Cahaya matahari pagi yang lembut menembus celah-celah ruangan. Tidak ada lagi suara cekcok yang akan terdengar lagi oleh Tina di setiap paginya. Ia telah berhasil meredam dan mungkin mengubah kondisi orang tuanya untuk segera berdamai. Mungkin yang terdengar sekarang adalah hanya isak tangis. Mungkin Tina sedang melihat dari jauh, betapa semua orang yang ada diruangan ini seakan tak rela melepaskannya untuk pergi jauh.?
Ibu Tina akhirnya siuman. Dia pingsan setelah mendapat kabar bahwa anaknya yang tercantik meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dia bangkit duduk, mencoba untuk menegarkan hatinya dan menerima dengan ikhlas. Walaupun air mata tak kuasa di bendung olehnya. Terlihat Ayah Tina memeluk erat istrinya. Mencoba tegar walaupun hatinya sangat terpukul.
Suasana pecah dengan air mata yang jatuh dan menetes di pipi. Semuanya terpukul atas kepergian Tina untuk selama-lamanya. Semua orang yang berada di dalam ruangan ini berduka. Bella yang suara tangisannya paling keras dari yang lain seakan tak peduli dengan yang lain. Sementara Laras berada disebelahnya terus menenangkan. Mataku tak kuasa untuk menahan air mata untuk turun.
Aku sudah mampu berdiri, melangkah mendekati jasad Tina yang tertutup kain. Aku melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Karena tak akan lagi aku bisa melihat senyumnya yang setiap pagi aku lihat. Air mataku kembali terlinang saat melihat Tina seakan tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Aku memanjatkan doa agar Tuhan memberikan tempat yang terbaiknya untuk temanku di surga sana. Aamiin.
Aku melangkah mundur kembali dengan yang lain. Kita semua terdiam hanya bisa meratapi kepergian Tina. Bella menangis terisak, juga Laras yang berada disampingnya. Namun Laras terlihat lebih tegar dibandingkan Bella. Agung hanya terdiam sambil menundukan kepalanya. Prayoga memandang terus ke arah jasad Tina. Tatapanya sangatlah tulus. Melepas kepergian Tina untuk selamanya. Fajar terdiam memaku sambil menatap langit-langit rumah. Matanya terus mengeluarkan air mata.
Bagaimana bisa ini bisa terjadi ? bukankah baru tadi malam kita semua bercanda dan tertawa bersama ? andai saja kemarin aku mengantarkannya sampai rumah. Bukan membiarkannya pulang dengan taxi online. Aku merasanya menyesal dan kesal. Aku menunduk, mencengkram tepian sofa, tidak percaya dengan yang aku lihat sekarang. Tina meninggal.
Ibu Tina terlihat terguncang batinnya, gemetar memeluk Tina yang sudah terkulai, memanggil lirih anaknya yang sudah tertidur selamanya. Dari belakang, Ayah Tina memeganginya dan menguatkannya agar tabah. Sekuat apapun Ibu Tina memanggil Tina, ia takan terbangun dari tidurnya. Ini sudah kehendak Tuhan. Segala yang hidup pasti akan mati.
Tina sudah menemani kami selama dua tahun terakhir ini. Dengan senyumnya yang khas, ia selalu menyapaku saat aku masuk kelas atau saat bertemu di kampus. Banyak sekali kenangan yang tertinggal bersamanya dan akan membekas selamanya. Yang paling anyar adalah kenangan kemarin malam saat kita semua berkumpul di rumah Bella.
"Apa yang sebenarnya terjadi saat Tina pulang ke rumah kemarin malam?" Tanyaku bergetar. Pedahal Tina memilih pulang dengan menggunakan taxi online, harusnya ia sampai didepan rumahnya dengan aman. Tapi kenyataannya, ia terbunuh dan mayatnya ditemukan di parit jalanan komplek rumahnya.
"Udah dong Bel nangisnya.., kasian Tina disana kalau ditangisin terus." Laras menenangkan Bella sambil memeluknya.
