"Aduh. Sakit tau," aku mendengus kesal ketika ada seseorang yang menarik paksa lenganku. Itu Emily Lee, salah satu teman sekolahku. Dia juga salah satu temanku yang berdarah campuran, terlihat sari sorot matanya yang berbeda dari kebanyakan orang Korea.
Honestly, dia selalu dicap aneh oleh orang lain. Tingkahnya yang misterius membuat dirinya jarang diketahui oleh siswa lain. Well–dia selalu berjalan sendiri, tidak bergaul dengan siapapun, dan yang menjadi ciri khasnya–dia selalu memakai earphone yang tertanam di kedua telinganya.
Jangan katakan dia serupa denganku. Mungkin marganya sama, tetapi aku punya teman–sementara dia tidak.
"Sam, maaf–tapi aku harus nanyain ini ke kamu. Well–gak penting sebenernya, tapi kamu udah kenal lama dengan murid baru itu?" tanya Emily.
"Emh, enggak–maksudku, kejadian tadi hanya kesalahpahaman. Aku baru kenal dia." Tukasku.
"Apa? Ouh, ya–thanks," ucapnya. "Sorry ngagetin."
Sontak aku curiga dengan tingkahnya itu, ekspresinya seperti menunjukkan kekecewaan.
"Ada apa? kalau aku boleh tau," ujarku. "Kamu s-suka dia?"
"WHAT? BIG NO!!!"
"Just ask, jadi apa sebenernya?" tanyaku.
"Gak, serius ini gak penting," ucapnya. "Udahlah, aku ke kelas dulu."
Dahiku mengkerut, yang ia jawab itu makin membuatku penasaran. "Okay, I'll tell him if you don't tell me!." Sengaja aku mengancamnya.
"Ew, oke–lagi pula pasti kamu gak percaya." jawabnya.
Jawaban itu mengecewakan, dia sama sekali tidak terancam. Baguslah, setidaknya aku tahu apa yang ia maksudkan.
"Apa?"tanyaku.
"Aku lihat ada aura aneh di dekat murid baru itu, siapa tadi namanya? Jeffio yah. Ya pokoknya itu. That's all-okay?!" sahutnya berbisik ditelingaku.
Tak tahu kenapa aku merinding mendengarnya. Sebenarnya apa maksud Emily? Dia membicarakan itu seolah-olah sudah biasa terjadi pada orang-orang.
"See? kamu gak percaya kan?" ujarnya mencibir.
"Kamu itu apa?" well, pertanyaan bodoh terlintas di kepalaku.
"Indigo, mungkin itu istilah yang pas." tukasnya santai.
Mataku terbelalak kaget. "What? K-kamu bisa lihat—"
"Hantu, yes I do," ucapannya perlahan di telingaku. "Mereka temanku. Just in case kalau kamu gak percaya aku."
Aku mendorong pelan pundaknya menjauh, seketika rasa takutku mulai memuncak. Perkiraanku salah, dia punya teman lebih banyak dari manusia di sekelilingnya.
.
.
.
Well, hari ini aku menemukan beberapa fakta bahwa ada temanku yang bisa melihat hantu, dan ada dua temanku yang mirip–maksudku Jung Jaehyun dan Jung Jeffio.
Lonceng pulang pun bergema di sekeliling koridor sekolah. Aku heran, mengapa sekolah sepopuler ini masih menggunakan lonceng manual yang harus dipukul dengan keras. Dan pihak sekolah menjadikannya itu ciri khas, tidak–maksudku hanya Pak Kim yang menganggapnya seperti itu.
"Oh Shit." Gumamku tercekat melihat Doyoung berjalan mendekatiku dari arah koridor Selatan.
Apalagi yang ia akan lakukan kalau bukan membully diriku saat ini. Semakin dekat dia semakin menakutkan dengan senyum sinisnya itu. Apalagi tampilannya yang berlagak seperti berandal membuatku makin takut. Memang inilah rutinitas yang sering aku alami ketika hendak pulang sekolah. Setidaknya aku hanya perlu bertahan sampai nanti di rumah Jaehyun yang akan menghiburku.
"Aww," aku merengek kesakitan saat tangan Doyoung memegang paksa pergelangan tanganku. "Lepas Doy, kali ini saja."
"Gak segampang itu, lo itu cantik tapi sayangnya agak gila Sam," gumamnya mendekati wajahnya ke hadapan wajahku. "Tahu gak? Gue mau jujur. Awalnya gue suka sama lo–tapi sejak tau lo gini, gue nyesel. Jadi, lo harus tanggung jawab oke?"
Aku memejamkan mata alih-alih menjawab. Tiba-tiba terlihat seorang laki-laki tengah berdiri di ujung koridor, dia Jaehyun—ahh mungkin juga itu Jeffio. Aku keliru.
