Hari itu cuacanya cerah sekali. Langit begitu biru dibarengi gumpalan awan berwarna putih. Segelintir burung terlihat hinggap dipepohonan besar yang berada disamping lapangan. Dipertengahan bulan september, aku resmi menjadi seorang mahasiwa di salah satu sekolah tinggi swasta di Bandung. Aku bersemangat sekali dalam menjalani hari pertama menjadi seorang mahasiswa. Saat masih di rumah, aku bahkan lupa untuk sarapan karena terburu-buru ingin segera pergi ke kampus.
Waktu itu jalanan sangat macet sekali. Memang ga aneh bila di hari senin pagi, jalanan kota Bandung selalu padat. Orang yang mau pergi ke kantor, yang mau ke sekolah, yang mau beraktivitas, semuanya terbur-buru tak sabaran menunggu lampu segera berwarna hijau. Terkadang, orang-orang seperti hewan yang tak tahu aturan bila sedang dikejar-kejar oleh waktu. Begitupun aku, karena terlalu buru-buru ingin sampai ke kampus, aku hampir saja menabrak orang yang hendak menyebrang. Untung saja aku masih sempat menginjak rem. Selamatlah aku dari urusan yang bisa merepotkanku di hari yang bersejarah ini.
Setelah hampir satu jam aku berada dijalanan, akhirnya aku tiba di kampus. Kampus yang akan menjadi tempat belajar berbagai hal selama empat tahun kedepan. Aku memarkirkan sepeda motorku di area yang sudah ditentukan. Aku mendongkak kepalaku, terlihat bangunan yang megah.
"Bangunan ini akan menjadi pemandangan yang sering aku lihat mulai saat ini." Aku berbicara di dalam hati.
Aku masuk ke dalam bangunan itu. Berjalan di koridor, sambil melihat wajah-wajah yang sangatlah asing untukku. Aku mencari-cari dimana teman-teman baruku berada. "Apa mereka sudah datang ? atau aku harus menunggu datang?" Pertanyaan itu langsung muncul di dalam kepalaku. Aku terus menelusi koridor, hingga sampailah ke sebuah kantin. Aku berpikir untuk menunggu teman-temanku disana sambil memesan segelas kopi hangat.
Aku memilih meja yang berada di paling luar, agar mudah melihat bilamana ada temanku yang baru datang dari koridor. Tak lama, pesanan satu gelas kopi datang di atas mejaku. Aku meminumnya selagi hangat. Aku mengeluarkan satu bungkus rokok yang dari tadi berada di dalam saku celanaku. Entah kenapa sangatlah cocok untkuku nikmati saat ini.
Belum lima menit aku berada dikantin, tiba-tiba aku melihat Agung yang sedang berjalan di tengah koridor. Sepertinya ia baru datang. Akupun melambaikan tanganku agar Agung datang menghampiriku. Agung melihat ke arahku dan langsung bergegas berjalan menemuiku.
"Dari tadi lu Dzaf ?" Agung bertanya sambil langsung duduk di kursi yang berada di depan ku.
"Engga ko, lima belas menitan lah." Jawab ku sambil mengangkat bahu.
Rasanya senang bisa satu kampus dengan teman lama. Agung adalah temanku sewaktu SMP, sehingga aku tak perlu khawatir untuk sendirian di kampus. Sempat ada kekhawatiran dari diriku karena mungkin aku susah untuk menemukan teman dekat. Tapi setelah aku tau, Agung satu kampus denganku pada saat ospek aku jadi tak khawatir lagi.
Aku dan Agung mengobrol kesana kemari. Bicara tentang masa-masa dulu ketika berseragam putih biru, bicara tentang futsal, dan berbicara apapun yang dulu terasa menyenangkan. Yang paling seru adalah ketika mengobrol masalah pacar. Karena yang aku tau, Agung sudah lama menjomblo. Sementara aku ? akupun sama menjomblo tapi tak selama Agung.
