Pagi ini, tak begitu cerah. Awan hitam menggelayut di beberapa bagian hamparan langit luas. Sesekali cahaya kilat terlihat menyambar.
Mike baru saja selesai mandi. Belum juga ia berpakain ponselnya sudah meraung, sangat berisik, menganggu Austin yang masih asik terlelap. Saat ini, jam memang masih menunjukan diangka 7, masih terlalu pagi buat Austin untuk bangun dari mimpinya.
"Ponsel lu bunyi tuh, bisa cepat diangkat gak sih? Berisik!" Protes Austin menutup telinganya dengan bantal.
"Bawel, ini juga mau diangkat." Balas Mike meraih ponsel yang sedari semalem tergeletak di atas meja hotel. "Daddy?!" Gumamnya. Ada perasaan takut dan cemas. "Ini pasti masalah semalem." Pikirnya bergegas menjawab panggilan Daddy-nya.
"Dimana kamu sekarang..?!" Belum juga sempat Mike berkata 'Hallo' Robert sudah to do point menanyakan keberadaan Mike.
Mike menghela napas dan duduk dipinggiran ranjangnya. "Aku sekarang ada di Indonesia, Dad..!"
"Iya, Daddy tau! Tapi tepatnya dimana?!" Tanya Robert sedikit meninggi.
"Resort, Pulau Lombok. Tepatnya Mike gak tau ada dimana..!"
"Ok..! Daddy mau kalian berdua sekarang juga. Gak ada alesan buat kamu menghindar pertunangan itu. Dan Daddy gak mau mendengar alesan apapun dari kalian. Ngerti..!"
"Iya Dad, rencananya siang ini kita mau check out dari hotel ini. Ijin tinggal kita berdua juga udah habis kok! Pokoknya daddy tenang aja kami pasti balik."
Suara Sophia, Mommy dari Mike dan Austin itu terdengar ribut. Ia menginginkan Robert, suaminya itu memberikan ponselnya. Robert tidak memberikannya, tapi ia me-load-speaker ponselnya. Ia juga ingin mendengar jawaban dari anak sulungnya itu.
"Hallo, Mike.. sayang, ini mommy! Kamu gak apa-apa kan, semalem? mommy dengar semalem kamu kayak lagi berantem sama seseorang..! Bisa kamu ceritain sama mommy keadaan kamu sekarang?!" Cecar Sophia, sedari siang (waktu di london dan di Indonesia beda 7-8 Jam).
"Gak apa-apa kok, mom..! Semalem Mike cuma nonton film action di televisi." Sahutnya, tersadar bahwa dia semalem baru saja abis terkena tinju Adrian dan Akbar. Berdiri, lalu melihat dirinya yang telanjang dan berfokus pada bagian wajahnya. Disana ada beberapa memar bekas pukulan yang sudah sedikit membiru. Ia menghela napas, duduk ditepi ranjang kemudian.
"Sukur deh, kalau kamu dan Austin gak apa-apa..!"
"Iya mom, jadi mom sama dad gak perlu kuatir. Aku sama Austin udah dewasa dan kami bisa menjaga diri baik-baik." Tukas Mike meyakinkan ibunya itu.
"iya.. iya mommy percaya."
"Ya udah, Mike mau pakai baju dulu." katanya lagi sibuk mencari baju di kopernya. Austin sibuk menguping pembicaraan kakaknya dengan kedua orang tuanya dari bantal, ia sengaja pura-pura tidur agar tidak ada banyak pertanyaan yang diajukan kedua orang tuanya.
"Tunggu!" Henti Robert menahan Mike menutup pembicaraannya. "Ingat!! Kamu dan Austin harus pulang sekarang..!!" Lanjut Robert. "Kalau gak, kalian berdua akan Daddy hapus dari daftar warisan daddy." Sophia melototi suaminya. Robert mengacuhkan dan membalikan tubuhnya.
"Ingat itu baik-baik. Dan sampaikan pada Austin." Ancam Robert sangat murka.
"Iya Dad..!" jawab Mike pasrah. Pembicaraan itu benar-benar selesai setelah Mike hanya menjawab dengan kata 'iya' setiap pertanyaan yang diajukan Robert.