Pandangan Doyoung mengikuti arah kedua netraku, pandangannya juga mengarah ke arah Jeffio. Perlahan dia melepaskan genggamannya, menjauhkan diri dari hadapanku. Terdengar umpatan pelan keluar dari mulut Doyoung saat ia pergi, mungkin saat ini dia pun punya rasa malu di depan orang lain.
Jujur aku pun merasa takut dengan tatapan Jeffio yang tajam, rasanya tatapanya itu mengintimidasi. Dia mendekat dengan perlahan. Tak tahu kenapa aku hanya bisa diam menunggunya mendekat.
"Gak apa-apa?" tanyanya.
"Oh umh–enggak kok. Thanks,"jawabku. "Mau pulang?"
Dia tersenyum seolah tatapan tajamnya tadi menghilang, bahkan senyumnya itu lebih lembut dari senyuman Jaehyun.
"Iya, duluan Sam." Jawabnya mendahului aku yang masih terdiam.
Oke, aku mungkin keliru. Tapi jantungku berdebar makin cepat seolah akan berhenti tiba-tiba. Rasanya ini tak biasa, bahkan Jaehyun pun tak pernah membuat aku merasa seperti ini.
.
.
.
"Hai," sapaku. "Kangen gak?"
Terlihat dia selalu duduk di sudut kamarku, aku bingung tak tahu kenapa. Sontak ia berdiri, mendekat dan memelukku. Rasanya aku kembali aman di rumah, karena ada Jaehyun yang menemaniku. Bahkan Paman Lee pun tidak tahu aku menyelundupkan seorang pria di kamarku selama ini. Terakhir kali ia bertemu denganku minggu lalu, mungkin pekerjaannya sangat berat sampai harus pergi ke luar kota. Dia seorang asisten di kepolisian, aku pun tidak terlalu paham tugas dari pekerjaannya itu.
"Kamu tau? ada seseorang yang mirip denganmu di sekolah tadi. Namanya Jeffio, marganya juga sama denganmu. Malah aku berpikir awalnya itu kamu yang datang ke sekolah."
"Jangan bermain dengannya, dia aneh." Jawab Jaehyun cemberut.
Aku melepaskan pelukannya. "Kamu percaya hantu Jae?"
Dia mengernyitkan alisnya. "Kenapa?"
"Temanku ada yang bisa melihat hantu, Emily"
"Kalau kamu percaya Emily, kamu juga akan percaya hantu itu ada." Jawabnya lugas.
Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap perkataan Jaehyun itu sangat bermakna. Seperti itu adalah jalan keluar dari semua permasalahan-permasalahanku saat ini. Hanya satu yang aku belum yakin, bagaimana masalahku dengan Doyoung terpecahkan.
Aku biasanya mengajak Jaehyun untuk bermain, entah itu membedah suatu jurnal–atau menemukan misteri-misteri dalam buku kuno yang aku temukan di perpustakaan. Yah, itulah caraku bermain dengan Jaehyun. Tapi hal itu akan sangat asing lagi ketika Paman Lee datang, pasalnya dia akan memaksaku meminum pil yang membuat Jaehyun menjauh. Bahkan pil itu akan dia masukkan kedalam makanan atau minuman agar aku bisa tetap menelan pil nya. Sebenarnya aku pun disuruh untuk memakannya sekarang, tapi aku tidak mau. Bagaimana jika aku kesepian lagi kalau tidak ada Jaehyun.
.
.
.
"Brengsek, kemana perginya kunci mobil gue?"
Itu pasti Doyoung, bergumam seharian karena kehilangan sesuatu.
"Kenapa dia?" tanya Jeffio.
Aku mendecak kesal "Kebiasaan, dia ceroboh–pasti sebentar lagi nyalahin orang-orang."
"Coba saranin dia cari di atas loker" ujar Mark mengampiri Jeffio.
Alih-alih Jeffio menolak, malah ia mengiyakan saran dari Mark.
"Hey, udah cari di atas loker?" sahutnya ke arah Doyoung.
Doyoung bergegas ke arah tempat loker yang tingginya setara dengan tinggi badanku.
"Wah, ketemu," sontak Doyoung berdecak kagum "Thanks Jeff!"
"Mark yang nyaranin, bukan gue." Ujar Jeff.
Aku juga sebenarnya tidak heran, beberapa waktu yang lalu–Mark juga menemukan gelang milik Bu Anita, yang ternyata ada di salah satu lemari buku dari sekian banyaknya lemari di perpustakaan. Hebat bukan? Dia seperti seorang peramal. Kemampuannya itu mungkin bisa aku manfaatkan jika aku kehilangan sesuatu.