Mobil van yang mengantarkan pesanan milik klan Kartanegara telah sampai.
Tepat dihadapan Satria terdapat rumah besar dan megah, berdiri di sebidang tanah yang cukup luas.
Berbeda dengan rumah yang ada disekitarnya, rumah ini memiliki kesan yang artistik. rumah itu adalah kediamana milik klan Kartanegara.
Ketika Satria masuk ke dalam kediaman megah tersebut, baru saja membuka pagar terbentang halaman luas yang ditumbuhi tanaman merambat dan semak-semak yang dipotong dengan indah nan cantik.
Seorang seniman mungkin dipekerjakan untuk mendesain dan mempercantik halaman kediaman Kartanegara.
Sasha memarkirkan kendaraannya di tempat parkir yang sudah disediakan.
Seperti yang Satria duga dia memiliki kemampuan mengemudi yang bisa dibilang mahir, dengan mulus dia memarkirkan kendaraan milik madam di tempat yang tepat.
Satria dan Sasha keluar dari mobil van tersebut sambil memandang kediaman yang luas tersebut.
"Berapa kali pun aku datang kesini tempat ini memang menakjubkan."
"Begitukah, aku senang mendengarnya darimu."
Dewa menanggapi pujian yang keluar dari mulut Satria saat dia sedang memandang kediaman miliknya.
Di tempat inilah Karza bersaudara tumbuh dan juga tempat Satria tinggal setelah mengalami kejadian tersebut.
Sasha membuka bagasi belakang mobil van milik tokonya dan mengeluarkan pesanan milik Kartanegara.
Dengan tangan mungilnya dia mengangkat kotak-kotak yang berisikan jimat tersebut, beratnya kotak itu membuat Sasha hampir melepaskannya dan membuat kota itu terjatuh.
Beruntung Satria sigap dan menahan kotak yang hampir jatuh itu.
"Biarkan aku saja yang mengangkat kotak besar ini."
Satria mengambil kotak yang Sasha bawa.
"Te-terimakasih."
Menghadap ke arah Dewa berada, Satria berkata kepadanya sambil membawa kotak berat ini.
"Dewa dimana aku harus menaruh ini!."
"Taruh saja di gudang seperti biasanya, ah biarkan aku yang melakukan pembayarannya. Sasha bisa ikut sebentar, aku harus menaruh barang-barangku dulu."
Sasha memandang Satria, kemudian dia.
"Kau ikut saja bersamanya Sasha, biarkan aku yang mengurus ini."
"Aku mengerti, maaf sudah merepotkanmu."
Sasha pergi bersama Dewa untuk melanjutkan pembayaran atas barang yang dia pesan, sedangkan Satria sibuk dengan urusannya membawa kotak-kotak ini ke gudang.
Ternyata banyak sekali pesanan yang mereka pesan, padahal Satria yakin jika jimat yang sudah digunakan sebelumnya sudah berkurang drastis tapi ternyata tidak.
--Mungkin saja ini persediaan bulanan mereka, dasar bangsawan sialan--
Akhirnya semua kotak pesanan mereka sudah teramankan oleh Satria, dia kembali ke pintu utama untuk bertemu dengan Dewa dan Sasha.
Dia mencari jalan lain agar bisa lebih cepat, Satria memutuskan untuk melewati sasana milik Kartanegara.
Pada saat itu juga Satria tidak sengaja bertemu dengan seseorang yang sedang berlatih di sasana tersebut.
Seorang gadis cantik sedang menarik busur panah miliknya.
Kefokusan untuk menempatkan anak panahnya tepat pada sasaran dari jarak yang cukup jauh. Begitu tenang dan anggun itulah kata yang mencerminkan dirinya saat ini. Gadis itu benar-benar sangat anggun ketika memainkan keahliannya sebagai pemanah profesional.
Anak panah itu meluncur dengan derasnya mengenai titik pusat dari sasaran yang sudah dipersiapkan.
Dari 3 tembakan beruntun yang dia lakukan kesemuanya mengenai target yang dia tandai, benar-benar kemampuan yang hebat.
Jika ada kompetisi memanah profesional saat ini juga mungkin saja dia bisa mendapat predikat juara 1 dengan kemampuannya meskipun pertama kali bertanding.
Gadis itu menghela napas panjang, dia sadar bahwa ada seorang pemuda tanpa permisi datang ke dojonya yang dari tadi memperhatikan dirinya dengan mata mesum.
