Chereads / WEREWOLF : "THE GAME IS BEGINNING" / Chapter 10 - BAB 10 : "DISKUSI"

Chapter 10 - BAB 10 : "DISKUSI"

TINGGAL sekitar dua minggu lagi, ujian tengah semester akan dilaksanakan.

Esoknya, hari pertama setelah kejadian pembunuhan salah satu sahabat ku di dalam wc kampus, setelah kemarin kampus juga di liburkan, Prayoga memencet Bel rumah ku dan Mama menyambutnya dengan ramah.

"Eh, Ka! Ini ada temen kampus mu nih di depan." Mama berseru dari depan, aku masih berada di meja makan.

"Silahkan masuk Nak Prayoga, kebetulan Dzafran lagi sarapan, mari bergabung."

"Baik, Makasih tante."

Prayoga mengikuti Mama dari belakang yang menuju ke meja makan.

"Sepertinya baru pertama kali teman kampus kamu berkunjung ke sini Ka. Oh ya, selain Alm. Agung yang sering datang kesini saat waktu sekolah."

"Dzafran ga pernah nawarin buat pergi ke rumahnya sih, Tante."

"Oh ya ? Pantas saja." Mama Tertawa

Sembari memakan roti lapis yang telah Mama siapkan, aku mendengar percakapan Prayoga dan Mama yang telah berada di meja makan. Dahiku terlipat. Ada apa Prayoga datang ke rumah ku pagi ini ? membuatku terheran. Prayoga dengan santai bilang dia sengaja menjemputku. Aku keberatan, karna aku tidak menyuruh Prayoga untuk menjemputku.

"Hati-hati ya dijalannya!" Mama berkata kepada kami.

Prayoga mengangguk pelan lalu ikut salim kepada Mama setelahku. Akupun masuk ke dalam mobil Prayoga. Aku baru tau Prayoga punya mobil, karna yang setahuku ia selalu naik motor setiap ke kampus. Aku jadi tambah bingung apa maksud Prayoga yang datang menjemputku kali ini.

"Lu ngapain jemput gua Ga ?" Aku bertanya keheranan.

Kami sudah melaju di jalanan. Mobil Prayoga berjalan sangat mulus. Mobil Prayoga termasuk mobil keluaran terbaru. "Sepertinya keluarganya baru membelikannya sebuah mobil" aku berpikir dalam hati.

"Bokap gua baru beliin mobil, itung-itung test drive lah." Prayoga justru menjawab lain.

"Urusannya ngejemput gua apaan ?"Aku tidak peduli.

Prayoga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa dan menatap kepadaku.

"Lu kayaknya ga seneng gitu gua jemput, harusnya lu seneng karena lu orang pertama yang ngerasain mobil baru gue." Prayoga berkata sambil tertawa.

Mendengar omongan Prayoga, entah kenapa aku menjadi kesal. Dahiku semakin mengekerut.

"Sebenernya alasan gua ngejemput lu karna rumah lu searah sama gua, sekalian ada yang gua penge obrolin tentang kasus Tina sama Agung." Prayoga memulai percakapan serius.

Seperti biasa, jalanan yang kami lewati macet. Walaupun mobil Prayoga masih bisa berjalan walaupun merayap. Tapi untungnya, karena jalanan macet aku dan Prayoga jadi punya waktu lebih lama untuk membicarakan tentang kasus Tina dan Agung.

"Kasus Tina dan Agung sepertinya belum menemukan titik terang dari kepolisian. Karena itu sepertinya kita juga harus nyelidikin sendiri siapa yang ngebunuh Tina dan Agung." Wajah Prayoga tampak bersemangat. Dan antusias dengan penyelidikan yang akan ia lakukan.

"Bukannya polisi juga sedang menyelidikinya ? terus kenapa kita juga harus ikutan?" Aku menyelidik.