Setelah sekitar setengah jam berada di kantin ngobrol ini itu bersama Agung, jam mata kuliah pertamapun datang. Aku dan Agung bergegas menuju ke kelas. Sesampainya di kelas, aku merasa kikuk karena aku belum mengenali semua teman kelas ku. Aku memilih kursi paling belakang. Agung tanpa diperintah duduk disebelahku. Aku melihat kesekitar. Melihat wajah-wajah yang akan aku jumpai setiap harinya selama empat tahun kedepan atau mungkin lebih.
"Selamat pagi semuanya."
Suara Pak Mul memecahkan keheningan dikelas pagi itu. Lelaki itu menyapa dengan senyuman. Dosen yang sudah cukup tua tapi masih gagah. Memakai kameja rapih dan membawa laptop yang dijinjing ditangannya.
"Sebelum kita mengalai pembelajaran, alangkah baiknya kita saling mengenal satu sama lain. Karena pribasaha mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Udah sayang eh malah pura-pura ga kenal."
Kelas seketika ramai dengan tawa. Agung di sebelahku juga ikut tertawa dengan keras. Aku menyikutnya. Karena suara tertawa Agung paling keras diantara yang lain.
Agung mengangkat bahunya. "Ada apa ?"
Ini adalah mata kuliah pertama, pelajaran Bahasa Indonesia. Aku merasa aneh kenapa dibangku kuliah masih saja belajar Bahasa Indonesia. Aku kira, aku sudah tak akan lagi berjumpa pelajaran yang sama ketika sekolah dulu. Sesi perkenalanpun di mulai. Ternyata dosen yang pandai melucu itu namanya Mulyadi Arif, sehingga dipanggil Pak Mul. Satu demi satu teman sekelasku memperkenalkan dirinya masing-masing.
Suasana kelas ricuh saat orang di bangku ke empat barisan depan memperkenalkan diri. Ia seorang wanita berparaskan cantik dan imut. Tapi bukan itu yang menjadi para lelaki dikelas menjadi ricuh. Tapi karena ukuran dadanya yang besar. Maklum, para lelaki memang semuanya otaknya agak ngeres. Namanya Tina Andriani, lulusan dari SMA elit kota Bandung. Pantas saja, gaya pakaiannya berbeda dengan wanita lain dikelas ini. Ia paham betul dengan gaya berpakaiannya dan nyentrik. Agung yang melihat Tina, langsung menyikutku sambil masih menatap Tina tanpa berkedip. Melihat Agung, aku hanya bisa tertawa kecil dan membalas sikutannya.
Sesi perkenalanpun selesai. Aku jadi tahu siapa nama-nama temanku di kelas ini. Ternyata banyak temanku yang berasal dari luar pulau Jawa. Kebanyakan datang dari Medan. Walaupun ada juga yang dari Makassar, Padang, bahkan dari pulau Kalimantan. Aku berpikir, apa alasannya mereka untuk memilih kuliah kesini. Pedahal kampus yang kupilih ini bukanlah kampus favorit di kota Bandung.
Pak Mul memulai pelajaran dengan membuka laptopnya dan menunjukan slide di power point di infocus. Berbeda dengan saat sekolah, sepertinya dosen-dosen disini lebih memilih memakai laptop sebagai media mengajar dibandingkan harus menggunakan white board.
"Bapak ingin tahu sudah sejauh mana kalian belajar Bahasa Indonesia di sekolah. Jadi Bapak akan mengadakan kuis dadakan untuk kalian." Pak Mul berkata kencang.
"Yaaaahhh….," anak-anak berseru kecewa, serempak. Termasuk Agung yang langsung lesu saat mendengarnya.
"Jangan protes." Pak Mul menggeleng. "Bapak hanya mengetest dan ingin tahu kemampuan kalian sudah sejauh mana."