Lalu Di Indonesia. Tepatnya dirumah Susi.
Ia masih saja bimbang apa yang harus dia lakukan dengan rekaman itu. Menimbang, memikirkan berpuluh kali hingga membuatnya resah sepanjang malam mencari jawaban atas kekuatiran hatinya. Susi hanya tidak ingin bertindak bodoh yang hanya pakai emosinya dalam bertindak, ia harus memikirkan apa yang akan terjadi setelah ia memberikan rekaman ini dan menceritakan semua pada Adrian.
Akbar bukan anak dari orang tua biasa. Ayahnya punya jabatan. Ibunya orang yang sangat terpandang dan disegani. Bisa apa bila keluarga Akbar membalas perbuatannya. Susi tidak akan bisa berkutik, apalagi bila dia dibawa kepolisi dengan tuduhan pencemaran nama baik, lalu bagaimana dengan nasib anak-anaknya kalau memang ia harus ditangkap polisi dan mendekam dipenjara. Susi tidak bisa membayangkan itu semua.
Dan pagi ini, ia sudah memutuskan. Keputusan yang ia ambil sudah bulat. Ia tidak akan tenang bila menyembunyikan kebenaran atas tindakan asusila Akbar terhadap Diah. Apalagi Diah sudah dianggapnya adik sendiri olehnya. Jadi, apa dia tega menyembunyikan semua itu. Dan ia yakin, Adrian pasti akan melindungi anak-anaknya bila ia harus memang dipenjara.
Susi mengambil memori card dari dalam laci. "Bismillah..!" Ucapnya memantapkan diri. Berjalan keluar dengan semua perasaan yang mengaduk dihatinya.
****
Saat ini, Mike berdiri di hadapan Diah. Memandang, lalu senyuman manis itu mengembang di bibir Mike yang terlihat merah alami. Diah tertunduk setelah sekian detik memandang Mike dengan senyumannya itu. Baginya, Mike kini menjadi laki-laki indah dimatanya. Entah, seakan ia mampu menghalangi setiap ingatan tentang Akbar yang lebih dulu tergores di memorinya.
Begitu juga dengan Mike. Entah apa yang merasukinya, Mike seolah menginginkan Diah menjadi kekasih abadinya. Ia sadar, ada laki-laki lain yang akan menjadi musuh dalam selimut disetiap langkahnya dengan Diah.
Lalu ada Abigail? Mike sudah tak mau ambil pusing masalah hubungannya dengan cewek yang ia pacari semenjak SMU. Bahkan Mike sudah tidak lagi memikirkan masalah pertunangannya dengan cewek yang diperebutkan antara Austin dan dirinya. Mike begitu terpesona dengan Diah. Gadis berwajah ayu, cantik dan berkulit tak seputih Abigail. Mike menganggung- agungkan Diah sebagai cinta terakhirnya.
Mike menghela nafasnya. Lalu ia raih pelan tangan Diah. Cewek yang saat ini mengandung anak Mike tersentak kaget. Ini untuk kedua kalinya ia bersentuhan. Sekelebat bayangan mendadak menghantuinya, bayangan saat Mike memperkosanya. Mencumbunya lalu menggaulinya. Semua tentang kejadian itu tiba-tiba saja datang dan membuat Diah menarik tangannya yang dipegang Mike.
Laki-laki asing itu merasa heran. "Why?" Tanya Mike tidak mengerti respon Diah yang mendadak ketakutan, ia menyembunyikan tangannya di belakang. Entahlah, semua responnya terasa mendadak. Padahal, kemaren Mike juga menyentuh tangannya saat meyakini dirinya untuk dinikahi.
Diah menggeleng.. "i just remembered the incident that afternoon."
"Sorry..!" Ucap Mike merasa bersalah.
"But ... it's not like I refuse to marry you." Elak Diah. Ia juga merasa keterlaluan pada Mike atas sikap spontanitasnya.
"Ssst.." henti Mike dengan jari telunjuk di bibir Diah. "Gue tau, dan gue mengerti itu. Ini semua karena kebodohan gue yang terlalu suka sama elu dipandangan pertama itu, mungkin gue gak akan lakukan hal bodoh kayak kemaren." Ungkap Mike tentang hatinya. "Sebagai laki-laki yang mencintaimu, gue akan bertanggung jawab atas semua perbuatan gue. Dari sini.." tunjuk Mike tepat didadanya. "Bukan dari nafsu yang dibiarkan liar." Lanjutnya yang kemudia mengecup kening Diah.