"Karena gua sepertinya punya cukup bukti buat menyelidiki sendiri kasus ini. Lagian Tina dan Agung temen kita sendiri?" Prayoga mengangkat bahunya. "Gua sepertinya yakin bahwa pembunuh Agung adalah orang kampus. Tapi, entah itu mahasiswa atau orang pekerja di kampus. Tapi, lebih besar kemungkinannya adalah mahasiswa yang ngelakuinnya. Kenapa? Karena motif pembunuhannya mungkin akan sedikit masuk akal dibandingkan orang pekerja di kampus. Misalkan bisa aja ada salah satu mahasiswa yang ga suka dengan Agung. Mungkin karna tingkahnya di kampus atau karena ada dendam pribadi atau masalah apapun itu. Sedangkan orang pekerja di kampus, tidak mungkin mempunyai masalah dengan Agung atau mempunyai dendam pribadi. Tapi untuk kasus Tina, gua ga bisa nyimpulin itu orang yang sekampus sama kita juga atau engga karena tkp nya di luar bukan di kampus. Bisa aja orang yang ngebunuh Tina dan Agung adalah orang yang berbeda walaupun cara membunuhnya hampir sama. Tapi tidak menutup kemungkinan juga bahwa orang yang ngebunuh Tina dan Agung adalah orang yang sama." Prayoga menjelaskan dengan bersemangat, sesekali melirik ke jalan karena ia tengah mengemudi.

Aku mencerna penjelasan Prayoga. Sepertinya masuk di akal apa yang dikatakan Prayoga barusan. Entah orang ini kerasukan arwah detektif conan atau apa karena penjelasannya barusan sudah seperti seorang detektif professional saja.

"Gua ga bisa tidur semaleman, Dzaf. Terus mikirin siapa pelaku pembunuhan Tina dan Agung. Ada beberapa hal yang sedikit membuat gua bingung tapi semakin gua pikirkin semakin gua tertarik untuk menyelidikinya. Gua bersemangat banget."

"Terus kita mulai dari mana ?" Aku mulai tertarik dan mulai paham kenapa Prayoga bisa sesemangat ini ingin menyelidik kasus pembunuhan Tina dan Agung.

"Kita mulai dari kampus. Persis dimana Agung pergi ke wc." Prayoga berkata mantap.

"Yang kasus Tina, kita harus mulai dari mana ?" Tanya ku kembali.

"Kita selidiki dulu aja kasus Agung yang lebih mudah."

Tak terasa, sebentar lagi kami tiba di kampus. Setelah melewati kemacetan yang tiada hentinya. Aku kembali menatap ke luar jendela, memperhatikan jalanan seperti biasanya. Tak habis lima menit, Prayoga telah memakirkan mobilnya di halaman kampus.

Berhari-hari kemudian kami menghabiskan banyak waktu dengan memulai -menyelidiki kasus pembunuhan yang menimpa teman kami.

Di kelas, saat kami hanya berdua, Prayoga menunjukan bukti-bukti yang telah ia kumpulkan. Ia mengeluarkan sebuah catatan kecil dalam tas nya. Memperlihatkan catatan-catatan yang telah ia catat. Prayoga menjelaskan kembali bahwa kemungkinan pembunuh Agung adalah mahasiswa karena Agung dibunuh pada jam hampir tengah malam. Karena tak ada pekerja di kampus yang masih berada di sekitaran kampus pada jam sebelas malam kecuali satpam. Tapi, tidak akan mungkin seorang satpam kampus yang melakukannya karena ia berada di pos di depan halaman kampus. Melalui data yang telah di kumpulkannya itu, Prayoga yakin pembunuhnya adalah mahasiswa karena di kampus sering ada kegiatan ukm yang masih berada di kampus atau yang hanya sekedar nongkrong.

Terkadang, Bella dan Laras ikut berdiskusi dengan kami dan ikut menyelidiki juga. Sedangkan Fajar, tengah sibuk dengan pekerjaannya menjadi seorang fotografer. Kami juga terkadang membahas kasus ini di kostan, di rumah Bella sambil mengerjakan tugas bersama atau di sebuah café. Aku lebih suka membahas kasus ini bila berada di kostan atau di rumah Bella, karena lebih aman dan tidak banyak orang. Aku takut bila ada orang lain yang mendengarkan bahwa sekelompok mahasiswa sedang mencoba menyelidiki kasus pembunuhan seperti seorang detektif. Bila benar ada orang yang mendengarnya, bisa-bisa orang yang mendengarnya hanya menertawai kami.

Namun, pembahasan ini hanya bertahan seminggu. Karena kesibukan tugas dan hal lainnya yang membuat kami akhir-akhir ini jarang bertemu satu sama lain. Prayoga juga sepertinya sudah tak seantusias dulu saat pertama kali aku berbicara dengannya di dalam mobilnya waktu itu bila membahas tentang kasus Tina dan Agung.