"Tapi Ras, Tina tuh temen kita! Apalagi kita kemarin malem baru aja sama-sama." Bella berkata sambil suaranya serak karena terus-terusan menangis.
"Kita semua juga sedih ko Bel dan terpukul atas kepergian Tina, tapi inilah kenyataannya. Tina teman kita udah pergi untuk selama-lamanya." Ucap Fajar yang ikut menenangkan Bella.
Nampaknya Fajar sudah berhasil tegar. Tak terlihat lagi ada air mata yang jatuh dari matanya.
"Mendingan kita banyak-banyak berdoa supaya Tina tenang di alam sana." Agung sambil mengusapkan tangannya ke wajah.
Aku menoleh ke arah Agung. Ternyata Agung juga sudah bisa tegar seperti halnya Fajar. Walaupun di matanya masih menyisakan air mata. Wajahnya sudah tak lagi menatap ke bawah seperti tadi.
Lantunan ayat suci Al-Quran mulai bergema di ruangan. Semuanya mulai membaca Surat Yasin untuk Tina. Aku tak ketinggalan ikut untuk membaca Surat Yasin. Suasana saat itu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Semuanya berduka.
Tiba-tiba Ardi muncul dan langsung dengan muka yang tak kuasa memendung tangis. Ia melihat pujaan hatinya sedang tertidur kaku. Orang-orang yang sedang membaca Surat Yasin pun terdiam mendengar tangisan Ardi yang begitu keras. Fajar yang paling dekat, langsung berusaha menenangkan Ardi.
Ardi tak kuasa melepas kekasihnya yang sudah dua tahun selalu ada disampingnya. Menemaninya saat ia senang maupun sedih. Sekarang, ia harus menerima kenyataan. Hari-harinya kelak akan terasa berat tanpa kehadiran Tina di hidupnya.
Kita semua masih berada di rumah duka. Mengikuti semua prosesnya seperti; ikut menyolatkan jenazah Tina dan mengantarkan Tina ke tempat istirahatan terakhirnya. Semuanya dilakukan secara pilu. Ibu Tina tak henti-hentinya menangisi sampai tanah terakhir menutupi liang lahat. Bunga-bunga ditaburi di atas makam Tina. Satu persatu dari keluarga Tina menaburkan Bunga. Setelah semuanya selesai, hanya tersisa Ibu, Ayah, dan Adik Tina dan kita semua.
Seakan masih tidak percaya, semua hanya bisa menatap haru makam Tina. Telah berpulang Teman kita yang tercinta, Tina Andriani untuk selama-lamanya. Selamat tinggal, semoga kau tenang di alam sana.
Tiga hari telah berlalu semenjak kepergian Tina. Suasana di kampus seakan tak berubah, masih sama seperti biasanya. Yang berbeda adalah suasana di dalam kelas. Semua teman-teman masih sangat kehilangan atas kepergian Tina. Baru tiga hari Tina meninggal, semuanya seakan merindukan Tina teramat sangat.
Ardi masih belum bisa terima sepenuhnya. Terlihat ia selalu menyendiri di kampus, terdiam dan sering melamun. Setelah dua hari ia tak masuk kuliah, baru hari ini ia kembali ngampus. Mungkin selama dua hari ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya di rumah. Menerima kenyataan pahit yang ia terima. Menyesuaikan diri terhadap situasinya yang baru. Tak akan lagi ia menerima message dari hp nya yang berasal dari kekasihnya itu.
Aku selalu menghiburnya walapun hanya sedetik Ardi untuk lupa terhadap Tina. Tapi, akan lebih parah jika Ardi tak ada yang menghiburnya. Saat ini ia sangat perlu ketenangan dari orang-orang di dekatnya. Aku selalu mengatakan untuk tidak terus-terusan menangisi Tina dan terus melanjutkan hidup. "Mungkin Tuhan terlalu sayang kepada Tina, hingga ia memanggilnya secepat ini kepangkuannya." Kata-kata itu yang selalu aku ucapkan kepada Ardi setiap saatnya. Agar Ardi lebih tabah dan kuat dalam menerima kenyataan.