"Bisakah kau hentikan tatapan mesummu padaku, itu menjijikan sekali, Satria bodoh."
"Eh melihat saja tidak boleh. Dan jangan kau sebut tatapan mesum, aku hanya melihatmu seperti biasanya, Anjani."
Gadis yang Satria maksud adalah putri kedua dari klan Kartanegara yang bernama Anjani Karza.
"Melihat boleh tapi tatapan menjijikanmu itu yang membuat najis."
Anjani mengambil anak panah dan menembakkannya lagi.
Untuk kali ini dia tidak bisa fokus karena keberadaan seorang penganggu, kakinya geregetan untuk menendang orang itu menjauh darinya.
Kerutan wajah Anjani semakin banyak, dia sudah mencapai batas kesabarannya. Akhirnya emosinya meledak, dia tidak bersemangat latihan jika kondisinya seperti itu terus.
Dia menaruh busur panahnya..
"Aku sudah selesai kau bisa keluar sekarang."
"Tidak sopan mengusir temanmu sendiri. "
"Itu karena kau sangat mengganggu, dasar bodoh."
Sifat yang bertolak belakang dengan Dewa yang ramah, saudara yang satu ini entah mengapa memiliki sifat yang buruk dan kasar.
Meski dengan rambut ponytailnya dia terlihat cukup manis, tapi sikapnya yang agak kasar itu menurunkan standar kecantikannya menurut Satria pribadi.
Lekuk tubuh yang proposional memang membedakan mereka dengan yang lain, apakah seluruh keluarga ini memiliki gen kecantikan di dalam diri mereka.
Kalau memang begitu mungkin Satria perlu untuk mendapatkan gen tersebut.
"Jadi ada urusan apa kau kesini, Satria bodoh."
"Kasar sekali aku hanya datang membawa pesananmu dari madam."
"Tunggu, kenapa madam harus repot-repot mempekerjakan orang seperti dirimu ini, mungkin saja semua jimat pesananku sudah terkontaminasi zat yang berbahaya."
"Mulutmu memang tidak bisa berkata baik tentangku ya."
"Memang karena pada dasarnya perilaku memang buruk."
Mendengar dirinya dari tadi di hina terus menerus membuatnya Satria ingin membalas seluruh umpatan kasar yang selalu Anjani lontarkan terhadap dirinya.
"Baik baik aku mengerti dasar cewek jutek. Padahal kau lebih muda dariku tapi sikap congkak dan kasarmu benar-benar menyebalkan. Setidaknya hormati orang yang lebih tua darimu itu etika yang sopan. Kau ini benar-benar berbeda dengan Dewa yang ramah dan sopan. Lain denganmu yang dari dulu selalu bersikap kasar padaku, mungkin saja kau bukan anggota keluarga."
Lontaran hinaan yang keluar dari mulut Satria membuat wajah Anjani merah padam, perempuan itu tipikal manusia yang mudah berubah emosinya.
Dengan hinaan yang keluar dari Satria seketika itu juga kaki Anjani langsung menendang pergelangan kaki hingga Satria terjatuh.
"Hey hey serangan fisik itu dilarang."
"Biarkan saja tidak ada aturan yang melarang itu, Satria bodoh."
"Tsk, dasar cewek lacur."
Kerutan Anjani semakin banyak ketika mendengar kata-kata itu, dia semakin marah dengan hinaan yang sangat vulgar.
Terutama kata lacur yang mengidentikan bahwa dia adalah cewek murahan yang doyan hedon.
Melihat murka Anjani, dan untuk menghindar dari amukannya Satria menaikkan kakinya lalu melakukan backhead.
Kemudian dia lari menjauh dari Anjani.
Pikirnya dia bisa lolos tapi dia sudah membangunkan singa yang tertidur, dengan cepat Anjani berlari mengejar Satria meski napas Anjani sudah mencapai batas. Dalam hal atletik Anjani tidak bisa mengalahkan Satria yang notabennya adalah seorang atletik dengan tubuh prima miliknya.
Tidak kuat berlari lagi, Anjani menundukan kepalanya sambil memegang lututnya.
Satria khawatir dengan kondisi Anjani, dia menghampirinya dan saat itu juga lengan kiri Satria di putar searah jarum jam kemudian dia di banting hingga terdengar bunyi tulang yang retak dibagian tulang punggungnya.
"I-itu curang, padahal aku khawatir padamu."