Meskipun prayoga sudah tak seantusias waktu itu, aku tak terlalu peduli. Toh rencana penyelidikan ini semua berawal dari dia. Hanya saja, semenjak kami menyelidiki kasus ini, kasus lain muncul. Kami dibuat pusing dengan tugas bahasa inggris yang diberikan oleh dosen ku beberapa waktu lalu. Kami telah kehilangan dua anggota kelompok kami sejauh ini, yakni Tina dan Agung. Dengan anggota yang tersisa, kami harus segera menyelesaikan tugas itu.

"Gua dapetin informasi baru tentang kasus Agung, Dzaf. Setelah gua tanya-tanya orang ukm fotografi yang biasa nongkrong sampe shubuh di kampus, ternyata ada yang liat Agung masuk ke wc dan ada orang yang memakai hoodie berwarna hitam yang mengikutinya." Prayoga rusuh, pada hari kesekian menemuiku di kantin bersama Bella, dan Laras.

Aku menatap Prayoga tidak paham.

"Sekarang kita tau kalau pembunuhnya memakai jaket hoodie berwarna hitam. Sekarang kita tinggal nyari siapa di kampus ini yang punya jaket hoodie." Prayoga berseru antusias seolah prospek menemukan siapa pelaku pembunuhan seperti menemukan orang yang sedang bermain petak umpet di dalam rumah.

Aku menggeleng perlahan. Itu akan menjadi pekerjaan yang sangat sulit.

"Ga, yang punya jaket hoodie warna item di kampus ini tuh ga satu atau dua orang, mungkin semua mahasiswa disini punya jaket hoodie warna item." Aku mengeluarkan pendapatku.

"Ayolah, Dzaf. Gua yakin ga semua orang disini punya jaket hoodie warna item kok. Gua sendiri ga punya. Sekarang kita tinggal ngintai orang yang pake jaket hoodie di kampus ini, karna mungkin salah satu diantara mereka pelakunya!"

Itu adalah ide yang gila. Karena mungkin dalam sehari saja ada puluhan orang yang memakai jaket hoodie berwarna hitam di kampus ini. Andai saja perkataan Prayoga benar, kita juga gatau siapa diantara mereka yang benar menjadi pelakunya.

"Kita ngintai semua orang yang pake jaket hoodie di kampus ini? Gua sendiri aja punya jaket hoodie warna item." Aku menggeleng menolak. Yang benar saja. Itu akan membuang-buang waktu untuk melakukannya. Sedangkan kita tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan itu. Tugas bahasa inggris saja sampai sekarang belum selesai kita kerjakan.

"Tapi aku juga punya jaket hoodie warna item." Laras celetetuk berbicara.

"Kalau aku ga punya, adanya warna pink." Bella tak mau kalah ikutan bicara.

"Tuhkan, diantara kita aja udah ada dua orang yang punya jaket hoodie warna item. Terus gua harus ngintai diri gua sendiri juga gitu karena gua punya jaket hoodie warna item? Belum lagi, Laras juga punya jaket hoodie warna item, kita harus ngintai temen kita sendiri juga gitu ?" Aku menunjuk ke arah Laras sambil mengkerutkan dahiku karena menolak keras apa yang di usulkan Prayoga.

"Mungkin Fajar sependapat dengan gua." Prayoga tak kehabisan akal untuk membela usulannya. Dia bergegas menelepon Fajar, memintanya untuk datang.

Satu jam kemudian, Fajar akhirnya datang. Prayoga menjelaskan kembali apa yang menjadi usulannya kepada Fajar. Setelah Fajar selesai mendengarkan penjelasan Prayoga yang mulutnya hampir berbusa karena terus berbicara, ia menggeleng tegas.

"Kita gakan tau jawabannya sebelum mencobanya, Dzaf!" Prayoga menggerutu.

Aku tetap menggeleng. Aku tak mau menghambur-hamburkan waktuku untuk sesuatu yang tak masuk akal. Bagaimana nasibnya tugas bahasa inggris kami bila waktu kami di pakai untuk mengintai puluhan orang di kampus ini yang memakai jaket hoodie berwarna hitam ? bisa-bisa kita tak dapat nilai karena tak sempat menyelesaikan tugas bahasa inggris kami.

Kami semuanya menolak mentah-mentah saran penyelidikan yang di usulkan Prayoga.

"Dzafran benar Ga. Kita ga punya banyak waktu buat ngelakuin pengintaian itu, belum lagi tugas bahasa inggris itu tinggal dua minggu lagi." Bella mengingatkan kembali soal tugas bahasa inggris kami.