Gerimis tiba-tiba muncul di tengah-tengah cuacanya yang cerah. Tiupan angin mulai terasa. Aku sedang berada di teras tangga depan gedung keseniar bersama Fajar, Prayoga dan Agung. Sambil menunggu hujan reda, kami membuka obrolan ringan tentang kejadian Tina.
"Kira-kira siapa ya yang ngebunuh Tina ?" Tanya ku penasaran.
"Gatau, tapi dari penyelidikan polisi sih Tina emang dibunuh seseorang menggunakan benda tajam. Hasil otopsi sih katanya, Tina dibunuh dengan cara ditusuk lehernya." Jawab Prayoga sambil asyik bermain game bersama Agung.
"Apa ditusuk ditusuk di leher ?" Fajar terkaget saat mendengar perkataan Prayoga.
"Iyaa katanya sih itu juga." Prayoga menjawab santai.
"Kejam banget sih itu yang ngebunuhnya, kalau gua tau nih siapa pelakunya heu gua siksa tanpa ampun." Celetuk Agung kesal.
"Ya mudah-mudah aja pelakunya cepet ketangkep sama polisi." Fajar sambil mengangkat bahunya.
"Iya semoga aja polisi cepet tangkep pelakunya, agar kita semua tau siapa pelakunya." Ucap ku.
Sekitarku hening. Hanya terdengar suara tetesan air hujan yang jatuh saat menginjak bumi. Teras setapak sudah tergenang dengan air hujan. Dedaunan tertiup angin dengan begitu mesra. Hawa dingin menyerang dengan begitu kencang. Sesekali aku harus memeluk erat tubuhku sendiri. Sambil terus berpikir siapa pelaku pembunuhan Tina. Aku menoleh saat Fajar menepak pundaku, menyodorkan sebungkus rokok. Aku mengambilnya tanpa rasa sungkan.
Kita terjebak dalam hujan yang mulai deras. Bahkan aku harus naik ke tangga yang lebih atas agar tidak terkena percikan air hujan. Kita semua melamun di sepanjang hujan berlangsung. Tak ada yang harus lagi kami bicarakan sepertinya. Tinggal menunggu kapan hujan ini akan reda.
Langit begitu gelap. Waktu menunjukan pukul tujuh malam. Tak ada secercah bintang terang yang terlihat. Aku sepertinya rindu akan sang bintang. Mungkin sang rembulan juga. Merindukan sang bintang yang selalu berada di sekelilingnya. Walaupun sains mengatakan bahwa jarak bintang berpuluh-puluh milyar kilometer jaraknya dari galaksi. Tapi bagiku, mereka seperti dalam satu garis yang saling berdekatan.
Setengah jam sudah aku dan yang lainnya terdiam menunggu hujan reda. Sampai hujan berhenti di lima belas menit kemudian.
"Sepertinya udah reda, balik yu" Ajak Fajar.
Aku sebenarnya sedang malas untuk langsung pulang ke rumah. Karena entah kenapa, aku sepertinya mulai betah berada disini. Sepertinya tak perlu waktu lama aku beradaptasi dengan lingkungan di kampusku.
Prayoga langsung menyanggupi ajakan Fajar. "Ayok Jar."
Prayoga sudah berkemas untuk segera pulang ke rumah. Sedangkan aku, masih duduk terdiam seenggan ingin pergi dari sini.
"Lu gakan balik Dzaf?" Fajar menoleh ke arahku.
"Lu kalau mau balik, duluan aja. Gua masih pengen disini, bt di rumah juga ga ada kerjaan." Aku sambil mengangkat bahu.
Fajar lalu menoleh ke arah Agung. "Lu mau balik ga Gung ?"
"Gua bentar lagi lah, kalian duluan aja." Jawab Agung sambil menoleh ke Fajar.
"Yaudah kita duluan ya." Prayoga menjulurkan tangannya.
