Zulfa tersenyum manis melihat piring dan gelas kotor yang isinya sudah habis tidak tersisa di atas nakas, makanan yang ia hidangkan untuk Farel ternyata habis tak tersisa.
Setelah harapan yang panjang, akhirnya Farel memakan masakan buatannya. Meski kadar kesulitannya benar-benar tinggi untuk memasak menu satu ini, ia akan melakukan berbagai cara supaya laki-laki itu akan terus makan masakannya. Namun sayangnya, belum sempat kebahagiaan itu singgah lebih lama, mata gadis itu melihat gumpalan kertas berwarna ungu di dalam tempat sampah. Sepertinya ia kenal dengan kertas itu, yang sudah di gumpalkan sampai lecek dan tidak memiliki bentuk.
Ah iya, itu surat yang sengaja ia tuliskan untuk Farel. Dan ya, laki-laki itu membuangnya tanpa memikirkan perasaan Zulfa sedikitpun. Sungguh, ia ingin merasakan kebahagiaan yang lebih lama lagi lebih dari 'makanan buatannya yang dimakan lahap oleh sang suami'. Bukan hanya kebahagiaan sebentar, hinggap lalu pergi begitu saja. Ia tidak ingin merasakan hal yang seperti itu.
"Mas?" Zulfa mencoba memanggil sosok yang kini sudah terbaring di atas kasur. Tubuh yang tegak dengan postur berwibawa itu mungkin sudah mencoba untuk masuk ke dalam mimpi.
Ia tahu Farel belum tidur terbukti dari pantulan cahaya ponsel yang terlihat jelas walau laki-laki itu memunggungi dirinya. Satu hal yang ia tahu, laki-laki itu tidak ingin menghiraukan dirinya. Apa ponsel selalu menjadi daya tarik bagi semua orang di muka bumi ini?
Tidak ada jawaban.
"Mas suka sama masakan aku?" tanya Zulfa yang masih belum puas dengan Farel yang diam bergeming tanpa jawaban tersebut.
Tidak ada jawaban lagi. Ia melihat laki-laki tersebut engah sibuk mengetik dan berbalas pesan pada seseorang. Tidak perlu di tebak siapa itu, yang jelas gadis yang singgah lebih dulu daripada dirinya. Miris. Ia sudah kalah sejauh ini, tapi masih berusaha lebih...
"Besok mau aku masakin lagi?" Dengan kebal, ia masih menanyakan hal dengan tujuan yang serupa itu. Ya memang inilah kewajibannya sebagai seorang istri, istri yang tengah berjuang sendirian.
Terdengar napas kasar dari Farel, tubuh Zulfa menegang kala laki-laki itu berbalik badan dan menatapnya dengan sangat tajam seperti ingin menghabisi dirinya saat itu juga.
"Lebih baik kamu tidak perlu memasak. Rasanya sangat buruk." ucap Farel tang tentu saja mengatakan semuanya dengan bumbu kebohongan. Ia hanya tidak mau karena nanti Zulfa terbiasa menghidangkan makanan untuknya, menjadikan ia berpaling dari Rani. Tidak, tidak akan. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tatap menjaga hati, sampai waktu dimana ia bisa membuat wanita yang berstatus istri itu singgah dari hidupnya secara tiba-tiba.
Zulfa menaikkan alisnya tanda tidak mengerti, padahal isi di piring dan gelas sudah kosong. Apalagi kalau bukan dimakan? "Tapi ini habis tidak tersisah, Mas?" tanyanya yang memang tidak percaya dengan apa yang Farel ucapkan. Toh kenyataan menariknya masuk ke dalam ruang realistis, bahwa makanan yang tadi ia hidangkan ini habis.
"Saya buang." ucap Farel dengan raut wajah yang dingin. Ia berbicara dengan asal tentang 'membuang' makanan yang disajikan Zulfa untuknya, padahal mah ia buang ke dalam perutnya yang tadi keroncongan dan mungkin kini sudah masuk ke dalam sistem pencernaan.
Zulfa menaikkan sebelah alisnya, mendengar penuturan kalimat tersebut membuat pertahanannya mulai melemah. "Dimana mas?" tanyanya dengan suara yang mulai parau. Jangan sampai menangis, tidak boleh cengeng. Luka di hatinya masih bisa tertutupi dengan sisi kebahagiaan yang berada di hidupnya.
