Chereads / Skizofrenia Lee (Jaehyun - NCT) / Chapter 9 - Walkie-Talkie

Chapter 9 - Walkie-Talkie

Aku rasa ini bukan rumah, melainkan sebuah kastil yang megah. Kerap kali aku kehilangan fokus karena begitu terpukau dengan ornamen ruangan yang begitu mewah. Aku juga yakin, butuh beberapa minggu untuk menghapal seluruh denah bangunan ini.

Kami melewati beberapa lorong yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan dinding, furniture kayu antik, hiasan kaca patri, hingga aneka lampu gantung yang artistik di beberapa ruangan. Tak henti-hentinya aku dibuat kagum dengan tempat ini.

Beep-Mr. Mark pada Sam-ganti.

Beep-rasanya Emily mulai kelaparan-ganti.

Beep-bohong-ganti.

Beep-Yongie juga lapar-ganti.

"Astaga, kenapa sih mereka?" ujarku yang kini menutup telinga, "Apa benda ini bisa kumatikan saja Paman?"

Aku mendengar Paman Hyeon yang terkekeh menanggapi keributan jarak jauh kami. Saat ini kami berada di luar kastil, aku kira ruangan Paman Hyeon sengaja terpisah dengan kastil ini karena dia hanyalah seorang penjaga.

Saat kami tiba, aku teralihkan dengan suasana di dalam ruangan Paman Hyeon yang sederhana ini–begitu hangat, mungkin karena disini terdapat tungku api yang menyala. Di sebelah kanan ruangan terdapat layar monitor yang besar, mungkin pemantau cctv yang ada di dalam kastil. Tapi sayangnya Paman Hyeon mengatakan cctv di kastil ini sudah tidak pernah lagi digunakan sejak hilangnya keluarga Christ.

Blank.

"Astaga, Paman?" sahutku ketika lampu di ruangan ini padam.

Paman Hyeon mendengus kesal, "Ahh, listriknya padam lagi."

Dalam sepersekian detik, seluruh area kastil juga menjadi gelap. Sontak kami begitu khawatir pada Emily, Mark, dan Taeyong yang masih ada di dalam.

"Ah, kalian tunggu dulu disini–Paman akan membetulkan dulu listriknya di basement," ujarnya, "Kalau kalian mau, ambilah dulu makanan di meja untuk kalian. Nanti Paman segera kembali."

Aku, Doyoung, dan Jaehyun menganggukkan kepala–mengiyakan instruksi Paman Hyeon. Seketika dia pun meninggalkan kami disini, entah kemana arah perginya. Well–sekarang aku merasa canggung di hadapan Doyoung, meskipun Jaehyun ada di sampingku.

"Sam," ujar Doyoung.

"Emm?"

"Sorry,"

"K-kenapa? Tumben minta maaf."

"Emh–aku sering bully kamu. But not anymore, I'm promise," ucapnya menyilangkan jari di hadapanku.

"Umh, ya–aku terima maaf kamu," ujarku lemas.

"Rasanya aku kehilangan adikku, mungkin karena itulah aku melampiaskannya ke kamu Sam."

Aku hanya tersenyum kaku di depannya. Sekarang aku mengerti, kenapa selama ini dia bersikap kasar padaku–mungkin karena trauma adiknya yang sekarang seperti ini. Aku pun merasa trauma, pikiranku bercampur aduk saat menyadari kejadian ini benar-benar terjadi. Ah sudahlah–terlambat untukku mengelak.

Sudah beberapa menit berlalu, tapi lampu di tempat ini tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan menyala. Aku pun mencoba menyalakan walkie talkie untuk menghubungi Mark dan yang lainnya.

"Mark, apa kamu disana?" gumamku sambil menekan tombol.

"Ada jawaban?" tanya Doyoung.

Aku menggelengkan kepala, "Emh, Mark? Em? Young? Kalian bisa dengar aku?"

Okey, sekarang kekhawatiran pun muncul di benakku–apa terjadi sesuatu? Ayolah, kumohon mereka baik-baik saja.

Sepuluh menit.

Dua puluh menit.

Sial, kenapa ini masih tidak menyala? Dari tadi aku sudah berusaha berpikir positif, tapi melihat fakta yang ada–rasanya situasi ini makin membuatku khawatir. Aku pun sekarang sudah lelah mendengarkan perkataan Jaehyun yang berusaha menenangkanku.

"Apa perlu kita menyusul Paman Hyeon? Atau ke tempat Mark saja?" ujarku pada Doyoung.

Doyoung menggeleng sambil memelototiku, sepertinya dia tak kalah khawatirnya denganku saat ini. Matanya sekarang tengah mondar-mandir menatap area sekitar yang begitu mencekam.

Tak ada yang bisa aku lakukan sekarang. Well–mungkin menunggu Paman Hyeon kembali adalah satu-satunya cara agar kami tetap aman.

.

.

.

"Ah, astaga–apa aku ketiduran?" gumamku yang kini sudah setengah sadar.

Tiba-tiba Jaehyun mengarahkan segelas teh hangat ke arahku.

"Minum dulu, tadi kamu terlelap tidur–mungkin kecapean."

Aku pun meneguk teh itu dengan perlahan, ya setidaknya Paman Hyeon sudah mengizinkanku memakan makanannya di ruangan ini.

