"Kau semakin tampak dewasa, Satria."
"Kupikir karena termakan usia aku terlihat semakin dewasa."
Percakapan antara Satria dan Arya yang sedang duduk bersama dalam satu taksi.
"Ini pertama kalinya aku bisa bertemu dengan dukun dari klan Majapahit, mereka terkenal sebagai klan terkuat untuk posisi saat ini."
Kata Arya yang sedang memuji kekuatan dukun dari klan Majapahit.
"Benarkah, aku tidak tidak tau tentang itu."
"Kau ini tidak mudah tertarik akan sesuatu ya."
"Yap dan begitulah cara hidupku sampai saat ini."
***
Mereka berdua telah sampai di tempat tujuan.
Terlihat banyak dukun yang berkumpul di halaman utama.
Berbagai dukun dari klan yang berbeda datang menerima undangan dari klan Majapahit untuk berpartisipasi dalam ekspedisi kali ini.
Dari kerumunan itu terlihat dua orang yang menarik perhatian Satria, dia langsung menghampiri kedua orang tersebut dengan menarik bahu mereka.
"Tak kusangka kita bisa bertemu kembali, pencuri dompet."
Kedua orang itu langsung menoleh saat Satria mengatakan hal itu.
"Ya ampun kurasa anda salah orang, aku belum pernah bertemu denganmu."
"Tidak aku yakin sekali kita sudah pernah bertemu, nyonya Manna. Bahkan riasan wajah dan pakaianmu masih membekas jelas dalam ingatanku karena kita belum berpisah belum lama ini."
Saat Satria mengakhiri ucapannya, sebuah tendangan bebas menyerang wajah Satria.
Sayang sekali karena dia berhadapan dengan Satria yang mempunyai refleks cepat, dengan mudah Satria menangkap tendangan bebas dengan tangannya.
"Terlalu mudah bahkan ini tidak bisa dianggap sebuah serangan."
Kaki Sutri tergenggam erat oleh Satria, terlihat dia tidak mau melepas kaki mungil ini.
Cengkraman tangan Satria semakin keras hingga bisa meretakkan tulang betis Sutri, dia menggunakan kaki satunya untuk kembali menyerang Satria.
Sama seperti sebelumnya, Satria hanya memindahkan kepalanya dan serangan itu tidak mengenainya untuk kedua kalinya.
Karena merasa kasihan Satria melepaskan cengkraman tangannya dari kaki Sutri.
"Kalian berdua juga dukun, sebenarnya aku tidak terlalu terkejut karena tujuan kita sama. Aku ingin melupakan masalah ini, jadi kembalikan dompetku yang kalian curi maka akan aku anggap masalah ini selesai."
Satria memberikan penawaran pada mereka agar mengembalikan dompet miliknya, dia tidak ingin mendapat masalah lagi dari mereka berdua.
"Satria apa yang sudah kau lakukan pada kedua gadis ini, kau begitu kejam mengatakan hal itu pada mereka, dan lihat tindakanmu pada mereka."
Arya ikut dalam permasalahan ini, seperti waktu itu Manna mulai menggunakan cara genitnya untuk mendapatkan simpati dari Arya. Dia melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan pada Satria.
"Tolong aku, dia sudah kurang ajar menganggapku sebagai pencuri padahal kita belum pernah bertemu."
Mata Manna mengais simpati dari Arya, namun tidak semudah yang dia pikirkan.
"Hentikan itu dia orang yang sudah menikah jelas saja tidak akan mudah terayu olehmu. Apalagi istrinya lebih cantik daripada dirimu, dasar pelacur."
Mata Manna terpaku pada cincin yang terpasang di jari manis Arya, benar yang Satria katakan Arya adalah pria yang sudah menikah, tidak mungkin dia mudah terayu oleh wanita lain.
Kata-kata yang Satria katakan membuat Manna mulai marah.
"Oh lihat itu apakah ini juga termasuk drama yang kau buat, berhentilah menggoda pria hidung belang."
Semakin lama kata-kata yang Satria katakan membuat Manna semakin marah.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada kalian? Hey, Satria katakan padaku."