Austin yang melihat dari belakang hanya geleng-geleng kepala liat tingkah kakaknya. Hal itu sudah Austin lihat. Bukan hanya sekali-dua kali, namu sudah ribuan kali Austin melihat Mike menggombal pada cewek.
"Iihk.. apaan sih, pagi-pagi udah ngegombal." Protes Diah melengos. Wajahnya merona, sangat malu.
Mike tertawa.. "Gak apa-apa lah, namanya juga usaha sama calon istri yang lagi ngandung anak gue." Ucapan Mike membuat wajah Diah semakin memerah.
"Iihk.. udah ah, katanya pesawatnya satu jam lagi boarding?"
Mike melihat jam dipergelangan tangannya. Sedikit lagi satu jam sebelum boarding pass. "Oiya, ya udah.. gue pamit ya." Diah mengangguk. Ada senang dihatinya mendengar gombalan Mike, tetapi, rasa sedih itu membuat ia seakan tidak rela Mike pergi menjauh dari hadapannya. Walaupun ia tau Mike akan datang lagi bersama kedua orang tuanya untuk melamarnya secara resmi, tetap saja Diah kuatir. Bukan hanya pada Mike, tapi juga pada dirinya. Apalagi, Diah tau tabiat Akbar. Laki-laki yang sempat ia cintai itu tidak akan berdiam diri setelah dirinya terhina oleh orang lain.
Sama seperti dulu, Diah pernah melihat langsung bagaimana Akbar membalas perbuatan orang yang telah menyakitinya. Diah juga tidak mau hal buruk terjadi pada dirinya.
Mike menoleh sekali lagi padanya. Ia tersenyum. Diah membalasnya sambil melambaikan tangannya.
Masuk ke taksi. Tak lama taksi yang ditumpangi Mike dan Austin berangkat, Adrian keluar. "Lho, Mike dan Austinnya mana?" Tanya Adrian dari ambang pintu, sedikit terburu-buru dengan map coklat di apit lengannya.
"Udah pergi, Yah."
"Lho kok, kamu gak bilang ayah?"
"Mereka buru-buru, Yah."
"Ooh.., ya udah deh, ayah pergi dulu ke kantor kelurahan. Mau anter berkas dulu." Ujarnya menunjukan map yang ia bawa.
Belum satu langkah pun Adrian menggerakan kakinya, Diah sudah menarik lengannya. "Apa kita gak apa-apa setelah kejadian kemarin, Yah?"
Adrian tersenyum kecut, membalikan tubuhnya. Tangannya menyandari di bahu puterinya. "Kamu tenang aja ya, semua pasti baik-baik aja."
Diah menghela nafasnya. "Walaupun Akbar baik, dia gak akan lepasin orang yang bikin sakit hati. Apalagi ibunya."
"Iya, ayah tau. Nanti biar ayah yang urus."
"Tapi Yah." Tetap saja Diah kuatir dengan dirinya, janinnya, dan juga ayahnya. Diah tau sifat Akbar bila sedang marah. Dulu, Diah tidak peduli itu. Akbar lebih mengontrol dirinya, namun saat kejadian tak terduga yang bikinnya sakit hati, amarah Akbar langsung melonjak bak serigala yang terluka.
"Gak akan terjadi apa-apa selama masih ada ayah, ayah akan jagain kamu sampe nyawa ini.." Adrian menunjuk dirinya sendiri. "Taruhannya."
Diah tidak bisa berkata lagi. Ia ingin percaya pada ucapan ayahnya itu, tetapi satu sisi, hatinya masih takut hal buruk akan terjadi pada dirinya dan juga Adrian.
"Ya udah, ayah pergi dulu." Pamit Adrian sekali lagi.
Diah mengangguk ragu.
"Jangan lupa kunci rumah rapat-rapat selama ayah pergi." Kata Adrian mengingatkan.
Lagi, Diah cuma bisa mengangguk sembari memegangi dadanya.