Setelah bersalaman, Fajar dan Prayoga pun hilang dibelokan koridor.
Sekarang tinggal aku dan Agung yang masih berada di teras depan perpustakaan. Aku sempat berpikir apa alasan Agung masih ada disini dan tidak ikut pulang bersama Fajar dan Prayoga. Tapi, ada untungnya juga sih. Aku jadi ga sendirian di tengah-tengah kampus yang hampir lengang dan sangatlah sepi.
Lampu-lampu di dalam ruangan mulai di matikan oleh penjaga kampus. Semilir angin malam sudah terasa dari tadi. Karena habis hujan, suhu sekitarpun sepertinya menurun drastis dari biasanya.
"Gung ke rooftop yuk ?"
"Ngapain ?" Agung betanya dengan raut wajah bingung.
"Liat pemandangan." Aku langsung pergi meninggalkan Agung.
Tanpa harus diperintah, Agung mengikuti di belakang. Ia bahkan sempat berlari untuk mengejarku karena aku meninggalkannya sudah terlalu jauh. Sebenarnya, Agung seorang penakut. Ia takut sekali dengan yang namanya hantu. Jadi ia tak berani untuk berlama-lama di tempat yang gelap sendirian. Apalagi ia sekarang berada di gedung kampus, yang katanya kalau kampusku sedikit angker. Aku sebenarnya sudah tau gosip itu sebelum masuk ke kampusku sekarang dari temanku yang sudah lebih dulu kuliah disini. Tapi sepertinya Agung belum mengetahuinya. Kalau ia mengetahuinya, mungkin ia tak mau lagi masih berada di kampus malam-malam begini.
Lorong kampus tak terlalu terang karena lampu yang redup. Hanya menerangi setengah bagian jalan. Sehabis itu, jalan koridor sangatlah gelap. Aku menaiki tangga dengan sangat hati-hati karena kondisi gelap. Agung yang dari tadi terus memegangi bajuku berada di belakang. Saat lorong mulai gelap, tangan Agung langsung meraih bajuku. Mungkin ia takut terpisah atau sedang ketakutan.
Setelah menaiki anak tangga yang banyak. Akhirnya aku dan Agung sampai di rooftop. Rooftop sebenarnya adalah lantai ke lima dari gedung kampusku. Di atas, terhampar lahar kosong berbentuk persegi panjang. Kira-kira adalah seukuran lapangan futsal.
Benar saja dugaanku, pemandangan di atas sini sangat indah pada malam hari. Gedung-gedung tinggi itu bercahaya dan sangat indah. Jalanan juga menunjukan kecantikannya pada malam hari. Lampu sisi jalan membuatnya menjadikan ia cantik. Bulan dan bintang sudah terlihat kembali di atas langit.
Tanganku bersandar di dinding batas bangunan. Sambil melihat pemandangan kota Bandung dari atas. Mataku sepertinya tak bisa berhenti untuk menatap. Aku tak menyadarinya. Menyadari bahwa pemandangan di atas sini akan begitu indah di malam hari. Teringat kembali, kenangan yang lalu. Aku pernah menghabiskan waktu senjaku bersama Tina di atas sini. Mencoba untuk menghibur Tina yang sedang mempunyai masalah. Sepertinya teriakan Tina dulu masih terdengar jelas buatku.
Aku mendongkak ke atas, "Apakah Tina sedang berteriak di atas sana padaku ?" Tapi, mana mungkin itu terjadi. Walaupun suaranya masihlah tersimpan dengan rapih di pikiranku. Tak habis pikir, bahwa disinilah kenangan terindah yang pernah aku punya bersama Tina. Aku tersenyum karna memikirkannya.
Aku menoleh ke arah Agung. Ia sepertinya juga sedang menikmati suasana di atas sini. Ia tak henti-hentinya melihat ke penjuru arah di atas sini. Ia seakan setuju denganku bahwa pemadangan di atas sini sangatlah cantik. Mungkin tak ada yang banyak tahu tentang pemandangan di atas sini begitu menawan di mata. karena setiap aku kesini, selalu saja kosong. Hanya suara hembusan angin yang selalu menemaniku saat aku ke atas sini.