Mata Zulfa mengikuti arahan jari Farel. Laki-laki itu menunjuk tempat sampah yang memang khusus untuk makanan basah seperti sisah-sisah makanan yang tidak habis di makan oleh Farel. Sudah di bilang, laki-laki itu dengan mudahnya bisa membuang makanan yang bahkan di luaran sana masih banyak yang membutuhkan.
Zulfa percaya, lagi pula dia juga belum maksimal memasaknya. Wajar saja Farel tidak suka toh dirinya baru pertama kali masak makanan seperti ini. Entah tingkat kematangan daging menurut selera laki-laki itu saja dirinya tidak mengerti. Ia hanya mengikuti resep di sosial media lalu bereksperimen sendiri tanpa campur tangan orang lain. Berharap mendapatkan respon yang memuaskan, ternyata berbanding terbalik.
"Maaf mas masakan aku rasanya buruk." lirih Zulfa sambil sedikit menundukkan kepalanya. Entah dirinya yang gagal sebagai seorang istri karena tidak bisa memasak kesukaan sang suami, atau Farel yang gagal untuk menghargai segala usahanya, ia mati-matian melakukan hal yang tidak pernah di lakukan sebelumnya hanya untuk seorang suami yang selalu menolak kehadirannya.
Farel menganggukkan kepala, ia langsung saja menghembuskan napasnya. "Kalau sadar, tidak perlu memasak lagi. Buang-buang uang saja." ucapnya dengan nada ketus. Sudah ia bilang berkali-kali jika masakan Zulfa tidak sebanding dengan seleranya, tapi sayang wanita itu susah sekali untuk di beri tahu!
"Tapi itu kewajiban aku mas!" seru Zulfa dengan nada bicara yang mulai bergetar. Jangankan menangis, menyerukan beberapa deret kalimat kepada Farel saja membuat rasa bersalah kian memuncak. Tapi kalau tidak ditegur pun goresan luka semakin terasa perih...
"Kewajiban apa lagi? Kamu lupa kalau pernikahan kita hanya paksaan tanpa persetujuan saya?!" Farel yang mungkin juga tidak pernah bisa santai dengan topik pembicaraan yang membawa-bawa pernikahan mereka pun akhirnya tersulut emosi. Entah bagaimana, sedikit nada tinggi itu keluar dari mulutnya dengan nada khas bariton seorang laki-laki.
Zulfa menghela napasnya. Jangan menangis, jangan menangis. Ia menguatkan dirinya sendiri dan menatap manik mata Farel yang begitu mengintimidasi. "Aku akan tetap menjadi istri mas apapun keadaannya." ucapnya sambil menyunggingkan seulas senyuman. Berdamai dengan keadaan adalah hal yang paling gemar di lakukan olehnya, ia sangat berterimakasih karena rasa sakit selalu membawa dirinya untuk tetap sabar dan kembali bangkit.
"Saya tidak menginginkan kamu," ucap Farel dengan nada dingin yang menusuk hingga ulu hati.
Tidak diinginkan oleh sang suami? Malapetaka apalagi yang harus dengan kejamnya singgah ke dalam hidup Zulfa?
"Tapi ini sudah takdir, mas!" balas Zulfa dengan seruan yang sekali lagi keluar dari mulutnya. Harus berlapis sabar apalagi dirinya supaya tetap merasa kuat menghadapi semua ini? Ingin marah kepada Farel pun pasti beberapa menit kemudian kembali reda dan memberikan perhatian lagi pada laki-laki itu. Memang hati para wanita itu selembut kapas.
"Takdir? Takdir saya hanya bersama Rani. Dan kamu adalah sebuah kesalahan di hidup saya. Jadi, berhentilah berharap." ucap Farel yang sudah jengah dengan obrolan yang semenjak mereka memiliki hubungan pun di bahas terus. Dirinya hanya ingin kebahagiaan, bukan masalah yang rumit seperti ini.
Egois? Tentu saja manusia perlu egois supaya bisa mencapai titik bahagia sesuai dengan keinginannya. Kalau tidak, ya seperti ini lah jadinya dijodohkan secara mendadak, menikah pun dadakan. Dan sialnya lagi, tidak boleh ada penolakan apapun yang bisa membatalkan.