"Terus apa yang kita tunggu ? kita tinggal selesain secepatnya tugas itu jadi kita punya waktu buat ngelakuin pengintaian. Bener ga ? apa susahnya sih." Prayoga berseru ketus.

Aku menghela napas pelan. Ternyata Prayoga tak mudah menyerah. Tapi aku bersikekeh tak ingin melakukan pengintaian yang diinginkan Prayoga.

"Kita bukan anak kecil lagi, Dzaf. Mau sampe kapan kita nunggu hasil dari penyelidikan dari polisi yang sampai sekarang saja belum ada kemajuan ? Gua ngomong kaya gini karena gua tau ada peluang kalau kita ngelakuin pengintaian itu. Siapa tau kita memuahkan hasil saat di hari pertama kita ngelakuin pengingtaian dan ga perlu waktu lama seperti yang lu takutin." Prayoga kembali membujuk, pantang- menyerah.

"Kalau gitu caranya kita hanya ngandelin keberuntungan kita doang, Ga." Bella Menggeleng.

"Tapi siapa tau keberuntungan memihak kepada kita, Bel. Kita dengan cepat men-dapatkan hasil dari pengintaian kita." Prayoga tak mau kalah. "Lagipula kita bisa hanya menandai siapa orang-orang yang memakai jaket hoodie ke kampus, terus kita pilih salah satu diantara mereka yang sepertinya mencurigakan lalu kita selidikin dia atau perlu kita introgasi."

Fajar menepuk dahi. "Itu benar, bisa saja kita ngelakuin apa yang lu barusan bilang, tapi faktanya ga bakalan semudah itu, Ga. Bagaimana kalau kita sudah menandai orang-orang yang memakai jaket hoodie warna item itu, tapi diantara mereka ga ada yang bersikap mencurigakan?"

Prayoga terdiam. Aku menahan tawa karena melihat wajah Prayoga yang kesal.

Fajar benar. Bagaimana jika tak ada orang yang bersikap mencurigakan setelah kita mulai menyelidi kasus ini seperti yang diinginkan Prayoga, itu akan menjadi PR kembali untuk kita semua. Kita akan bingung bagaimana langkah selanjutnya setelah melakukan pengintaian ini atau bagaimana rasanya saat kita sia-sia melakukan pengiantaian yang telah membuang banyak waktu. Itu pasti akan terasa sakit dan akan membuat semuanya kecewa.

"Gua akan cari tahu bagaimana memecahkan pertanyaan lu, Jar." Prayoga men-jawab pendek setelah terdiam.

"Nah, kita semua jelas ga akan mau ikut pengintaian yang lu usulin sebelum lu tau jawaban atas pertanyaan si Fajar." Aku mengangkat bahu.

Semuanya mengangguk, setuju dengan ucapanku kecuali Prayoga.

Satu minggu telah terlewat tanpa terasa. Prayoga tetap belum menemukan jawaban atas pertanyaan Fajar. Kali ini aku tak berharap banyak Prayoga bisa menemukan jawaban itu dengan cepat. Lagipula kami sedang sibuk dengan mengerjakan tugas bahasa inggris kami. Kami ingin cepat-cepat menyesaikan tugas itu sebelum pada waktunya. Saat semuanya berkumpul, Prayoga juga tak sedikitpun menyinggung tentang pengintaian yang ia usulkan beberapa waktu lalu. Semuanya fokus terhadap tugas yang sedan kami kerjakan. Saat aku bosan dengan tugas yang sedang aku kerjakan, diam-diam aku berusaha mendekati Bella disaat semuanya tak melihatnya. Terkadang aku membantu Bella menyiapkan minuman atau makanan bagi teman-teman di dapur. Sekarang aku semakin sering menjemput atau mengantarkan Bella pulang ke rumah dari kampus. Semuanya berjalan lancar, seadainya Agung masih ada mungkin tidak akan berjalan selancar ini. Agung pasti akan berbuat ulah untuk mempermalukanku di depan Bella. Terkadang si kampret itu membuatku kangen dengan semua tingkah langkunya.

Aku juga beberapa kali pergi keluar dengan Bella, hanya sekedar untuk makan atau nonton ke bioskop di tengah – tengah kesibukan tugas. Dalam setiap kesempatan, aku menggenggam tangan Bella. Sepertinya Bella juga tak merasa keberatan setiap tangan ku menggenggam tangannya. Senyumannya selalu tersipu disaat aku sedang menggenggam tangannya. Membuat jantungku selalu tak beraturan saat menatapnya.