Kamipun dengan teparkasa menyanggupi permintaan Pak Mul. Walaupun nampaknya, semuanya tak terima dengan harus mendapatkan kuis di awal pertemuan. Tapi mau gimana lagi, keputusan sudah dibuat dan kita tidak bisa apa-apa.
Suasana kelas sangat hening. Semuanya mengerjakan soal kuis dari Pak Mul dengan serius. Sesekali aku melirik Agung yang berada disebelahku. Nampaknya ia sedang kesulitan menjawab soal-soal dari Pak Mul. Jujur, mungkin aku sudah lebih dari tiga bulan tidak belajar. Karena sehabis kelulusan, kerjaanku hanya di rumah main game atau hanya sekedar pergi nongkrong bersama teman-temanku. Jadi disaat dihadapkan dengan soal yang sebenarnya mudah ini, otakku harus bekerja sangat keras.
Setengah jam sudah berlalu dan tiba waktunya untuk kita mengumpulkan lembar soal kuis ke depan. Sehabis kita melakukan kuis, pembelajaran biasa dilakukan. Pak Mul menerangkan apa yang harus diterangkan dengan sangat jelas. Untungnya, sesekali Pak Mul melawak ditengah-tengah ia menerangkan. Jadi tidak membuat suasana kelas terlalu beku dan bosan. Sekitar satu jam Pak Mul menerangkan, akhirnya pembelajaranpun usai.
Aku dan Agung keluar kelas untuk menuju ke kantin kembali. Lalu tiba-tiba, Fajar dan Ardi mengikutiku dari belakang. Mereka mengajak untuk ke kantin bareng. Jadilah kita berempat menuju ke kantin bersamaan.
Di kantin, kita saling mengenal dan mengakrabkan satu sama lain.
"Lu dari mana Jar ? Asli Bandung apa dari luar ?" Aku bertanya kepada Fajar.
"Asli Bandung." Fajar menjawab sambil menganggukan kepalanya.
"Kalau lu Di dari mana ?" Aku memalingkan pandanganku ke Ardi yang ada di sebelah Fajar.
���Gua dari Makassar. Lu dari mana Dzaf?"
"Gua asli Bandung."
Lalu tiba-tiba Prayoga dan Eka datang menghampiri meja kami. Meja kamipun jadi penuh dan paling berisik di kantin. Para senior yang ada di sebelah meja kami pun sesekali melirik sinis. Mungkin karena meja kami terlalu berisik dan mengganggu mereka.
Prayoga datang dari Bekasi. Karena datang dari Bekasi, ia jadi bahan ejekan karena tempat asalnya dari Bekasi. Bekasi terkenal dengan macet dan panas. Agung bahkan berkata kalau Bekasi berada diluar planet Bumi dan tak terdeteksi di google maps. Mendengar candaan Agung, semuanya pun tertawa. Sedangkan Eka dari Jogja. Nada mendok kental saat ia berbicara. Mendengar perkataanya yang gue elu dengan nada mendok jawapun membuat kita semua tertawa. Karena merasa aneh saat kita mendengarnya.
Tapi, Prayoga dan Eka sangatlah ramah dan baik. Sepertinya mereka sangat welcome terhadap orang baru. Sehingga aku dan yang lainnya tidak kesulitan untuk cepat akrab bersama mereka. Kita semua ngobrol ngelantur kemana-mana. Bahkan teman sekelas kitapun tak lepas dari bahan obrolan. Apalagi Tina, Agung yang paling semangat saat membahas tentang Tina.
"Tadi yang namanya Tina cantik ya…" Ucap Ardi.
"Iyaa apalagi itunya gede banget…" Agung berkata semangat.
"Apanya yang gede Gung ?" Aku melotot kepada Agung.
"Pipinyaa Dzaf pipinyaaa…" Agung sambil mengangkat bahu dan memalingkan pandangannya.
