"Anna, ayah tahu, kamu pasti mengetahui keberadaan kakakmu. Bisakah kamu beri tahu ayah, kakakmu ada di mana?" Andra menghampiri Allana yang sedang duduk santai di serambi rumah mereka.
Rumah kecil yang Andra beli setelah kebangkrutannya. Rumah itu ukurannya tiga kali lebih sempit dan sangat sederhana. Tapi Allana merasa nyaman tinggal di sana, Asal ada ayah dan ibunya, itu sudah cukup bagi gadis itu.
"Kak Allan tidak memberitahukan keberadaannya, Ayah. Dia cuma titip Ayah sama Bunda ke Anna.Kakak juga mengirimkan uang, supaya kita bisa gunakan saat kebutuhan mendesak." Allana mengatakan semuanya dengan jujur pada Andra. Lelaki itu terkejut mengetahui Allandra bisa mengirimkan sejumlah uang pada Allana.
"Lain kali, kamu tanyakan, dimana dia tinggal. Kasihan ibumu, dia ingin bertemu dengan Allan. Berapa jumlah uang yang bocah tengik itu kirimkan?" tanya Andra dengan nada sedikit sinis. Dia takut anaknya salah jalan.
"Baik, Ayah. Anna akan tanya di mana Kak Allan tinggal. Kemarin, Kak Allan mentransfer uang enam puluh juta ke rekening Anna." penjelasan Anna membuat Andra kaget. Dari mana Allan mendapatkan uang sebanyak itu, sementara dia tidak punya pekerjaan.
"Kamu tidak tanya, dari mana kakakmu mendapatkan uang itu?" Anna menggeleng. Tentu saja dia tidak berani bertanya seperti itu pada kakaknya. Semenjak kuliah, hubungannya dengan kakaknya tidak terlalu dekat.
"Aku tidak berani bertanya, Ayah. Hanya saja, kak Allan sempat bilang kalau dia menang lomba." Allana memberikan keterangan. Andra mengepalkan tangannya, dia curiga Allan mengikuti lomba tinju nasional yang sempat viral di media sosial. Dia buru-buru mengecek ponselnya dan benar, foto Allan berada di atas ring tersebar. Bahkan ada pemberitaan miring yang mengatakan bahwa keluarga Wijaya tengah kekurangan uang. Meskipun memang benar, tetapi itu membuat Andra kesal.
Dia segera mencari kontak Allandra dan menekan tombol panggil. Di kontrakannya, Allan tengah bercanda bersama Sabilla. Hubungan mereka menghangat begitu saja. Keduanya sudah saling terbuka dan mendapatkan kenyamanan satu sama lain. Allan merasa Sabilla sudah bisa mengisi kekosongan hatinya perlahan.
Ponselnya berdering, Allan menghela napas saat melihat nama ayahnya yang terpampang di sana. Dia sebenarnya sungkan untuk berbicara dengan ayahnya sekarang, tetapi dia juga tidak mungkin mengabaikannya.
"Siapa yang telepon? Kok nggak di angkat?" tanya Sabilla saat melihat Allan bingung.
"Ayahku. Kalau begitu, aku angkat dulu sebentar. Maaf ya." Allan meninggalkan Sabilla, dia keluar kontrakan, agar sedikit leluasa berbicara dengan ayahnya.
"Bagus, baru keluar lima langkah dari rumah, kamu sudah menentang ayah. Kamu berani naik ke atas ring tanpa persetujuan ayah, apa kamu pikir ayahmu ini akan bangga, kalau kamu bisa menghasilkan uang dari bertarung? Kalau kamu kenapa-napa, uang yang kamu dapatkan itu hanya akan habis untuk mengobati lukamu, dan kalau kamu cacat, ayahmu ini yang akan menyesal. Kamu benar-benar tidak bisa mengerti perasaan ayah, Allan! Ayah kecewa padamu!" Allan bisa mendengar dengan jelas kalau ayahnya sedang marah. Hal itu terulang, Andra tidak pernah setuju kalau Allan berhubungan dengan tunju.
"Ayah, aku minta maaf. Tapi aku bisa membuktikan pada ayah kalau aku baik-baik saja. Aku tidak akan membuat ayah khawatir. Aku...,"
"Kamu memang selalu membantah. Tidak bisakah kamu menjadi anak yang membanggakan ayah? Aku lelah berharap padamu Allan! Kapan kamu akan berubah? Di usiamu sekarang, ayah sudah mulai memimpin perusahaan kakek buyutmu. Tapi kamu, kerjamu hanya menghamburkan uang, sampai keluarga kita jadi seperti ini." Allan mengepalkan tangannya, matanya sedikit berkaca-kaca. Memang apa yang di katakan ayahnya benar, dia belum melakukan sesuatu yang bisa membuat ayahnya bangga sampai hari ini.