"Ya Tuhan, mudah-mudah gak ada yang terjadi sama keluargaku." Doanya di hati. Menatap terus bahu ayahnya hingga terhalang tembok rumah warga diujung jalan.
Diah berbalik, namun, ada satu pasang mata mengawasi terus dirinya yang sedari mengobrol dengan Mike dan Adrian. Sosok itu bergerak maju setelah Adrian pergi jauh. Mengikuti Diah yang hendak masuk rumah. Dan..
Tangan laki-laki itu menahan pintu yang hendak di tutup Diah. "A..kbar?" Diah ketakutan melihat mimik wajah Akbar persis kayak serigala bertemu domba.
Di tempat lain.
Adrian sudah sampai ke kantor kelurahan. Dia langsung menemui salah satu staf dikelurahan setelah menegur beberapa warga yang menyapanya. Asik mengobrol sembari mengecek-ngecek file dari mapnya.
Staf kelurahan membantu Adrian mengecek sebagian file.
"Hmmm" seorang wanita berpakaian mewah berdehem di sebelah Adrian. "Wah.. ternyata ada pak Adrian." Seruni mengulurkan tangannya.. "selamat ya!"
Adrian bingung maksud pembicaraan mantan pacarnya itu. Ia menatap uluran tangan Seruni dan lalu mendongak menatap wanita yang pernah disukainya itu. "Selamat? Buat apaan, bu?!" Tanya Adrian.
"Ya selamat, saya dengar-dengar Pak Adrian katanya sebentar lagi mau punya cucu."
Jantung Adrian seakan berhenti. Ia menatap sekelilingnya, memastikan tidak ada orang lain mendengar selain dia dan staf kelurahan yang ada dihadapannya.
"Cucu?!" Tanya staf yang membantu Adrian. "Ah.. bu Seruni bercanda aja nih, kan pak Adrian anaknya cuma Diah. Dan lagian Diah juga belum nikah kan, Pak Adrian?!" Selidik staf itu melirik. Adrian terdiam, senyum getirnya yang menjawab pertanyaan itu. Terlalu ambigu.
Ada rasa takut Seruni akan membeberkan semua rahasia tentang kehamilan Anaknya.
"Lho, iya si Diah. Emang siapa lagi..? Kamu emang gak tau, kalau anaknya sedang mengandung janin dari laki-laki bule?" Cerocos Seruni melirik ke Adrian. Kata-katanya membuat Adrian tak berkutik.
"Benaran itu Pak Adrian?!" Tanya seorang wanita, salah satu staf diruangan itu yang tidak sengaja mendengar ucapan Seruni.
Adrian tetap diam. Menunduk dengan tangan mengepal. "Ayo dong, pak Adrian. Kenapa gak di jawab pertanyaan Sifa dan Nurdin..?? Mustinya kan kabar bahagia harus di kasih tau ke orang-orang, jangan disembunyiin aja." Ejek Seruni bikin hati Adrian panas.
"Emang kapan Diah menikah pak? Kok, kita-kita gak di undang?" Samber staf kelurahan dihadapannya.
"Lho, emang kalian gak denger beritanya. Kan Diah hamil duluan, laki-laki bule memperkosanya saat malam tahun baru."
"Apaa?!" Pekik Sifa dan Nurdin bebarengan. "Jadi..?!" Ucapan Sifa terhenti. Ia memandang jijik ke Adrian. Begitu juga Nurdin, menatap layaknya melihat sampah.
"Iya, dan seharusnya orang yang ngelakuin asusila kayak gitu udah di hukum lempar batu dan di arak keliling kampung." Pancing Seruni, Adrian bertambah geram.
"Cukup, hentikan ucapanmu itu, bu Seruni..!" Bentak Adrian sambil memukul meja sekeras mungkin.
Di tatap wanita yang dulunya sangat ia cintai itu. "Apa kamu gak puas ganggu keluarga saya setiap saat?"
"Lho, siapa yang ganggu keluarga pak Adrian. Lagian, ucapan saya benar kan? Si Diah hamil duluan sama bule karena diperkosa. Sama kayak ibunya yang kabur dari rumah dengan laki-laki selingkuhannya."