Panjang umur. Orang yang sedang kita bicarakan tiba-tiba muncul. Bersama dengan Sella dan yang lainnya ia menuju ke arah kami. Agung yang menyadari kedatangan Tina, menunjuk agar semuanya memperhatikan. Saat berjalan di koridor menuju ke kantin, entah berapa banyak lelaki yang memandang ke arahnya. Ia seperti pusat perhatian untuk semua orang. Wanita juga tak lepas memandangnya. Ada yang menatap biasa saja ada juga yang menatap sinis. Apalagi para senior wanita, mereka seakan benci dengan kehadiran Tina.
Harus kuakui, Tina memang berparaskan cantik. Suaranya yang cempreng membuat ia menjadi semakin lucu dan imut. Pastinya banyak lelaki yang bakalan tergila-gila kepadanya. Namun, aku sama sekali tidak tertarik untuk mendekati lebih jauh kepada Tina. Sepertinya untuk saat ini, frend zone lebih mengaysikan.
Hari demi hari aku menjadi mahasiswa di kampus ini, semakin jelas Tina banyak mencuri perhatian. Terbukti dari beberapa lelaki yang mulai mendekatinya. Baik teman sekelasku atau para senior. Semuanya seperti penasaran terhadap sosok Tina. Belum lagi kalau udah jam pulang, pasti banyak yang dengan suka rela mengantarkan Tina pulang ke rumahnya.
Tina berkpribadian sangat baik dan ramah terhadap siapapun. Ia juga sering memberikan senyumannya kepada siapapun. Sejauh ini aku belum tahu bagaimana sikap dia yang sebenarnya karena aku baru saja beberapa hari menjadi teman satu kelasnya. Di dalam kelas, nampaknya si Ardi sangat serius dalam mendekati Tina. Sikapnya sangat menunjukan kalau ia sangatlah suka kepada Tina. Teman-teman yang lainpun sudah menebaknya. Bahkan di suatu kesempatan, mereka sering diejek jika sedang terlihat bersama.
Puncaknya, setelah beberapa bulan kita semua kuliah. Saat anak-anak semua sedang pada di kantin karena matkul sudah selesai, Fajar sibuk mencari Ardi yang tak ada ditengah-tengah kita. Karena merasa ada yang aneh, aku dan Fajar kembali ke kelas untuk mencari Ardi. Ternyata, Ardi sedang berduaan dengan Tina sambil memegangi tangan Tina. Aku yang kaget dengan Fajar melihatnya, memutuskan untuk mengintip dari jendela. Melihat lebih jauh apa yang sedang mereka lakukan.
Sepertinya Ardi sedang menembak Tina untuk menjadi pacarnya. Aku dan Fajar hanya bisa menahan tawa karena melihat Ardi yang begitu gugup saat mengatakan perasaannya kepada Tina. Dari ia mengungkapkan perasaannya, Ardi seperti tiba-tiba gagap. Aku menyikut Fajar agar ia tidak berisik dan lebih bisa menahan tawanya agar tidak ketahuan oleh Ardi dan Tina. Akhirnya Tina menerima Ardi sebagai pacarnya. Ardi bersorak keras saat mendengar jawaban dari Tina. Aku dan Fajar, memutuskan untuk menghampiri mereka untuk memberikan selamat.
"Wihhh selamat yaaa yang jadiann…. PJ ni PJ." Aku berkata sambil bertepuk tangan.
"Iya nih PJ atau kalau engga ngasih gua bakalan lapor ke anak-anak biar anak-anak semua minta PJ juga." Fajar dengan nada licik berkata.
Ardi dan Tina sangat kaget saat melihat kedatangan aku dan Fajar. Apalagi saat aku bertepuk tangan memecahkan suasana romantis diantara mereka. Ardi yang paling kaget saat melihat aku dan Fajar. Ardi seperti melihat hantu saat melihat aku dan Fajar. Terbukti ia langsung melepaskan tangan Tina yang sejak tadi ia genggam. Seakan tidak terjadi apa-apa, Ardi tidak mau mengakui kalau ia sudah jadian dengan Tina. Begitupun Tina, terlihat malu-malu saat aku meminta PJ (Pajak Jadian) kepadanya.