Sakit. Itu yang dirasakan Zulfa saat ini. Sudah berkali-kali Farel menghancurkan harapannya, namun tidak membuat dirinya goyah. Selalu banyak kata sabar dan maaf dalam kamusnya. Bahkan rasa sakit ini seakan-akan hal yang sudah biasa ia dapatkan. Namun tentu saja rasanya sesakit ini. Lagi dan lagi, Farel mengatakan hal yang sangat menyakitkan.
Kalau Zulfa adalah sebuah kesalahan, biarlah itu menjadi sebuah kesalahan yang bisa di perbaiki oleh dirinya. Wanita ini berjuang untuk tetap mengerti segala kemauan Farel dari A-Z begitu seterusnya, apa itu masih menjadi sebuah alasan bagi laki-laki itu menolak Zulfa dengan embel-embel dirinya adalah kesalahan?
"Rani bukan gadis baik-baik, Mas." lirih Zulfa. Ia tidak bermaksud menghina atau mengejek Rani, tapi gadis mana yang berpakaian terbuka dan menurut saja jika di ajak masuk ke dalam club? Belum lagi kalau gadis itu menggantikan posisinya menjadi istri Farel, apa bisa Rani stay di rumah tanpa memiliki hasrat bepergian kesana kesini?
Farel menatap Zulfa dengan sinis yang tentu saja langsung menghujam ulu hati gadis itu. "Lalu? Kamu pikir, kamu sudah yang paling baik disini?" tanyanya dengan tatapan wajah yang lebih tajam dari sebelumnya. Selain topik pernikahan yang sensitif, membawa-bawa nama Rani di masalah mereka juga menjadi pembicaraan yang paling menyebalkan untuk di dengar.
"Bukan itu maksud aku, Mas." ucap Zulfa sambil menggelengkan kepalanya, ia seolah-olah mengatakan pada Farel jika laki-laki itu salah paham dengan apa yang terucap dari mulutnya.
Farel berdecih. "Kamu tidur di kamar tamu untuk malam ini, saya mual melihat wajah kamu." ucapnya menentukan sebuah keputusan.
Dengan senyuman yang di paksakan, Zulfa mengambil piring dan gelas kotor di atas nakas itu, lalu memandang wajah Farel sebelum keluar dari kamar. Memangnya mau apalagi selain mengalah dan menerima segala hal yang di perintahkan Farel pada dirinya? Sekali lagi ia selalu menerapkan untuk tidak membantah setiap perkataan suami.
"Perlu mas tau, gadis baik-baik tidak akan pernah mengizinkan laki-lakinya untuk berfoya-foya. Terlebih lagi gadis itu terlalu menampilkan bentuk tubuhnya pada orang lain. Apa gadis itu sudah cukup baik untuk mas? Aku permisi mas, terimakasih atas pengakuan mas yang sama sekali tidak menginginkan kehadiran aku." ucapnya yang dengan kalimat panjang itu, menunjukkan jika sifat dewasanya selalu hadir membimbing emosinya untuk tetap teredam walaupun sukar.
Setelah berhasil berbicara seperti itu, Zulfa berbalik badan tepat dengan buliran air mata yang menetes ke pipinya. Dengan cepat ia berjalan keluar kamar dan kembali menutup pintunya dengan rapat. Ia menangis dalam diam sambil merasakan sesak di rongga dadanya.
Dia, bukan gadis yang kuat.
Tidak, tidak. Raganya mungkin kuat, namun hatinya sangat rapuh. Apa benar begitu definisi para kaum hawa?
Sedangkan masih di dalam kamarnya, Farel merenungkan segala ucapan Zulfa yang menurutnya benar adanya. Ah tapi sudah sayang mau bagaimana pun akan tetap sayang. Ia kembali memposisikan tubuhnya pada kenyamanan di atas kasur, lalu menutup matanya
Berharap, mimpinya indah, lebih indah dari kisah percintaannya yang tiba-tiba berbelok rumit. Ia hanya ingin istirahat, dari jalan cerita yang menarik dirinya perlahan masuk ke dalam lubang hitam.
...
Next chapter