Chereads / Nyonya Muda Kesayangan Allan / Chapter 8 - Cukup Aku

Chapter 8 - Cukup Aku

"Selamat Nyonya, berkas sudah lengkap. Kami akan segera mengkonfirmasi nanti. Terima kasih." ucap petugas Kantor Urusan Agama seraya menyalami Allan dan Sabilla. Ada perasaan lega yang di rasakan keduanya, pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari, menunggu konfirmasi dari pihak KUA.

"Mengapa kamu memilih tanggal sesuai dengan usiaku? ini sudah kedua kalinya, aku yakin ini bukan kebetulan." selidik Allan. Dia merasa Sabilla sengaja memilih tanggal dua puluh tiga sebagai tanggal pernikahan mereka. Wanita itu tertawa kecil, pandangannya lurus ke depan.

"Kebetulan, angka dua puluh tiga itu sudah seperti lucky number buat aku. tanggal ulang tahun mama, tanggal aku wisuda, tanggal aku bertemu dengan suami pertamaku, tanggal pembukaan butik pertama, usia kamu, semuanya berhubungan dengan angka dua puluh tiga. Aku merasa, angka dua puluh tiga akan selalu membawa keberuntungan buatku." jelas Sabilla. Allan tidak menyangka, ternyata filosofi Sabilla tentang angka dua puluh tiga begitu dalam. Ada banyak kenangan yang di laluinya di angka tersebut.

"Apa kamu pernah berpikir kalau, aku juga keberuntungan bagimu?" tanya Allan serius, dia memegang bahu Sabilla erat dan menatap matanya dalam-dalam.

"Ya. Sejak kamu datang ke kafe dan memutuskan untuk menerima tawaranku, aku menganggap, kamu bagian dari sederet keberuntunganku. Aku tahu, mungkin ini terlalu cepat, kamu juga boleh tidak percaya, tapi aku serius, i love you Allan, i love you so much," Allan dapat melihat ketulusan di mata Sabilla. Pria itu terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang di dengarnya barusan. Wanita cantik, kaya dan se-terkenal Sabilla menyatakan cinta padanya, pria gembel yang tidak memiliki apapun, Allan masih tidak percaya ini, tapi kenyataan yang dia alami memang nyata.

"Terima kasih, terima kasih karena kamu sudah mencintaiku, Sabilla. Tapi...,"

"Aku tidak memintamu untuk membalas perasaanku, Allan. Cukup kamu perlakukan aku dengan baik seperti sekarang, itu sudah cukup." Sabilla tersenyum tipis, dia jujur dengan apa yang di katakannya, Allandra dapat melihat itu.

"Maafkan aku, Sabilla..., aku...,"

"Allan, segalanya butuh waktu, apalagi kamu seorang lelaki. Aku tidak tahu bagaimana masalalumu, kisah cintamu, aku paham. Aku tidak ingin kamu memaksakan diri. Biarkan hubungan kita mengalir apa adanya. Biarkan aku yang mencintaimu." kalimat itu mengalun indah di telinga Allan. Belum ada wanita yang berkata setulus itu padanya. Wanita di hadapannya benar-benar seperti mutiara yang indah. Allan tidak pernah menyesali pertemuannya dengan Sabilla.

"Terima kasih sekali lagi, Sabilla. Kamu luar biasa. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku akan berusaha meyakinkan perasaanku. Maafkan aku, Sabilla." Allan merasa bersalah. Dia belum bisa mencintai Sabilla. Perasaannya baru sebatas kekaguman pada wanita itu. Dia berpikir, Sabilla sangat mirip dengan ibunya, seorang wanita tangguh dan mandiri.

"Asal kamu berada di sisiku, itu sudah cukup, Allan. Ayo kita jalan-jalan sebentar, aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu hari ini." Sabilla menyerahkan kunci mobilnya pada Allan. Pria itu segera mengambilnya dari tangan Sabilla lalu bergegas ke mobil wanita itu, membuka pintu untuk Sabilla, setelah itu menempatkan dirinya di belakang kemudi. Beberapa hari tidak menyupir mobil sendiri membuat Allan sedikit gemetar, apalagi mobil Sabilla sangat mahal, jika terjadi apa-apa, Allan tidak memiliki uang untuk ganti rugi.

Uang hasil lombanya sebagian besar sudah Allan kirim ke rekening adiknya, dia meminta Allana untuk menyimpan uang itu untuk keperluan mendesak. Sisanya untuk dia makan sehari-hari. Allan baru merasa, kalau menikmati uang hasil keringatnya sendiri ternyata sangat nikmat.