"Kedua pelacur ini sudah mencuri dompetku waktu di kereta."
"Benarkah, aku tidak percaya kedua gadis ini mencuri dompetmu."
Mata Satria cukup jeli jika berurusan dengan barang miliknya yang sudah hilang, dia melihat sebuah benda menyerupai dompet yang ada di belakang rok Manna.
Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tangan Satria langsung menghampiri bagi belakang tubuh mereka, lebih tepatnya pantat Manna.
"Lihat sudah kubilang kan."
Satria tidak merasa bersalah dengan apa yang sudah dia lakukan, baru saja dia tanpa ragu memegang pantat seorang wanita.
Wajah Sutri dan Manna langsung memerah setelah itu.
Tamparan keras mengenai wajah Satria, bekas telapak tangan itu terlihat jelas.
"Sa-satria, apa yang sudah kau lakukan! Kau tidak boleh memegang bagian tubuh seorang wanita begitu mudahnya."
"Itu benar, kau musuh para cewek seluruh dunia. Dasar orang mesum gila!."
Teriak Sutri yang melihat temannya sudah dilecehkan oleh Satria.
"Tapi bukankah itu berlaku juga untuknya, dengan tubuhnya itu dia merayu banyak pria. Tindakannya sama saja seperti pelacur bukan, dengan mudah menyentuh tubuhku dan mas Arya."
"Jangan banyak alasan tindakanmu ini sudah keterlaluan!."
Sutri berbicara dengan nada keras lagi.
Manna hanya bisa meringkuk setelah mengetahui bahwa seorang pria sudah menyentuh pantatnya, dan tanpa perasaan bersalah.
"Kau kau harus membayar ini."
Manna mengangkat tangannya dan mulai merapal mantra.
[Menyucikan kegelapan, oh menyucikan kegelapan
Kosong, ilusi, tak berpenghuni, bagaikan roh jahat...]
Sebelum Manna menyelesaikan mantranya yang dia ucapkan, Satria langsung meraih dan mengenggam tangannya, kemudian menatap langsung ke mata Manna.
"Jangan lakukan tindakan bodoh seperti itu, kita sedang berada di lingkungan klan Majapahit, kau tidak ingin mereka marah padamu bukan."
Manna melupakan tindakan gegabahnya tersebut.
"Lepaskan tanganku, ini semakin terasa sakit."
"Oh maafkan aku."
Satria melepaskan genggaman tangannya, kemudian kemunculan petinggi dan pemimpin ekspedisi ini sudah hadir di depan mereka.
Jaka dan Rosa yang menjadi penanggungjawab ekspedisi kali ini.
Jaka mengamati seluruh dukun yang hadir dalam ekspedisi ini, begitu juga Rosa yang daritadi menghitung jumlah dukun yang ikut serta.
Dia menarik baju dan mendekatkan mulutnya ke telinga Jaka, kemudian membisikan.
"Ja-jaka, kurasa ideku lebih bagus jika kita memberikan 5 juta, aku bisa mendapat banyak uang kalau kau melakukan itu."
"Sudah kubilang tidak, dasar wanita mata duitan. Jika kau lakukan itu aku akan menendangmu dari sini, mengerti."
Jaka tidak suka dengan sifat mata duitan yang Rosa miliki, hal ini dapat merendahkan martabat klan Majapahit.
"Terimakasih sudah menerima undangan kami untuk bergabung dalam ekspedisi ini. Aku Jaka Tingkir petinggi dari klan Majapahit, dan disebelahku ini Rosa, sama sepertiku dia merupakan petinggi juga, kami berdua yang akan memimpin ekspedisi kali ini."
Jaka dan Rosa memperkenalkan diri mereka kepada para dukun yang hadir.
"Seperti yang kalian ketahui dari email yang kami kirim, bahwa di dekat Pegunungan Sewu muncul reruntuhan kuno yang tidak biasa. Dalam ekspedisi ini kita memiliki 2 misi yakni menyelidiki reruntuhan itu dan juga menyelamatkan korban yang terperangkap disana."