Kemarahan ayahnya bukan tanpa alasan. Ayahnya memang telah lama mengharapkan Allan menggantikannya menjadi pemimpin Wijaya Group, tetapi Allan membuat Andra kehilangan harapan. Dia hanya bermain-main, membolos ke kantor, menghabiskan waktu bersama teman-temannya hingga larut malam dan itu terjadi hampir setiap hari.
"Ayah, aku janji, suatu hari, ayah akan bangga padaku. Ayah bisa pegang kata-kataku ini." katanya sedikit bergetar, dadanya bergemuruh, rasa bersalah dan ambisinya bercampur di dadanya.
"Baik, buktikan kalau kata-katamu itu. Jangan membual, ayah lelah melihat tingkahmu yang kekanakan." Andra menutup panggilannya begitu saja. Allan menghembuskan napas sedikit kasar, dia memang tidak pernah benar di mata ayahnya. Allandra kembali masuk ke dalam kontrakannya, duduk di samping Sabilla dengan wajah kusut.
"Kenapa? Ada apa? Ayahmu marah?" Sabilla bertanya dengan lembut. Allan mencoba tersenyum, tapi itu tidak membuat perasaannya lega.
"Begitulah, seperti yang aku pernah bilang, hubunganku dengan ayah selalu begini. Aku memang belum bisa membanggakan ayah, wajar kalau dia marah dan emosi setiap bicara padaku." Sabilla melihat sisi rapuh Allan dan Allan tidak berniat menutupinya, inilah kelemahannya, dia selalu salah di mata ayahnya.
"Maaf Allan, aku harus melakukan ini." Sabilla menarik Allan ke dalam pelukanya, di elusnya bagian belakang lelaki itu lembut. Dia sedang berusaha menenangkan Allan. Pria itu memejamkan mata, beban di pundaknya sedikit berkurang karena pelukan hangat Sabilla.
Pelukan Sabilla menjadi pelukan kedua ternyaman setelah mamanya yang pernah Allan rasakan. Pria itu bisa merasakan sentuhan lembut Sabilla di kepalanya sangat lembut, seolah-olah setiap sentuhan itu memberikannya kekuatan dan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Terima kasih, Billa. Aku merasa lebih baik." Sabilla melepas pelukannya perlahan. Dia tersenyum dan memandang Allan lembut.
"Allan, aku sudah bilang, kan. Kamu tidak sendiri sekarang. Kamu pasti bisa menjadi pengusaha sukses nanti. Kamu akan bisa membuat ayahmu bangga, aku yakin itu. Jangan berkecil hati, sebenarnya, ayahmu sedang membantumu, membantumu untuk maju, untuk memikirkan masa depan." pikiran Allan terbuka, memang itu yang ayahnya inginkan. Andra ingin dia berpikir dewasa, menjadi seperti dirinya saat muda.
Selama ini, Allan hanya menikmati apa yang ada. Ayahnya sudah mengajarkan banyak hal, tapi dia tidak pernah serius. Sejak itulah perselisihan selalu terjadi. Allan tidak pernah berpikir kalau kenakalannya itu membawanya ketitik sekarang. Terpuruk dan tidak memiliki apapun.
"Sekali lagi, terima kasih Billa. Setidaknya, aku masih memiliki kamu sekarang." Allan menggenggam tangan Sabilla erat, seakan dia tidak ingin melepasnya lagi.
"Aku suka itu, Allan. Aku senang menjadi penting untukmu. Biarkan aku menemanimu sampai kamu melewati semua ini, Allan. Aku ingin menjadi bagian dari perjalanan hidupmu mulai sekarang. Apa kamu mengizinkan aku untuk itu?" Sabilla menatap Allan lagi, senyum pria itu mengembang, beberapa saat kemudian dia mengangguk.
"Tentu saja, Billa. Perjalanan hidupku yang sulit ini terasa lebih mudah setelah bertemu denganmu. Billa, bolehkah aku...," Allan mendekatkan wajahnya pada Sabilla, dia ingin mengecup bibir wanita itu sebentar saja.
Sabilla memberi Allan kesempatan. Wanita itu menatap bibir ranum kekasihnya. Dia mengabaikan perasaan Allan yang sampai detik ini masih mengambang. Jarak mereka semakin dekat, hanya beberapa senti lagi.
"Bro, itu mobil sia..., ma-maaf, aku keluar sekarang." Bima menutup matanya dan segera berbalik keluar. Suasana berantakan karena kedatangan Bima. Allan dan Sabilla terkejut dan saling menjauhkan diri.