"Kita mau kemana?" tanya Allan saat mereka sudah menjalankan mobil Sabilla lumayan jauh dari KUA.

"Terserah kamu, muter-muter juga tidak masalah, asal kita bisa berbincang berdua. Aku tidak ingin pulang dulu." Sabilla menyerahkan tujuan mereka pada Allan. Banyak tempat wisata yang berada di daerah mereka, tapi Allan tidak ingin membawa Sabilla ke sana. Dia ingin sesuatu yang beda.

"Billa, kamu mau mengobrol denganku, kan? Bagaimana kalau kita ngobrol di kamar kosku? Sungguh, aku tidak ada niat apapun. Itu pun kalau kamu tidak keberatan." Allan tentu tidak ingin Sabilla salah paham padanya.

"Aku tahu, kamu bukan tipe lelaki yang seperti itu, Allan. Em..., ngomong-ngomong aku suka sekali dengan panggilan darimu itu," ujar Sabilla malu-malu.

"Maksudmu, Billa?" Sabilla mengangguk pelan. Allan tersenyum, dia tidak percaya hal kecil yang di lakukannya itu di sukai oleh Sabilla.

"Aku suka sekali. Kamu orang pertama yang memanggilku dengan sebutan seperti itu, Allan."Allandra bisa melihat, wanita di sampingnya itu tersipu malu saat mengakui hal itu.

"Kalau begitu, anggap saja itu panggilan sayang dariku. Aku senang bisa memanggilmu dengan panggilan yang kamu sukai, Billa." Allan menutup bibirnya dengan tangannya, dia menyembunyikan senyum yang terukir di bibirnya. Hanya panggilan saja membuat Sabilla senang, sedangkan Raya, satu tas seharga lebih dari sepuluh juta saja tidak berhasil membuatnya senang.

"Terima kasih Allan.Untuk tawaranmu tadi, ayo kita pergi ke tempat kosmu. Jangan lupa kita beli beberapa makanan untuk di bawa ke sana." usul Sabilla, Allan setuju dengan usulan dari wanita itu. Setidaknya dia bisa memberikan traktiran kecil pada calon istrinya itu.

"Oke. Kamu mau aku belikan apa? Di depan sepertinya ada minimarket." Allan memberikan tawaran pada Sabilla. Dia tahu, wanita itu pasti tidak akan menyulitkannya.

"Apa saja. Aku bukan tipe pemilih makanan, Allan. Aku juga tidak memiliki alergi apapun." Allan sudah menduga, itu pasti jawaban Sabilla.Dia pasti akan menyerahkan pilihan padanya.

"Jangan kaget, ya. Kamarku sempit dan juga sedikit berantakan. Semoga kamu tidak ilfeel setelah melihat tempat tinggalku yang semrawut." itu fakta, saat pergi tadi Allan memang belum sempat membereskan kamarnya.

"Kontrakan sempit wajar, kalau berantakan itu karena memang kamu belum punya seseorang yang membereskanya. Kamu sabar Allan, setelah kita menikah, kamu tidak akan tinggal di tempat itu lagi, kita akan tinggal di rumah yang layak." Allan tahu, Sabilla menghawatirkannya, pasti dari sudut pandang Nabilla, kehidupannya sangat menyedihkan.

"Kita berdua? Bukankah kamu juga harus mengurus suamimu yang lain?" Allan ingin mengoreksi kalimat yang di ucapkan Sabilla.

"Aku menemuinya hanya kalau dia memanggilku. Waktuku akan lebih banyak ku habiskan bersamamu. Aku sudah pernah bilang, bukan? Kamu adalah prioritasku Allan." Sabilla terlihat sangat serius. Sekali lagi, Allan merasa senang karena itu. Sabilla akan selalu di sisinya, menemaninya setiap waktu. Itu yang di harapkan oleh Allan diam-diam.

"Aku tidak keberatan kalaupun kamu lebih banyak mengurus suamimu. Aku ini kan hanya simpananmu, Sabilla." ujar Allan santai.

"Tapi kamu yang nantinya jadi suami sahku Allan, jangan lupa itu."Sabilla tersenyum pada Allan dan pria itu mengakui, senyuman Sabilla sangat manis, bahkan saat dia tidur, Allan dapat mengingatnya dengan sangat baik.