Kenapa sih, tuh anak? Gak biasanya jadi pendiem gitu." Tanya Mike pada diri sendiri, masuk kekamar mandi.
Di balik bantal, Austin sebenarnya tidak tertidur. Tangannya sibuk men-scroll fitur galeri. Ada banyak foto kenangan dia, Mike dan Abigail.
Jarinya menekan foto Abigail yang sendirian. Disana, wanita berambut pirang itu sangat cantik. Kulit wajahnya yang putih, didominasi dengan bintik-bintik hitam yang nyaris tak terlihat. Abigail tersenyum dibawah sinar matahari didekat pohon rindang. Setelan outfit coklat dan dalaman putih, serta sepatu semi boots sangat pas dengan style rambutnya yang tergerai. Hembusan angin membuat helai demi helai rambut emasnya mengembak lembut.
Austin tersenyum. Seharusnya ia senang Mike lebih memilih Diah dibanding Abigail. Seharusnya juga dia mendukung Mike, sebab ia bisa mendapatkan kesempatan untuk mendekati Abigail nantinya. Tapi, entah apa yang ada didalam hatinya, Austin seperti orang bersalah sekaligus tak terima Mike begitu saja meninggalkan Abigail yang akan bertunangan itu.
Mike memang bukan laki-laki ber-image baik. Tapi tadi, Austin merasa Mike begitu dewasa dalam menentukan sikapnya. Cara dia menenangkan ayahnya Diah, dalam dia membela Diah dan melawan kata-kata kasar Akbar. Austin salut dengan semua tindakan Mike, walau memang ucapannya tadi sedikit tak pantas untuk diucapkan. Tapi, Akbar memang pantas dibalas dengan kata-kata seperti itu.
Lalu Mike.
Tubuh kekarnya masih ada sisa-sisa air yang baru saja ia kucurkan dari shower. Ia berdiri mematung bak dewa Yunani yang sexy. Entah apa yang dipikirkan Mike, ia merasa ucapan adiknya itu ada benarnya. Tidak setiap saat dia bisa mengawasi gerak-geriknya Akbar. Bisa saja, Akbar membalas perbuatannya pada Diah saat Mike dan Austin kembali ke negara asalnya.
"Semua akan baik-baik aja, Mike..! semua akan baik-baik aja." Ucap Mike berulang pada dirinya sendiri. Ia cukup kuatir dengan apa yang Austin ucapkan tadi.
Mike menghela nafas setelah cukup dirinya menenangkan diri sendiri. Ia keluar, dilihat cahaya dari balik bantal yang terhalang kepala Austin. Mike duduk sambil memakai kaosnya. "Elu belum tidur..?!"
Austin tidak menjawab.
Hening sesaat.
Mike merebahkan dirinya dikasur dengan tangan sebagai bantalannya. Ia menatap kosong ke langit-langit.
"Terus, gimana dengan pertunangan lu sama Abigail?" Tanya Austin setelah ia menyimpan pertanyaan itu sedari dia dan Mike sebelum ke rumah Diah. Tanpa menoleh.
"Gue gak tau."
Suara desahan Austin terdengar kesal. Jawaban Mike seolah-olah dia menyepelekan hal penting itu.
"Kenapa?" Tanya Austin berusaha tenang. Sebenarnya, bibir Austin tidak tahan pengen maki-maki Mike.
"Entahlah, disatu sisi gue ngerasa.., rasa nyaman gue sama Abigail udah kayak orang sahabatan, bukan sebagai sepasang kekasih."
"Terus, kenapa lu nekat ngelamar dia sebelum kita ke Indonesia?"
Mike bingung dengan jawaban atas pertanyaan adiknya itu. "Gue cuma gak pengen kehilangan dia. Tapi tiba-tiba, semua rasa dalam hati gue hilang gitu aja."
"Terus, kenapa elu ngelakuin itu pada gadis desa yang baru aja elu temui."
"Hey, apa lu akan terus menanyakan pertanyaan yang sama tentang masalah itu?"
"Gue hanya mastiin elu cuma main-main atau serius sama gadis desa itu."
Mike berdehem "seperti yang gue bilang, dari jatuh cinta turun ke nafsu dan hati gue tetap jatuh cinta. Walau gue menyesal karena udah bikin dia ternoda, tapi gue beneran suka dan cinta sama dia."
"Lu jadi jatuh cinta beneran?" Tanya Austin merubah posisi tidurnya.
Mike melirik adiknya, lalu mengangguk.
"Jadi sekarang lu udah gak cinta Abigail..?"
Mike menggeleng. "Abigail udah gue anggap adik, mulai sekarang maupun nanti."
Austin menghela nafas. Tangannya mulai gatel ketika Mike menganggap cinta Abigail hanya sebuah mainan. "Apa lu udah mikirin caranya untuk yakinin Mom dan Dad?"
"Gue akan pikirkan itu nanti."
Austin mengangguk mengerti. Dia merebahkan tubuhnya lagi kemudian. Membalikan tubuhnya dan mematikan lampu. "Gue suka Abigail, dan gue akan perjuangi untuk dapetin dia." Ungkap Austin malu-malu.
"Apa?!" Mike bangun. Ia kaget mendengar ungkapan hati adiknya itu. "Jadi elu suka Abigail?"
"Iya..!" Wajah Austin memerah setelah mengakui perasaannya pada Abigail dihadapan Mike.
"Sejak kapan?"
"Sejak kita semua masih kecil. Gue menyatakan cinta gue setelah dia balik ke kota kita tinggal..!" Aku Austin. "Sayangnya, gue di tolak karena elu udah lebih dulu nyatain perasaan elu sama dia."
Mike tersenyum sekaligus menyesal. "Maaf, gue beneran gak tau."
Austin tidak menjawab. "Hei, tapi gue ngedukung elu sama dia, kok..! Gue rasa, elu sama dia benar-benar cocok." Kata Mike menyemangati Austin.
"Dan gue gak akan ngebiarin lu nyakitin Abigail lagi setelah itu."
Lagi, Mike tersenyum. "Siip..!" Ucap Mike singkat.
Lagi, suasana diantara mereka kembali hening.
Membisu dan tak ada lagi suara. Austin dengan pikirannya dan begitu juga dengan Mike.
Ada banyak hal yang terjadi hari ini. Ada banyak masalah yang mendadak mendapatkan jalan keluarnya. Namun, ada ribuan masalah yang akan datang menghadapinya. Seperti saat ini, Diah yang duduk diam di jendela. Wajah senyumnya terpancar dibawah rembulan malam. Melupakan segala yang terjadi hari ini. Namun dibalik itu, ada Akbar yang terluka hatinya.
Mambanting foto Diah dalam figura yang dulu pernah ia simpan disetiap ia merindukan Diah. Tetapi Akbar, sudah tidak peduli lagi dengan semua yang ada pada diri Diah. Lebih dari itu, Akbar menaruh dendam atas rasa sakit hati yang ia rasakan saat mengetahui kenyataan Diah dengan Mike.
Kenangan-kenangan itu dibakar Akbar. Barang-barang yang pernah Diah kasih ia kubur. "Sampai kapan pun, gue gak akan lupain kejadian hari ini dan nanti." Ucap Akbar. Walaupun Seruni telah berjanji akan membantu Akbar untuk membalaskan sakit hatinya, tapi Akbar merasa belum puas apa yang dilakukan Diah dan Mike terhadapnya.
Akbar, Diah, Mike dan juga Austin. Berada pada pikiran masing-masing. Yang akan terjadi nanti pada nasib mereka.
****
Bersambung..