"Udahlah Di gausah ngelak gitu, jelas-jelas gua tadi denger sendiri lu nembak Tina dan diterima, ia ga Jar ?" aku menyikut Fajar.
Fajarpun mengangguk dan masih bertepuk tangan.
"Ga sopan ya lu berdua nguping." Ardi nampak kesal kepada aku dan Fajar.
"Lagian lu gua cariin kagak ada, pedahal anak-anak semua lagi pada kumpul di kantin. Yaudah gua cari kesini deh bareng si Dzafran. Pas gua liat lagi berduaan sama si Tina, yaudah kita jadi kepo kan. Kita ga maksud nguping loh tadinya." Fajar sambil tertawa.
"Iya itu sama aja kalian berdua nguping." Ardi dengan nada kesal tapi dengan tersenyum lebar.
Aku dan Fajar hanya tertawa.
Saat itu suasana di kampus sudah mulai sepi. Hanya segelintir orang yang masih tersisa di sudut kampus. Kebetulan aku sedang berada di perpustakaan mencari buku untuk mengerjakan tugas. Aku duduk bersebalahan dengan seseorang yang memakai kacamata tebal. Sepertinya ia adalah seorang kutu buku. Walaupun istilah itu sepertinya agak kuno untuk di zaman sekarang.
Dihadapanku sekarang ada buku yang bersampul berwarna biru dan merah. Entah yang mana yang harus aku buka lebih dulu. Buku bersampul warna biru banyak dihiasi dengan ornament kamera. Sedangkan yang merah dihiasi dengan berbagai gambar pemandangan.
Beberapa jam yang lalu, dosen mata kuliah fotografi baru saja memberikan tugas untuk membuat makalah tentang atonomi kamera dan teknik-teknik fotografi. Sayangnya, makalah tersebut tidak boleh bersumber dari mbah google, harus dari buku. Sejujurnya, aku merasa kesal karena kalau saja diperbolehkan searching di google akan terasa mudah. Tapi untuk mengerjakan sebuah makalah yang semua materinya berada dibuku, itu membuatku merasa malas untuk mengerjakannya. Setidaknya, ada hal positif yang bisa aku ambil. Aku mengunjungi perpustakaan kampus. Ini pertama kalinya aku masuk ke perpustakan di kampus ku. Setelah sekian lama aku tidak membaca buku, sekarang aku dituntut untuk membaca dua buku sekaligus.
Harus kuakui, minat masyarakat Indonesia memang sangat rendah terhadap membaca. Itu aku alami sendiri. Aku lebih senang membaca sebuah komik daripada harus membaca sebuah buku tebal. Dan sudah jarang sekali orang-orang membuka buku untuk mencari referensi sebuah materi untuk mengerjakan tugas. Di era teknologi, orang-orang lebih suka yang instans dengan membuka google untuk mengetahui segala hal.
Setelah menimbang-nimbang buku mana yang akan aku baca, aku memutuskan untuk membaca buku yang bersampul warna biru terlebih dahulu. Karena pasti akan mudah dalam mencari tentang anatomi kamera. Aku membuka halaman dengan asal. Langsung terlihat didalamnya sebuah gambar kamera dengan berbagai penjelasannya. Aku baca dan lebih mempelajarinya. Walaupun, sesekali aku melihat ke sebelahku si berkacamata tebal masih ada atau tidak.
Di dalam ruangan ini hanya ada aku dan si kacamata tebal. Tak ada yang lain. Bahkan penjaga perpustakaanpun tidak ada. Mungkin sedang keluar ada urusan lain. Setidaknya, aku tak sendirian di dalam ruangan ini. Karena akan terasa seram bila aku sendirian di ruangan yang cukup luas ini.
