Chereads / Nyonya Muda Kesayangan Allan / Chapter 10 - Percakapan Dua Pria

Chapter 10 - Percakapan Dua Pria

"So-sorry bro, masalah tadi. Aku beneran nggak tahu kalau kalian mau melakukan itu." Bima menggaruk kepalanya, merasa sungkan saat Allan menghampirinya. Sabilla telah pulang ke rumahnya beberapa menit yang lalu.

"Santai, nggak masalah. Masih ada banyak waktu buat lakuin itu lain kali. Aku kebawa suasana aja, karena cuma berdua sama dia," Allan duduk santai di pinggir ranjang, di sebelah Bima.

"Mulai baper kamu sama dia, wajar sih, Sabilla cantik begitu, cuma lelaki yang nggak normal aja yang nggak tertarik sama dia. Meskipun dia istri orang, tetapi pesonanya beneran seperti masih gadis. Luar biasa." Bima tanpa sadar memuji Sabilla, Allan kembali menghadiahkan sebuah jitakan di kepala sahabatnya itu.

"Aish! ngapain sih, kebiasaan jitak kepala orang. Sakit tahu nggak sih!" Bima merengut, Allan menatap Bima tajam, seperti elang yang sedang mencari mangsa.

"Siapa suruh, muji-muji calon istri orang sembarangan! Maksud kamu apaan?" Allan sedikit meninggikan suaranya.

"Astaga Allan! Kamu marah? Ck, gitu doang, aku cuma muji, nggak ada niat ngerebut dia dari kamu. Baperan amat sih!" omel Bima, Allan justru tertawa mendengar omelan lelaki itu. Sebenarnya Allan hanya berpura-pura. Pria itu tahu, bagaimana sikap Bima. Dia tidak mungkin mengambil pacar temannya sendiri.

"Becanda, Bro! Aku tahu, kamu bukan tipe yang begitu. Tadi ayahku telepon," Allan mengawali ceritanya.Dia rasa, Bima perlu tahu hal itu.

"Terus?" Bima mendadak serius, dia tahu pasti, ayah Allan pasti sudah mengetahui perihal Allan menjadi pemenang di kompetisi tinju dan Allan pasti terkena omelan dari ayahnya.

"Sesuai dengan peringatan dari kamu, ayahku marah-marah dan dia mengungkit semuanya. Dia mengungkapkan kekecewaannya karena aku nggak bisa jadi penerus di perusahaan. Begitulah, setiap marah pasti di ungkit lagi dan lagi. Tapi aku sadar, itu memang salahku. Jadi, aku tidak berhak balas marah ke ayah." sungut Allan. Dia sebenarnya ingin berontak, tetapi dia sadar, kalau dia belum memiliki apapun yang bisa di tunjukkan pada ayahnya. Allana merasa tidak berdaya melawan ayahnya yang memang benar.

"Memang itu salahmu, Allan. Aku yakin kamu belum lupa bagaimana keseharianmu saat Wijaya Group masih jaya. Kamu selalu menghamburkan uangmu untuk kami semua, menghabiskan malam di kelab, dan pulang dalam keadaan mabuk. Kalau aku jadi ayahmu, aku juga akan melakukan hal yang sama, bahkan mungkin lebih parah." Bima justru memihak Andra, Allan tidak menyalahkan Bima, semuanya memang salahnya dan seluruh dunia boleh menghujatnya. Allan sudah pasrah dengan itu.

"Aku menyesal untuk itu, Bima. Tapi aku juga punya kesempatan untuk berubah, bukan? Aku juga ingin bisa kembali dekat dengan ayah, seperti dulu." keluh Allan. Dulu semuanya indah, dia selalu menghabiskan waktu bersama ayahnya, Andra selalu memanjakannya, apapun yang di butuhkannya semua tersedia. Kekacauan itu, semuanya dia yang memulai. Seandainya Allan bisa memenangkan hati ayahnya dengan serius belajar memimpin perusahaan, mungkin semuanya tidak akan memburuk seperti saat ini. Faktanya, penyesalan hanyalah penyesalan, sekarang Allan harus bekerja keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan ayahnya.

Ayah, Allan pasti akan banggain ayah suatu saat. Sekarang, ayah boleh saja kecewa dan marah, tapi suatu hari, ayah akan kembali memelukku dengan bangga. Kita akan menghabiskan waktu bersama seperti dulu, Batin Allan.

"Itu dia, kamu tunjukin sama ayah kamu kalau kamu sudah berubah. Tapi meyakinkan kembali itu lebih sulit Allan, kamu harus berusaha keras untuk itu. Buat ayahmu kembali mempercayaimu, dengan cara yang benar." Bima memberikan saran, Allan beruntung memiliki sahabat sebaik Bima, di saat seperti sekarang, sahabatnya itu mau memberikan masukan padanya.

