Aku rasa akhir-akhir ini Jeffio sangat dekat denganku, bahkan kemanapun aku pergi dia selalu membuntutiku layaknya seorang penguntit. Well-memang dia perlu teman, tapi apa aku harus berbangga punya teman yang mirip dengan temanku yang lain? Tentu tidak, hal ini membuatku canggung. Lagi pula Jeffio pria yang baru kukenal, wajar saja jika aku agak takut.
Tunggu, aku melihat Emily yang berlulu-lalang di perpustakaan. Tak sewajarnya dia mencari buku seperti itu, atau mungkin ia mencari sesuatu yang lain.
"Emily!" sahutku menyapanya dari jauh.
Dia tercekat membulatkan matanya. Sapaanku hanya dibalas dengan senyuman kaku, alih-alih menghampiriku. Setidaknya dia menganggap aku temannya, karena hanya aku yang mengetahui rahasia bahwa Emily memiliki penglihatan yang tak biasa dengan manusia lain pada umumnya.
"Sedang apa?" ucapku tersenyum.
Dia mengabaikan pandanganku. "Uhm-cari buku."
"Bohong, mana ada cari buku sampai liat-liat lantai gitu," ujarku menyilangkan lengan."Let's just get this straight-barangkali aku bisa bantu."
Oke, dia masih mengabaikanku. Aku baru sadar, di sebelahku ada Jeffio. Aku teringat pernyataan Emily kemarin, tak tahu ada hubungannya atau tidak-tapi aku akan mencoba menjauhkan dulu Jeffio dari hadapan Emily. Lantas aku menyuruh Jeff untuk pergi mendahuluiku ke kantin.
"Okay Em, just look at me," ucapku. "Jeffio udah aku suruh pergi."
Lima detik.
Sepuluh detik.
Dia masih mengabaikanku.
What?
Oke, jadi bukan Jeffio penyebabnya.
Sontak aku memaksa Emily berbalik dengan menarik pundaknya hingga kini menghadap ke arahku.
"Emily, please." Ujarku memelas.
Dia menghela napas dengan tatapan dinginnya.
"Okay, aku hargai kepedulianmu ini-tapi aku sedang mencari sesuatu yang gak ada hubungannya sama kamu Sam." Emily mencoba meyakinkanku untuk tidak peduli.
Aku bersikeras ingin membantunya, apapun itu. Aku rasa dia butuh teman, walaupun aku tidak tahu teman sepertiku ini rasanya lebih mirip psikopat.
"Em, aku bisa bantu kamu. Well-setidaknya biar kamu gak sendiri."
Emily mendengus kesal, aku berani taruhan pasti dia sudah menyerah karena mengabaikanku.
"Jus't shut up okay?! Cari kalung yang ada kuncinya–mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan." Sahutnya.
"Nah, gitu dong," aku mendesis pelan, menunjukkan senyuman ke arah Emily.
.
.
.
Sudah sekitar dua puluh menit mencari, tapi kalung yang Emily maksud tidak kunjung ditemukan. Malah sekarang aku yang hampir menyerah mencarinya. Aku tahu kalau Emily mencarinya begitu keras, pasti kalung itu sangatlah penting baginya. Seperti aku yang mencari Jaehyun yang tak kunjung datang kalau aku sedang diajak pergi ke rumah sakit oleh Paman Lee.
"Wait. Kenapa baru kepikiran sekarang-Mark, kita butuh Mark," ujarku. "Pasti dia tau."
"What? gak boleh ada yang tau lagi selain kamu Sam, please." Emily menolak usulku.
"Okey, aku bisa menjamin-pasti sampai malam pun kalung itu gak bakal ketemu kalau kamu gini Em,"
Dia menghela napas perlahan. "Okey fine, terserah kamu."
Akhirnya Emily setuju, lantas aku berlari mencari Mark yang biasanya ada di kelas meskipun sedang jam istirahat. Dan benar saja, Mark sedang melamun di tempat duduknya itu. Segera aku menyeret paksa Mark ke perpustakaan dan menjelaskan barang yang kami cari-cari.