Aku melanjutkan membaca buku yang dari tadi aku pegang. Baru juga membaca tiga buah kalimat, aku mendengar ada seseorang yang menangis. Awalnya, aku tak menghiraukannya dan seolah tidak peduli. Tapi lama kelamaan, suara itu semakin jelas terdengar ditelingaku. Buluk kuduk ku langsung terangkat. Baru saja tadi membayangkan suasana horror di ruangan ini, sekarang aku mendengar ada yang menangis.
Aku melirik si kacamata tebal. Apa ia mendengar apa yang sedang aku dengar juga atau tidak. Saat aku melirik, ternyata si kacamata tebal langsung melirik ku juga. Sepertinya ia mendengarkan juga seseorang yang sedang menangis.
"Denger suara orang yang lagi nangis ga sih ?" Aku bertanya pelan.
Si kacamata tebal hanya mengangguk pelan. Wajahnya pucat. Sepertinya ia sangat ketakutan. Aku mencoba untuk memberanikan diri melihat kebelakang. Dengan sangat hati-hati, perlahan aku gerakan kepalaku memutar arah.
"Huhf..,, syukurlaah." Aku berkata lega.
Ternyata, suara tangisan yang sedang aku dengar berasal dari meja di belakang. Jaraknya kurang lebih tiga meter dengan mejaku. Aku melihat seorang perempuan sedang tertunduk sambil menutupi wajahnya. Dari kejauhan, sepertinya aku mengenali siapa dibalik wajah itu dari bentuk badannya.
"Itu kayaknya Tina deh." Aku bekata dalam hati.
Karena penasaran, aku mencoba untuk menghampiri wanita tersebut. Aku berdiri dari kursi. Si kacamata tebal hanya menatapku. Aku melangkahkan kakiku perlahan. Suara tangisan itu masih saja terdengar lirih.
"Emmm…,, are you okey ?" Tanyaku sambil memegahi bahunya.
Merasa ada seseorang yang menghampiri, wanita tersebutpun membuka tangannya yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ia langsung menoleh ke arah ku. Benar saja tebakanku. Wanita yang sedang menangis itu, yang dari tadi suaranya merintih berat itu adalah Tina. Wajahnya seakan kaget melihatku. Tapi dari bola matanya, ada sedikit guratan ia senang melihatku. Setidaknya Tina bisa menceritakan semua bebannya kepadaku agar ia tak menanggung beban sendirian. Itupun kalau Tina berkenan.
Aku langsung duduk disebalah Tina dan mencoba untuk menenangkannya. Tanganku yang tadinya berada dibahu, sekarang sudah berpindah di belakang kepalanya. Mengusap lembut rambutnya. Sambil terus menenangkan Tina.
"Kamu kenapa Tin ? aku kira kamu hantu loh. Soalnya tadi di ruangan ini, cuman ada aku dan orang yang berkacamata tebal itu." Aku menunjuk orang yang berada di sebelah mejaku.
Tina tersenyum walaupun masih terasa berat. "Maaf udah bikin kamu takut Dzaf. Aku gapapa kok."
"Pasti ada alasannya kamu nangis sendirian di perpustakaan kaya gini. Kamu bisa cerita ke aku kalau ada masalah, siapa tau aku bisa sedikit ngebantu."
Tina hanya terdiam. Matanya lebam karena terus meneteskan air mata. Mukanya merah. Tatapannya seperti kosong. Seakan ia sedang memikirkan sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.
Aku meraih tangan Tina. Memutuskan untuk mengajaknya ke suatu tempat untuk menghiburnya. Tina hanya bisa melihatku saat aku ajak ia untuk mengikutiku keluar dari ruangan perpustakaan. Sepanjang jalan, aku tak melepaskan tangan Tina. Aku membawanya menaiki anak tangga. Aku berjalan dengan secara perlahan dan hati-hati.