Arya langsung merespon ucapan yang Jaka katakan.
"Tunggu, ada korban yang terperangkap disana?."
"Benar, sepertinya mereka adalah warga desa yang penasaran dengan reruntuhan itu. Rasa penasaran mereka membuat mereka memasuki reruntuhan dan tidak ada kabar lagi semenjak itu."
Benar-benar tindakan gegabah, tapi hal itu tidak bisa disalahkan karena sudah menjadi fitrah manusia yang penasaran akan segala sesuatu.
"Ekspedisi akan dilaksanakan besok pada pukul 9 pagi. Kami sudah menyediakan kamar untuk kalian, silahkan mengikuti pelayan yang ada disana."
Jaka mengakhiri pidato singkatnya dan pergi bagaikan angin bersama Rosa.
"Kamar anda disebelah sini."
Pelayan yang dipekerjakan oleh klan Majapahit sungguh benar-benar sopan.
Ada sekitar 10 dukun dari luar klan Majapahit, termasuk Satria dan Arya serta kedua dukun perempuan yang Satria kenal beberapa saat yang lalu.
Setiap dukun mendapat kamar masing-masing.
Bangunan tempat peristirahatan mereka tidak jauh beda dengan rumah arsitektur Jawa, mungkin saja karena tempat ini ada di Provinsi Jawa Tengah maka dari itu rumah mengadopsi gaya dan budaya Jawa.
"Woaw, tidak buruk juga. Mungkin aku bisa betah berada disini."
Kamar yang Satria tempati tidak terlalu buruk, dari segi presisinya cukup baik bahkan ada beberapa aksesoris yang mengantung di pintu dan beberapa perabotan lain.
Satria menaruh barang miliknya dan mengganti baju.
"Aku harus berterimakasih pada Aisha karena sudah memberitahukan tentang ini, mungkin aku harus membawa oleh-oleh untuknya. Dewa dan Sasha juga akan aku belikan, tapi Anjani... lebih baik kubelikan juga daripada dia nanti marah."
Saat Satria sedang berganti baju, dari luar terdengar suara ketukan pintu.
"Ada yang bisa aku bantu..."
Orang yang mengetuk pintu adalah Manna.
Dukun wanita yang baru saja Satria kenal.
"Kupikir siapa, ternyata kau lagi. Ada urusan apa, bukankah ekspedisinya besok? Dengar aku tau kau begitu antusias dalam hal ini, tapi ini terlalu awal untuk pergi, bukan. Eh, bukan ya, tidak bisakah kau lihat aku sedang sibuk, lihat ini, lihat ini, lihat ini."
"Berisik! Biarkan aku bicara, dasar otak udang!."
"Apa maumu?."
"Aku tidak terima dengan perlakuanmu padaku tadi, jadi aku ingin kau meminta maaf karena sudah melecehkanku di depan semua orang."
"Maaf bisa diulangi lagi, aku tidak dengar dengan suara musik dari dalam kamarku."
Sebelum Manna bertemu dengannya, Satria memutar musik untuk menenangkan dirinya. Meski musik yang di dengar memiliki nada yang keras dan brutal, musik jenis rock adalah kesukaan Satria.
Pukulan upper cut mendarat dengan baik di dagu Satria, dengan pukulan keras itu membuat Satria tidak sadarkan diri.
Kurang lebih 10 menit bagi Satria untuk menyadarkan diri.
Saat dia sadar tangan, kaki dan tubuhnya sudah terikat dengan kursi.
Lalu di depannya dia melihat Manna dan Sutri yang duduk sambil menyeringai ke wajah Satria.
"Inikah perlakuan kalian untuk orang yang baru saja kalian kenal? Bukankah ini keterlaluan, asal kalian tau kita ini rekan dalam ekspedisi ini, harusnya kita menjaga kerukunan antar sesama, bukannya melakukan tindakan nekat tidak berperikemanusiaan seperti ini."
"Maaf aku tidak dengar dengan suara rintihan kesakitan yang kau rasakan ini."
Kata Manna dengan wajah puas.
Sutri datang dengan tinju kerasnya.