"Aduh, sakit tau ditarik-tarik gini!" gumam Mark sambil mengusap-usap pergelangan tangannya yang dari tadi kutarik.
"Sorry, sebentar lagi masuk. Kita butuh bantuan kamu-ya, kalau kamu mau." Ujarku memelas.
Dan akhirnya Mark pun mengangguk, ia memang sangat baik. Hanya saja ia begitu tertutup pada orang-orang.
.
Tak sampai lima menit, dengan mudahnya kami menemukan kalung yang Emily maksud. Tentunya dengan penerawangan, tebakan, atau apalah itu yang dibicarakan Mark.
Dia hanya menanyakan kemana saja Emily pergi-dan tebakannya benar. Kalung itu berada di dalam tas Emily sendiri. Jangan tanya tanggapanku bagaimana, yang penting kalung itu sudah ketemu.
"Thanks Mark," kini Emily berani bicara kepada Mark.
"Dengan senang hati." Jawab Mark.
"Eh Em, kok gak suruh teman hantumu yang cari yah? aku baru kepikiran sekarang wkwk." Dengan santainya aku berbicara seperti itu dihadapan Mark. Tentu saja Emily memelototiku dengan tatapan kaget.
Sial, kenapa mulutku begitu elastis.
Sontak Mark menyela. "What? hantu? kamu bisa lihat hantu?"
Emily hanya bisa menghela napas alih-alih menghindar. Ya, mungkin makin aneh kalau aku beralasan bahwa itu hanya candaanku pada Emily.
Aku merasa bersalah sekarang, Emily terus ditanya-tanyai oleh Mark-mungkin tentang indra ke enamnya itu. Sampai waktu jam pelajaran pun Mark masih mewawancarai Emily, untung saja Emily tidak marah kepadaku. Ah aku lupa tidak menceritakan Mark seperti apa, ya beginilah-meskipun dia tak terlalu terbuka, tetapi sifat kepo nya menjadi-jadi ketika ada sesuatu yang menarik di hadapannya.
.
.
.
Kini saatnya pulang, sekarang aku memiliki teman untuk pulang bareng-Emily. Dan yang paling aku takutkan jika Doyoung datang tiba-tiba dan mengolok-olok Emily juga.
Benar saja, di depan sudah ada Doyoung yang menunggu kehadiranku saat ini. Tapi, anehnya Doyoung menyorotkan pandangannya ke arah Emily. Apa sekarang Emily juga yang akan menjadi korban bully nya? Kumohon, aku saja-jangan Emily.
"Emily?" tanya Doyoung.
What? Apa dugaanku benar?
"Apa?" jawab Emily dingin.
"Doy, jangan ganggu dia please!" ujarku memohon.
Alih-alih menjawab, Doyoung menarik tanganku dan Emily ke dalam kelas. Sontak aku pun kaget dan berusaha melepaskan genggamannya.
"Doy, please." Sahutku.
"Kamu bisa lihat hantu kan?" tanya Doyoung ke Emily.
Loh? Kenapa dia tau?
Ahh, pasti Mark yang memberitahunya. Aku yakin sekarang dia tak hanya orang yang kepoan, tapi mulutnya juga tak bisa menjaga rahasia.
Tapi yang aku heran, kenapa Doyoung percaya perkataan Mark? Maksudku-aku pun awalnya tidak percaya Emily bisa melihat hantu.
"Ya, dan aku tidak peduli orang percaya atau tidak." Jawab Emily ketus.
"Tidak, aku beneran percaya. Aku mau kalian bantu tolong aku!" ujar Doyoung meyakinkan kita berdua.
Aku mau mencegah Emily untuk menjawab, tapi dia mengisyaratkan untuk berbuat sebaliknya.
"Bagus kalau kamu percaya, kita bisa bantu apa?"
"What? Em, kamu gak salah?" ujarku heran.