"Kamu ga akan pegang tangan aku juga disini kan ?" Bella bertanya sambil tertawa.

Aku menahan napas. Aku lupa. Bella hendak pergi ke toilet. Aku langsung melepaskan genggaman tanganku yang sedari tadi menempel dengan tangan Bella. Entah kenapa, aku sepertinya tak ingin melepaskan tangan Bella. Aku selalu ingin memegang erat tangannya dan tak ingin melepaskannya.

"Kamu ini aneh banget deh, segitunya ya ngejomblo ?" Bella menggodaku.

Aku hanya tertawa sambil melihat punggung Bella yang memasuki toilet di area bioskop.

Selain pergi berduaan dengan Bella, saat bosan, aku juga menghabiskan dengan buku pelajaran mata kuliahku. Tak bisa dipungkiri, ujian tengah semester sebentar lagi. Aku juga harus bersiap menghadapinya dengan belajar. Aku tak mau mengecewakan Mama dan Papa dengan hasil ujian ku yang jelek. Setiap kali aku membaca buku pelajarannya, itu tak bertahan lama. Lagi-lagi pandanganku berpindah ke layar- handphone ku untuk membalas pesan dari Bella. Bella juga sering menemaniku belajar sampai tengah malam. Kadang-kadang kita juga telfonan sampai lupa waktu. Mengob-rolkan apa saja yang topiknya kita sukai. Karena itu, aku semakin menyukai Bella. Lagi-lagi aku harus mengakui perkataan Agung, kalau aku memang menyukai Bella.

Yang lain juga melewati hari-hari dengan normal. Terlepas dari mengerjakan tugas bahasa inggris yang memang harus dikerjakan. Seperti halnya Fajar yang waktu lenggangnya di pakai untuk hunting foto bersama model-modelnya yang cantik. Atau Laras yang menghabiskan waktunya yoga untuk menenangkan pikirannya. Itu terbukti saat kala itu Laras mengajak kita semua untuk melakukan yoga saat libur sebelum ujian tengah semester di mulai. Sedangkan Prayoga, mungkin ia sibuk memecahkan pertanyaan Fajar yang ia berika tempo lalu.

"Kamu udah ngerjain tugas logika yang dikasih Pak Mahmud belum? Semalam koneksi internet ku putus jadi ga sempet ngerjain," tanyaku pada Bella. Hari terakhir masuk kuliah sebelum libur ujian tengah semester.

Bella mengangguk, mengeluarkan tugasnya. "Koneksi internet di rumah ku baik-baik aja ga putus."

"Tapi semua koneksi internet yang memakai universal home putus, Bel. Aku mem-baca beritanya di 'Line Today'." Laras yang juga telah duduk di sebelah Bella ikutan bicara.

"Oh ya? Tapi di rumahku tidak tuh…"

Prayoga menguap. "Ya iyalah engga, orang koneksi internet di rumah Bella berbeda operatornya sama di rumah kalian."

Bella tertawa kecil.

Melihat Prayoga, sepertinya aku tahu kalau tadi malam ia begadang semalaman. Itu terlihat dari bawah matanya yang terdapat kantung mata dan berwarna hitam. Sepertinya ia begadang untuk mencari jawaban pertanyaan Fajar waktu itu, tapi tak tahu juga sih. "Ngapain lu ngeliatin gua kaya gitu, Dzaf?" Prayoga berbicara dengan nada ketus.

"Eh, engga-engga. Kayaknya lu kurang tidur ya" Aku menjawab dengan sedikit tertawa.

"Kayaknya kebanyakan googling buat cari jawaban pertanyaan gua yah, Ga?" Fajar mengejek Prayoga.

Semuanya tertawa, Prayoga langsung memalingkan wajahnya sebal.

Beruntung hari ini kami lewati dengan cepat. Perkuliahan pun akhirnya selesai se-belum minggu depan kita akan menghadapi ujian tengah semester. Prayoga tampaknya sudah menyerah atas mencari jawaban Fajar. Terlihat dari gerak geriknya yang terlihat murung di dalam kelas dan terlihat sangat mengantuk.

Sejak hari ini pula, saat aku keluar meninggalkan kelas, aku berpikiran bahwa libur satu minggu kedepan akan kumanfaatkan dengan menghabiskan waktu untuk belajar dan pergi dengan Bella seperti beberapa hari lalu. Dan semuanya akan berjalan sesuai rencana ku sampai ujian tengah semester tiba.

Tapi, semuanya tak sesuai dugaanku.