"Kau yang tadi meninjuku ya, pukulanmu lumayan sakit."
"Hah?! Tentu saja, pukulanku memang menyakitkan. Aku tadi hanya mengeluarkan 30% kekuatanku tak kusangka kau selemah ini sampai pingsan. Tapi itu belum meredakan amarahku karena kau sudah menyentuh Manna dengan tangan kotormu itu, pria mesum."
Sutri memukul-mukul kedua tangannya yang bisa dibilang menunjukan amarahnya kepada diri Satria.
Memasang muka menyeramkan, Sutri menginginkan Satria merasakan apa namanya sebuah kesakitan.
"Sutri hentikan itu, kau membuat dia gemetaran. Lihat itu dia hampir saja ngompol."
"Jangan buat fitnah, itu hanya keringat yang menetes, tempat ini panas tau."
"Oh maafkan aku, aku nyalakan AC ya. Mana sudi aku melakukan itu untukmu, dasar binatang."
Sebutan untuk Satria bertambah lagi.
"Dengar ya aku minta maaf untuk yang aku lakukan, kita hentikan ini aku harus istirahat buat besok. Kalian juga segera istirahat sana, mari kita lupakan semua hal buruk yang terjadi pada kita, oke."
Satria sedang bernegosiasi dengan kedua wanita yang menyekapnya, meski tidak berhasil.
Manna mengeluarkan buku kuno.
Saat Satria melihat Manna membaca buku mantra kuno, menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
"Kau seorang ahli nujum ya."
"Kamu baru sadar ya, ternyata otakmu itu memang otak udang."
"Jadi kau berniat memberikan kutukan padaku, apa tebakanku benar."
Kata Satria dengan senyuman sinis.
"Tepat sekali ini balasan atas perbuatanmu, kupikir kutukan majikan dan budak akan jadi balasan yang setimpal untukmu."
Kutukan adalah sebuah keinginan yang mengeskpresikan beberapa bentuk kesengsaraan atau kemalangan yang akan menimpa atau jatuh ke beberapa entitas lain.
"Sutri aku perlu darahnya."
Secepat kilat pisau kecil menggores wajah Satria.
Manna mengambil darah Satria dan meletakkan pada sebuah jimat.
Satria mulai gelisah bila benar dia seorang ahli nujum, sebuah kutukan akan membuat dirinya merasakan namanya penderitaan.
"Bagaimana kalau kita bertanding."
"Hah?!" 2x
"Aku sadar akan kebencianmu padaku, tapi kupikir kita harus menyelesaikan ini secara adil. Sutri tampaknya ingin sekali menghajarku bukan, aku sadar bahwa dia memiliki kemampuan beladiri yang hebat, karena itulah aku ingin latih tanding dengannya. Jika Sutri menang kalian boleh memberikan kutukan itu padaku, tapi jika aku menang kita sudahi hal ini, bagaimana?."
"Mana mungkin kami mau menerima itu, Sutri jangan dengarkan omongannya."
"Tunggu Manna, kupikir itu ide yang bagus."
"Apa maksudmu? Itu namanya kita menyia-yiakan kesempatan ini, lebih baik kita beri dia kutukan sekarang."
"Aku mengerti perasaanmu, tapi aku ingin sekali menghajar orang ini hingga babak belur karena sudah berani menyentuh dirimu. Apa kau tidak percaya dengan kemampuanku."
Kata Sutri.
Tidak bisa menolak permintaan sahabatnya, Manna menerima tawaran Satria.
"Baiklah, aku terima tawaranmu itu. Aku juga ingin melihat wajahnya yang boyok itu."
"Kalau begitu biar aku yang jadi wasit di latih tanding ini."
Seseorang mendobrak pintu dengan keras, dan memperlihatkan kegagahannya. Orang itu adalah Arya.
"Kedatanganmu sangat lama mas Arya."
"Maaf, Satria pesanmu baru saja masuk. Aku juga tertarik dengan adegan panas yang akan kalian lakukan tadi."
Manna dan Sutri menyadari bahwa ada ponsel di kaki Satria, dia mengirimkan pesan kepada Arya untuk datang menolong.