"Siapa suruh untuk percaya dengan kebohongan cewek, dasar cowok lemah."
Kepala yang terbentur keras dikarenakan bantingan dari Anjani membuat mata Satria berkunang-kunang.
"Kalian berdua sedang ngapain?."
Tanya Dewa yang tidak terkejut dengan apa yang barusan terjadi.
"Dewa tolong hukum cewek itu, dia sudah melukai sahabat baikmu."
"Jangan dengarkan dia Dewa, ini semua salahnya karena sudah membuatku marah."
"Kalian berdua selalu saja akrab sejak kecil."
"Akrab dari mananya!!." 2x
Dewa mengulurkan tangannya untuk membantu Satria berdiri.
"Kamu bisa berdiri Satria."
"Ah iya terimakasih. Apa urusanmu dengan Sasha sudah selesai, dimana dia sekarang?."
Sasha nama seorang cewek, telinga Anjani mendengar sangat jelas ketika Satria menyebutkan nama seorang cewek.
Dia merasa harus mendengarkan lebih jauh tentang cewek bernama Sasha.
"Hey, Satria bodoh kau kesini sama siapa?."
"Kenapa kau mendadak bertanya begitu?."
"Bukan apa-apa, jawab saja pertanyaanku."
Saat mengatakan itu dia tidak berani melihat mata Satria.
"Aku bersama dengan keponakan madam yang bernama Sasha."
"Heh benarkah, seperti apa dia, maksudnya ciri-cirinya?."
"Dia gadis berambut pendek, kurang lebih seperti itu. Lantas untuk apa kau ingin tahu segala."
"Sudah kubilang bukan apa-apa."
Dewa hanya bisa tersenyum melihat tingkah adiknya itu.
Orang yang daritadi mereka berdua bicarakan tiba-tiba muncul.
"Daritadi aku mencarimu bang Satria, darimana saja kau. Pembayarannya sudah selesai, kita harus pergi sekarang."
Kontak mata terjalin antara Sasha dan Anjani, entah kenapa Sasha merasakan aura intimidasi dari Anjani yang daritadi melihatnya dengan tatapan serius.
"Baiklah, kalau begitu sampai jumpa Dewa dan Anjani, aku masih memiliki pekerjaan lain."
"Tetaplah semangat Satria, aku bersamamu."
"Hentikan itu, kau menjijikan Dewa."
Satria keluar dari kediaman dan masuk ke dalam mobil van yang sudah terparkir.
Tanpa berbasa-basi Satria dan Sasha pergi meninggalkan kediaman Kartanegara.
***
2 orang pejalan kaki menyusuri jalanan Pegunungan Sewu.
Pengunungan yang terbentang memanjang di sepanjang pantai selatan memberikan kesan yang artistik yang tidak dapat dibandingkan dengan pengunungan lain.
Kedua orang itu terlihat sedang mengobrol sesuatu saat mereka berjalan.
"Malam ini kita akan mencari banyak batu kapur untuk dijual."
"Haruskah kita berangkat sekarang, aku masih mengantuk dan hari masih malam."
"Karena itulah kita harus berangkat sekarang sebelum banyak penambang lain datang mencari batu kapur seperti kita."
"Woahhh, aku benar-benar mengantuk."
Orang pertama memberikan kopi kalengan untuk orang kedua.
"Ini minumlah kopi ini, jangan ketiduran setelah minum ini ya."
"Ah, terimakasih mungkin ini bisa menghilangkan kantukku."
Kedua penambang ini menyusuri jalanan setapak yang menuntun mereka untuk sampai ke Pegunungan Sewu.
Saat mereka ada disana, sebuah kejadian aneh telah terjadi.
Kemunculan reruntuhan kuno di kaki gunung membuat mereka mengigit jari mereka.
"A-apa itu...?."
"A-aku juga tidak tau..."
Kedua orang tersebut kaget hingga tidak sadar jika mereka terjatuh.
Tidak ada niatan sedikitpun bagi mereka untuk terlibat dengan hal-hal yang aneh, tapi mau bagaimana lagi mereka harus merasakannya.
Reruntuhan yang muncul tiba-tiba membuat siapapun akan merasakan kepanikan.
"K-kita harus melaporkan ini kepada kades."
"Aku setuju, aku merasakan firasat buruk bila kita tetap disini."
Suatu hal yang gawat mungkin akan menjadi petaka bagi warga yang ada di wilayah tersebut.