"Pertama, aku mau minta maaf dulu ke kamu Sam. Tapi sekarang aku butuh banget bantuan, I'm serious." ucap Doyoung. "Adikku sakit, entah kenapa sakitnya ini sangat aneh. Aku udah bawa dia ke rumah sakit, tapi nihil. Nyatanya dia divonis baik-baik saja, apalagi saat dia diperiksa ke psikiater-tak ada gejala gangguan jiwa, meskipun ujungnya ia tetap diberi obat. Tapi itu tak membantu. Malah setiap hari dia makin melemah, untuk berdiri pun sangat sulit."
Aku memekik kaget mendengar penjelasan Doyoung, sekaligus bingung karena dia meminta bantuan aku dan Emily. Berbeda dengan Emily yang tampak biasa saja mendengarnya.
"Kamu lihat dulu adikku di rumah, hanya memastikan dia tidak diganggu roh jahat atau apalah itu. Dan aku juga butuh bantuan kamu Sam, karena kamu pasti pernah melewati masa-masa di rumah sakit jiwa. Bisa saja dia memiliki gejala kejiwaan yang pernah kamu alami." Jelasnya.
Rasanya aku ingin menolak, tapi dia terlihat sangat putus asa. Tentu tidak tega kami melihatnya.
"Okay, hanya melihatnya saja dan kami pergi setelah itu. Right?" ucap Emily.
Sementara aku hanya terdiam menghadapi situasi ini. Seperti sikap Doyoung yang kasar selama ini hilang, saat tahu sepeduli ini dia dengan adiknya.
.
.
.
Aku dan Emily ikut ke rumah Doyoung. Tempatnya agak jauh dari perkotaan, lebih menjorok ke hutan sebelah Selatan kota ini.
Jaehyun pasti menungguku di rumah, aku menyesal karena ikut termakan omongan Doyoung, awas saja kalau ini hanyalah prank nya menjahili aku dan Emily.
bil yang kami tumpangi terhenti di depan gerbang berdinding, seperti perumahan Korea klasik. Dan saat masuk kedalam, kami disambut oleh seorang wanita paruh baya yang kami kira itu Ibunya. Kami melihat Doyoung berbisik pada Ibunya, disusul dengan respon anggukan dari wanita itu.
Rumahnya lumayan luas, tak heran Doyoung memiliki mobil yang lumayan bagus untuk seumuran anak sekolah. Dia mengaku baru menempati rumah itu sejak dua tahun lalu. Saat masuk kami disuguhi interior ruangan yang agak kuno, bau ginseng memenuhi indra penciuman kami-rasanya menyehatkan sekali.
Sampai kami tiba di ruangan yang tertutup rapat di ujung rumah ini. Aku memekik kaget saat pintu ruangan penuh ditempeli kertas-kertas seperti jimat yang sering aku temukan di tempat-tempat suci.
Doyoung yang sedari tadi di depan-menoleh ke arahku dan Emily, menganggukan kepala berisyarat untuk bersiap melihat isi ruangan itu.
Brak...
Pintu terbuka, dan tebak apa yang ada di dalam? Seorang gadis yang duduk di kursi roda menghadap ke jendela membelakangi kami.
Saat Emily mencoba masuk ke dalam, dia mengarahkan pandangannya ke sekitar ruangan. Matanya terbelalak kaget saat melihat satu titik kosong di area ruangan itu. Tangan kanannya tertelungkup di depan mulutnya yang kini menganga, dan tangan yang satunya lagi dengan cepat menggenggam erat tanganku yang masih di ambang pintu, sepertinya ia mencoba menahan napas saking kagetnya. Baru kali ini aku melihat Emily berekspresi menakutkan seperti ini.
Tak tahu kenapa, dia ambruk seperti hilang keseimbangannya untuk berdiri. Lututnya gemetar hebat, sontak ia mundur dengan tergesa-gesa dan mendesiskan satu kalimat dari mulutnya.
.
.
.
"A-ada iblis di dekatnya."