"Ternyata otakmu lebih baik daripada udang."
Gumam Manna saat melihat tingkah Satria yang bisa tenang dalam keadaan apapun.
***
Malam hari menjadi ajang waktu latih tanding antara Satria dan Sutri.
Arya menjadi wasit dalam pertandingan ini.
"Baiklah kita akan memulai 'sambung'."
Sambung adalah istilah latih tanding dalam pencak silat.
Kedua peserta sudah bersiap di posisi mereka.
"Pertandingan akan berakhir bila salah satu dari kalian mengatakan menyerah dan tidak sadarkan diri, kalian mengerti."
Kedua peserta menganggukan kepala sebagai tanda mengerti.
"Sutri hajar orang itu sampai bonyok!."
Sutri mengangkat jempolnya.
"Siap, mulai!."
Sutri langsung mengambil lengan Satria yang dari tadi terlihat bebas.
Kelenturan tubuh Satria membuat dia langsung melepaskan diri dari Sutri, dia mengambil jarak aman.
Melihat kesempatan, Satria langsung menendang kaki Sutri. Hal ini membuat keseimbangan Sutri menjadi goyah, agar bisa berdiri lagi, Sutri menggunakan tangannya sebagai tumpuan dan melayang di udara.
Adu cengkraman antara Sutri dan Satria terjadi.
Mereka sama-sama mencoba mengikat kuat lawan mereka.
Sikutan keras dari Sutri membuat kepala Satria bergoyang-goyang.
Sutri melanjutkannya dengan tendangan tepat di pelipis kiri Satria.
Satria mengigit lidahnya agar dia sadar kembali.
"Lumayan juga, berikutnya aku akan lebih serius."
Satria berlari zig-zag, dengan kekuatan kakinya dia melakukan 'guntingan'.
Guntingan adalah teknik pencak silat untuk membatasi gerakan lawan dengan menjegal kedua kaki lawan hingga kakinya tidak bisa bergerak.
Satria melakukan gerakan itu dengan baik, teknik gutingan yang sempurna.
Kaki Sutri tidak bisa bergerak dan dia kehilangan keseimbangan.
Pada waktu yang bersamaan, Satria langsung melepaskan guntingannya dan menarik baju Sutri, kemudian menekuk tangannya ke belakang.
Salah satu kaki Sutri juga tertekan dan tertekuk ke belakang, dalam posisi ini Sutri tidak bisa bergerak.
Jika dia memaksakan dirinya untuk bergerak otot ligamennya bisa putus.
"Menyerah saja, dalam posisi ini kamu tidak bisa bergerak."
"---Ugh...."
Sutri tidak bisa mengerakkan tubuhnya.
Masih belum menyerah mencari kesempatan agar bisa lepas.
--Teknik kuncian ya, Satria semakin hebat saja--
Gumam Arya yang melihat pertarungan ini.
Sutri terlihat kesakitan bila terus menerus memaksakan dirinya, Manna yang tidak tega melihatnya akhirnya angkat bicara.
"Ka-kami menyerah, kami mengaku kalah."
"Ma-manna... aku masih belum kalah."
"Tidak kita hentikan ini, aku tidak ingin kau merasa kesakitan seperti itu."
Sutri tidak bisa memaksakan egonya, dia akhirnya menyerah.
"Baiklah, aku mengerti."
Satria melepaskan teknik kunciannya.
"Pilihan yang bagus."
"Dengan ini masalah kita selesai bukan."
Harus menerima kondisi ini, Manna dan Sutri tidak puas dengan hasil yang terjadi.
Tanpa banyak bicara mereka langsung meninggalkan mereka berdua.
"Pertandingan yang bagus, kau semakin hebat saja."
"Tidak juga mas Arya, aku hanya mengerahkan kemampuanku saja. Anak itu lebih hebat dariku tapi pengambilan keputusannya terlalu lama dan juga gerakannya mudah di tebak."
"Analisis yang hebat."