"Hentikan itu, bu Seruni..!" Teriak Adrian. "Cukup..! Hentikan ucapan anda, bu Seruni...! Ngapain anda ngurusin urusan keluarga saya? lagian, anak saya korban pemerkosaan dan belum tentu hamil." Lanjutnya menatap kesal. Memancing perhatian seluruh staf kelurahan.
"Jangan gila, Adrian! Anak saya ngeliat semua." kata Seruni berbohong. "Lagi pula siapa yang gak akan hamil kalau diperkosa bule yang banyak cairannya." ceracau Seruni tidak peduli dengan ucapannya sebagai Istri dari kepala desa.
Seruni mendekati. "Kamu tau Adrian, saya ngelakuin ini karena kamu telah main-main dan menyakiti anak saya..!" Bisik Seruni bikin jantung Adrian berdegub kencang. "Saya akan bales semua yang udah kamu lakukan pada anak saya." Lanjutnya.
"Kalau begitu, ajarkan anak ibu sopan santun pada anak saya. Sebab dia gak ada bedanya dengan laki-laki bule yang memperkosa anak saya." Balas Adrian pergi meninggalkan ruangan itu. Seruni geram, sorot matanya tersimpan amarah pada Adrian. Seolah Adrian adalah musuh besar yang harus dibalas.
Lalu Diah, sedang menahan pintu yang tertahan Akbar sekuat tenaga. Akbar terus bertahan pada posisinya, kakinya tetap mengganjal pintu rumah Diah.
"Elu mau apa lagi kesini?"
"Gue mau ngelanjutin yang tertunda kemaren. Menikmati tubuh lu yang mulus itu." Kelit Akbar kayak orang kesurupan. Tak peduli lagi siapa lawan yang ia ajak bicara. Tampangnya seperti orang yang habis mabuk beratus-ratus botol minuman keras.
"A..pa?" Diah tersontak kaget. "Gila, kamu emang udah gila, Bar. Kamu anggap gue ini apa, hah?"
"Pelacur, ya.. gue anggep lu seorang pelacur." Balas Akbar semakin menjadi. Mereka saling menahan pintu. Sayangnya, tenaga Diah jauh lebih lemah dibanding Akbar.
Diah pun terdorong, membuat pintu terbuka. Membebaskan Akbar masuk tanpa halangan lagi. Akbar tersenyum penuh kemenangan, mangsanya kini sudah di depan mata dan tak berdaya. Ia menutup pintu, dikunci.
Cewek temen kecil Akbar berusaha melempar apapun yang tangannya raih. Akbar menghindar berkali-kali dengan santainya. Ia membuka satu-persatu kancing bajunya. Dibuang begitu saja. Diah berlari ke arah kamar diikuti Akbar.
Dari kejauhan, Susi melihat Akbar yang menahan pintu rumah Diah. Ia juga melihat Akbar mendorong paksa pintu rumah Diah hingga terdengar Diah terpekik karena hampir terjatuh. "Mau ngapain lagi laki-laki brengsek itu." Umpatnya dari kejauhan. Ia mendekati rumah Diah.
Dari balik jendela yang terhalang gorden transparan. Mata Susi terbelalak, Akbar sudah melepaskan bajunya dan mengejar Diah. Susi bergegas menutup mulutnya.
"Mau lari kemana lagi lu, hah? Gue gak akan biarin elu lolos untuk kedua kalinya." Teriak Akbar menangkap tangan Diah.
Diah meringis. "Lepasin gue Bar, lepasin...!"
"Gue akan lepasin setelah dapetin apa yang gur mau." Jawab Akbar menyeret Diah dan mendorongnya ke sofa. "Udahlah, elu gak usah munafik. Lu suka kan diperkosa kayak gini..?" Jari jemari Akbar mulai membuka pengait ikat pinggangnya. Akbar mulai bersikap beringasan.
Diah menggeleng, memasang wajah minta dikasihani. Akbar tidak peduli lagi dengan wajah yang dulu sering ia lihat saat diganggu anak-anak lain. Tak ada rasa kasihan Akbar kini buat Diah.
"Mari kita bersenang-senang Diah." Katanya mulai mendekati Diah. Semakin dekat. Dan lebih dekat lagi. Hingga jarak mereka hanya lima belas senti meter.
****
Bersambung..