Setelah melewati anak tangga yang lumayan banyak, akhirnya aku tiba di lantai paling atas gedung kampus. Aku membuka pintu yang ada di depanku. Cahaya matahari senja langsung menerpa wajahku. Tina terheran kenapa aku membawanya ke rooftop kampus. Sesampainya di atas, aku melepaskan tangan Tina. Dari atas, terlihat pemandangan jalanan dan gedung-gedung tinggi yang berada di sekitar kampusku. Terasa sangat indah dengan cahaya matahari yang mulai redup.
"Kamu kenapa bawa aku kesini ?" Tanya Tina terheran.
Aku tersenyum kepada Tina. "Coba kamu teriak deh disini."
"Teriak ?" Tina sambil memasang wajah bingung.
"Iya teriak, nih kaya aku. Aaarrrrgrrhhhhhhh...…,,," Aku berteriak dengan sangat kencang memecahkan keheningan.
Tina semakin bingung menatapku. Ia tidak mengerti apa yang sedang aku lakukan.
"Sekarang kamu coba kaya aku teriak."
"Engga ah malu tau entar kalau ada yang denger." Tina menolak tegas.
"Engga akan ada yang denger. Cepetan cobain!." Aku memaksa.
Tina hanya menatapku. Dengan masih seperti bingung, Tina akhirnya mengikuti perintahku.
"Aaarrrrrhhggggggg…..,,," Tina berteriak pelan.
"Kurang keras! Ayo yang keras!" Aku bersemangat.
Tina mencoba lagi berteriak dengan suara yang lebih keras.
"Lebih keras lagi ayo!"
"Aaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrggghhhhh...,," Tina berteriak sekuat tenanganya.
Nafasnya tersengal-sengal. Tatapannya yang tadi seperti kosong sekarang mulai berbinar. Tina tertawa pelan. Senyumnya yang sering aku lihatpun kembali tersimpul.
"Gimana udah baikan ? aku biasanya suka teriak ga jelas kalau lagi punya masalah atau sedih. Seolah masalah yang aku lagi hadapin lebih ringan setelah teriak." Aku tertawa ringan.
"Iya, terasa lebih ringan." Tina menoleh ke arah ku sambil tersenyum.
Matahari hampir tenggelam di kaki langit. Cahaya terakhirnya tipis menerabas bangunan gedung. Aku dan Tina masih menatap pemandangan yang indah ini. Dan saat cahaya terakhir matahari hilang, angin sudah mulai bertiup kencang, aku memustukan untuk kembali turun. Tina mengikuti ku di belakang.
Perjalanan menuruni anak tangga yang panjang tak dibarengi dengan obrolan. Tugasku untuk membuat Tina sedikit baikan telah aku lakukan. Setidaknya membantu teman yang sedang tertimpa masalah adalah perbuatan baik. Aku dan Tina sudah berjalan di koridor yang lengang karena sudah sepi. Di tengah koridor, Tina mulai bercerita apa yang sebenarnya sedang terjadi kepadanya.
"Akhir-akhir ini, orang tua aku sering cekcok di rumah. Setiap aku pulang kuliah, pasti ada percekcokan yang terjadi diantara mereka. Puncaknya tadi pagi, saat aku mau berangkat ke kampus Ayahku menampar Ibuku. Sepanjang kelas, aku tak bisa kosentrasi. Terus memikirkan bagaimana kondisi Ibu di rumah. Makannya tadi aku pergi ke perpus untuk nenangin diri. Tapi, entah kenapa tiba-tiba aku menangis." Tina berhenti berjalan dan tertunduk.
Aku langsung memegang bahunya. "Kamu yang sabar ya, aku turut prihatin dengan apa yang sedang terjadi di keluarga kamu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita ke aku. Jangan di pendem sendiri. Aku emang ga punya solusi untuk masalah itu, tapi seengganya aku ada disini buat dengerin kamu."
"Makasih yah Dzaf." Tina tersenyum.
"Aku anterin kamu pulang ya, udah gelap juga."
Tina hanya mengangguk pelan.