"Kalau begitu aku permisi dulu, waktu istirahat kita berkurang karena hal yang tadi. Aku minta maaf sudah menyeretmu dalam pada masalah ini."
"Bukan masalah, aku permisi dulu."
Arya meninggalkan Satria.
"Sekarang saatnya beristirahat..."
Saat akan kembali ke kamarnya, Satria melihat sesuatu yang ada membuatnya tertarik.
Seorang wanita sedang melakukan sebuah ritual di lapangan rumput.
Sebuah lingkaran gaib tergambar di rerumputan dengan merkuris.
Wanita itu meletakkan beberapa benda magis.
[Munculah, munculah, wahai roh agung.
Wujudkanlah sebuah kehidupan.
Wujudkanlah jalur hidupmu.
Dalam lingkaran kebenaran ini]
[Jeevaa Bulaava Dena]
Dari dalam lingkaran muncul cahaya yang membuat roh-roh disekitar sini mendatangi wanita itu.
Satria tidak sengaja mendekat dan menginjak ranting pohon.
"Siapa disana?."
Merasa bahwa dirinya bukanlah ancaman, Satria membelah semak-semak dan menampakkan dirinya.
"Yo, maaf sudah mengganggu ritualmu."
"Kamu, salah satu dukun dari luar bukan."
"Benar, namaku Satria Mahesha. Kupikir aku tidak perlu menanyakan namamu bukan, Rosa."
Rosa mengibaskan rambut panjangnya itu.
"Pria yang tau sopan santun, aku suka."
"Terimakasih atas pujiannya, sepertinya kamu sedang memanggil roh. Apa ini salah satu bentuk latihan?."
"Benar, bagaimana kamu bisa tau?."
"Salah satu temanku juga menyukai roh, aku banyak tau dari dia."
"Benarkah, tidak banyak dukun yang bisa memanggil roh, temanmu itu pasti hebat."
"Tidak juga, dia hanya maniak yang tertarik dengan berbagai macam roh. Baru-baru ini dia ingin menjinakkan siluman roh."
Perkataan yang baru saja terlontar dari mulut Satria membuat Rosa tertarik, dia mulai mendekati Satria tanpa dia sadari.
"Luar biasa, belum pernah ada berpikir untuk menjinakkan siluman roh. Aku semakin tertarik dengan orang itu, bolehkah aku tau siapa nama dukun keren itu."
"Namanya Dewa Karza."
"Dewa Karza? Maksudmu putra dari klan Kartanegara."
"Benar sekali."
"He-hebat sekali aku fansnya, dia banyak membuat penelitian tentang roh."
"Ternyata dia lumayan terkenal juga ya."
"Bukan hanya terkenal dia luar biasa, aku sangat suka dengan konsepnya tentang roh dan sejarah siluman. Dia benar-benar seorang dukun jenius."
Seorang pelayan datang menghampiri Rosa.
"Nyonya, ini saatnya untuk anda beristirahat. Tuan Jaka mungkin akan marah jika anda tidak segera tidur untuk ekspedisi besok."
"Kita lanjutkan percakapan kita besok, aku ingin mendengar kehebatan pangeran Dewa, sampai jumpa besok Satria."
Ternyata ada orang lain yang semaniak Dewa, Satria bertemu dengan salah satunya.
Memang benar waktu sudah semakin malam, dan juga dukun harus siap dengan energi penuh dalam ekspedisi kali ini.
Satria kembali ke kamarnya dan pagi berikutnya dia kaget dengan sesuatu yang ada dilehernya.
"I-ini bukankah kutukan, majikan dan budak. Sialan, berani sekali pelacur itu membodohiku, harusnya jimat itu aku bakar saja. Bodohnya aku mempercayai dia. Jika dilihat kutukan ini aktif selama 2 malam. Jadi aku menjadi budak pelacur itu selama 2 hari, sialan.
Sebuah kutukan aktif di tubuh Satria.
Dia tidak bisa melakukan apapun hingga orang yang memberi kutukan itu melepaskannya atau habis masa kutukan ini.
Di ekspedisi kali ini, Satria menjadi budak Manna orang yang memberikan kutukan majikan dan budak.