"Makasih, Bim. Kamu sudah kasih saran buat aku. Benar katamu, meyakinkan kembali itu lebih sulit, tapi aku akan terus berusaha." Allan merebahkan tubuhnya ke kasur Bima. Menatap langit-langit kamar sahabatnya itu. Semua permasalahan yang di hadapinya tampak semakin rumit. Banyak jalan buntu, Allan berharap banyak pada Sabilla, hanya wanita itu yang bisa membantunya saat ini.

"Sama-sama, itu gunanya teman bukan? Kapan kalian nikah?" pertanyaan Bima membuat Allan menghela napas.

"Tanggal dua puluh tiga, Sabilla yang menentukan tanggalnya." Allan tampak tidak bersemangat. Menikah muda sebenarnya bukan cita-citanya. Dia masih ingin menghabiskan masa lajang setidaknya dua atau tiga tahun lagi. Permasalahan yang di hadapinya-lah yang membuatnya harus mengambil keputusan itu.

"Kamu yakin, menikah dengan Sabilla? Kamu akan memberikan pengalaman pertamamu padanya? Bukankah masa itu seharusnya kamu juga mendapatkan yang pertama juga?"pertanyaan Bima mengganggu pikiran Allan. Ya, itu memang yang di harapkannya, tapi sekarang dia tidak punya pilihan. Bahkan dia harus menikah di usianya yang menurutnya masih terlalu muda untuk itu.

"Jujur, aku tidak munafik, aku juga menginginkan kegadisan seseorang yang menjadi istriku kelak, tapi aku tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Aku sudah menjatuhkan pilihan dan akan berusaha menerima Sabilla apa adanya." jawab Allan pasrah.Dia memang menginginkan itu, tetapi dia juga tidak bisa egois, keputusannya menikah dengan Sabilla mengharuskannya untuk menghapus keinginan itu. Dia harus menerima Sabilla apa adanya. Apalagi Sabilla sepertinya wanita yang baik dan juga menyayanginya.

"Meskipun dia tidak gadis lagi?" Bima mengoreksi.

"Ya. Meskipun dia tidak gadis lagi, aku akan tetap menikah dengannya. Hanya dia yang bisa membantuku sekarang, Bim." jawab Allan Mantap.

"Jangan bilang, kalau kamu hanya terpaksa menikahinya karena dia mau membantu kamu buat bangkitin Wijaya Group," kata-kata yang di ucapkan Bima menohok Allan. Sejauh ini, alasannya memang itu. Dia membutuhkan bantuan Sabilla dan wanita itu menginginkannya menjadi suaminya, Allan pikir itu sudah cukup adil.

"Itu salah satu alasanku menikah dengan Sabilla. Cinta atau tidak, itu tidak penting bagiku, Bima. Seiring waktu, kami akan saling jatuh cinta." sahut Allan santai. Dia tidak memikirkan perasaannya lagi, terpenting baginya adalah kelangsungan Wijaya Group dan berubahnya pandangan ayahnya terhadapnya.

"Kenapa kamu nggak coba negoisasi sama Sabilla dulu, setidaknya kalian berdua melakukan pendekatan, hingga saling jatuh cinta. Setidaknya, kalian menikah saling mencintai. Bukankah itu lebih menyenangkan?"

"Aku tidak ingin menundanya, Bim. Toh, dulu ayah dan bundaku juga nikah tanpa cinta, mereka akhirnya bisa saling mencintai sampai sekarang. Menikah tidak harus pakai cinta Bima, ketemu langsung nikah juga nggak masalah. Coba deh," Allan terkekeh. Bima tidak menyangka ternyata standar nikah Allan berubah, menikah muda bersama orang yang tidak di cintai sangat bertolak belakang dengan keinginan Allan di masa lalu.

"Mentang-mentang udah mau nikah. Ck, nanti aku akan segera menyusul. Jangan lupa, bikin video live kalian malam pertama, haha." Bima tertawa lebar setelah mengatakan itu.

"Dasar somplak. Enak aja, mau lihat kita live, nanti kalau kamu pengen, mau ngelakuin sama siapa? Guling?" ledek Allan seraya bangkit dari duduknya.

"Kena lagi kan, aku nggak pernah menang kayaknya setiap ledekin kamu." sungut Bima.

"Itu derita kamu! Sudahlah aku mau mandi dulu. Gerah." Allan bengkit dari duduknya dan ngeloyor pergi, kembali ke kamarnya sendiri.