Setelah itu, aku memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan rasa pusing yang ada di kepalaku–tapi rasanya kini makin parah.

"Tunggu, kenapa aku sendiri? Doyoung mana?" tanyaku ke arah Jaehyun.

Dia hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu. Sementara keadaan disini masih sama gelapnya seperti tadi, ya mungkin di sini tidak terlalu gelap karena ada cahaya dari tungku api–dan lagi pula ada Jaehyun juga yang menemaniku.

"Apa mungkin dia ke ruangan Mark?" tanyaku pada Jaehyun.

Dia pun menggelengkan kepalanya lagi. Aneh, kenapa dia tidak tahu? Suasana disini pun terasa makin dingin, kobaran api di tungku makin mengecil. Aku mulai menyisiri area sekitar karena merasa bosan, sementara Jaehyun bergerak ke arah perabotan di sudut yang bersebrangan denganku saat ini.

Aku melihat walkie talkie yang tergeletak di dekat jendela. Aku tidak ingat kenapa itu bisa berada disini? Seingatku, terakhir kali aku pakai untuk menghubungi Mark yang masih ada di kastil.

Apa aku coba menghubunginya lagi?

Tombol walkie talkie mulai kutekan, disusul suara beep yang terdengar melemah–mungkin baterai nya mulai habis.

"Mark? Apa kamu bisa dengar aku?"

Beep-ahh ini Mark...Sam, kenapa lama sekali? Disini gelap, kami takut.

Ah syukurlah mereka baik-baik saja.

"Mark, apa Doyoung ada di sana?"

Beep-tidak, kenapa?

Apa? Okey, perasaanku mulai tidak enak. Lantas apa Doyoung menyusul Paman Hyeon membenarkan saluran listrik?

"Ah, tidak ada apa-apa Mark. Mungkin saja Doyoung ikut dengan Paman Hyeon membetulkan listrik."

Beep-maksudmu kamu sendiri sekarang?

"I-iya," ujarku. Karena percuma aku bilang tidak, mungkin Mark tidak bisa menganggap Jaehyun ada.

Beep-Sam, ada yang an—h yang kami temuk— disini.

"Apa?"

Well–mungkin sebentar lagi benda ini tidak akan berfungsi. Sepertinya baterainya semakin menipis.

Beep-kami menem—kan foto Julia dan Jung—

"Hah? Mark? Hallo?"

Sebentar, apa dia bilang–Jung? Jung Jaehyun? Ahh tidak mungkin, dia khayalanku.

Orang bermarga Jung yang ku kenal hanya Jung Jaehyun dan...

Jung Jeffio–apa dia yang dimaksud Mark?

Beep-Sam?

"Ahh Mark! Apa kau bisa dengar a-"

"Argh..."

Aku menoleh pada Jaehyun yang bersuara di belakang sana. Mungkin dia sedang bermain-main dengan sesuatu.

Beep-Sam, siapa itu?

"Ah, tidak ada apa-apa."

Tunggu.

Apa Mark bisa dengar Jaehyun?

Seharusnya tidak.

"Mark?"

Apa berarti dia bukan Jaehyun?

Lantas, apa di belakangku ini...

Jeffio?

Saat aku menoleh ke belakang, orang itu berdiri disana–terlihat Jaehyun yang berbeda, tatapannya itu begitu mengintimidasi.

"Ada apa?" tanyanya.

Tenggorokanku memekik ketika akan menjawab pertanyaan itu, rasanya kedua pundakku menegang saat dia mendekat.

"Jaehyun?"

"Apa?"

Dia tersenyun dingin, sepertinya dia menyadari saat ini aku sudah tahu kalau itu bukan Jaehyun.

Aku mendekatkan diri ke arah pintu dan berusaha bersikap biasa saja. Tapi aku lihat dia makin mendekat dengan sesuatu di tangannya. Sayangnya sekarang terlalu gelap untuk aku tahu itu apa.

Aku semakin takut, kemana Jaehyun? Apa dia juga meninggalkanku?

Saat dia semakin dekat...

Beep-SAM...INI MARK, HATI-HATILAH JIKA BERTEMU DENGAN JEFFIO-

Sial...

BLAR

Seketika lampu menyala kembali. Kami mengerjapkan mata berkali-kali berusaha menyesuaikan diri setelah mati lampu berjam-jam. Saat dia lengah, aku berusaha untuk berlari ke luar ruangan.

"Mau kemana kau bodoh!?" teriak Jeffio.

Aku tidak berani menoleh, terdengar derap kaki yang semakin cepat di belakang sana. Aku berusaha meraih pintu kastil yang sekarang tidak jauh di depan mataku.

Saat aku menoleh, ternyata Jeffio sudah semakin dekat. Lantas aku menambah kecepatan lariku sebisa mungkin.

"Berhenti kau jalang!"

Baguslah, sekarang dia mengumpat kepadaku. Aku semakin yakin kalau dia bukan Jaehyun.

Aku mendorong pintu dengan sekuat tenaga agar terbuka, dan dengan cepat untuk menutupnya kembali.

Brug...

Akhirnya aku berhasil ke dalam dan mengunci pintu. Napasku terengah-engah seperti sedang sekarat.

Lima detik.

Sepuluh detik.

Gep.

Astaga, ada yang membekam mulutku dari belakang.