"Ko lu tau ada tempat yang kaya ginian di sini ?" Tanya Agung sambil menyikut tanganku.
"Waktu awal-awal masuk kuliah sini nih, gua hunting tempat-tempat kampus ini. Sampai akhirnya gua nemuin rooftop ini." Jawabku sambil menoleh ke arah Agung.
Lama berada di rooftop menikmati semua pemandangan yang terhampar disana, aku sampai lupa dengan sang waktu. Tak terasa aku telah dua jam berada di sini. Akupun tak sadar sudah berapa banyak puntung rokok yang aku buang. Setelah aku lihat, lebih dari lima sampai tujuh batang rokok telah aku hisap selama satu jam. Mungkin karena faktor cuaca dan hawa yang dingin yang membuatku seakan terus berturut-turut merokok.
Belum lagi ada sebuah kursi yang berada di atas, sehingga membuat suasana makin mantap untuk menikmati pemandangan di rooftop. Entah siapa yang meletakan dua buah kursi yang biasanya berada di kelas itu disini. Kursi itu aku duduki bersama Agung sekitar tiga puluh menit yang lalu.
Karena sudah terlalu malam, akhirnya aku akhiri menikmati suasana nikmat di rooftop ini . Aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Mungkin saja, Mama sedang khawatir di rumah menanti kedatanganku pulang. Sudah terbayang menu makanan apa yang ada di meja makan saat ini. Aku juga penasaran Papa udah pulang apa belum. Bila Papa sedang berada di rumah sekarang, aku bisa menebaknya. Ia pasti sedang di depan laptop mengerjakan semua kerjaannya atau berada di depan tv nonton bola.
Rasanya sudah lama aku dan keluargaku tak berkumpul bersama sampai larut malam. Membahas tentang keluarga, kerjaan Papa atau kerjaan Mama, bagaimana kuliahku? Siapa pacarku? Atau membahas tentang politik. Sepertinya itu terakhir kali tiga tahun yang lalu, sebelum Papa naik jabatan seperti sekarang. Terkadang aku juga merindukan saat-saat berkumpul bersama keluarga. Walaupun aku sudah besar tapi bukan berarti aku udah tak butuh kasih sayang lagi dari orang tuaku.
Sudah tiga tahun berlalu, Papa dan Mama serasa punya kehidupan yang baru. Papa dengan jabatan barunya, Mama dengan online shop nya, dan aku ? aku ini anak tunggal yang sedang mencari kehidupan baruku sendiri.
Aku menuruni anak tangga satu demi satu dengan hati-hati. Masih dengan kondisi yang gelap karena lampu-lamu udah pada dimatikan oleh penjaga kampus. Entah kenapa Agung jadi lebih berat dan kencang dalam memeluku. Aku jadi penasaran. Aku menoleh ke belakang, ternyata Agung masih ada di belakangku. Walau wajahnya pucat karena dia sendiri yang bilang kalau dia adalah seorang pebisnis.
Di persimpangan jalan, aku terpisah dengan Agung.
"Eh Dzaf lu balik duluan aja! Gua mau ke kamar mandi bentar, kebelet nih." Agung sambil menahan kencing, lalu ia lari menuju kamar mandi.
Tanpa berpikir panjang, Aku langsung pulang ke rumah tanpa menunggu Agung terlebih dahulu. Sesampainya di parkiran, aku langsung tak banyak bicara menghidupkan sebuah motor sport punyaku. Setelah memakai helm untuk keselamatan dan headspring untuk mendengarkan lagu yang nantinya akan menjadi teman di sepanjang perjalananku ke rumah, aku pun menancap gas sepeda motor ku.
Aku mengeluh pelan dan menutup kaca helm, "Perjalanan panjangpun kembali di mulai." Tapi, Aku bersorak di dalam hati. "Home sweet home, I'm coming."