Chereads / Keep The Marriage / Chapter 12 - Bertemu Gadis Kecil

Chapter 12 - Bertemu Gadis Kecil

Kali ini Zulfa berada di pusat perbelanjaan bersama Dea, lagi. Kemarin ia lupa untuk membeli perlengkapan mandi dan juga makanan ringan yang biasanya ia letakkan di dalam toples, untuk camilan tamu saat datang ke rumahnya. Karena dengan sangat tidak sopannya Dea membawa makanan ringan stok berjaga-jaga jika habis, alasannya sih untuk kembali mengemil di rumah.

Niatnya berbelanja sih hanya sebentar saja, namun Dea merengek habis-habisan di tengah pusat perbelanjaan untuk memaksanya pergi membeli pakaian, dan sontak tingkah gadis itu menyita beberapa perhatian dari banyak orang. Terpaksa saat ini mereka sudah masuk ke dalam sebuah toko baju yang bermerk dan tentunya harga tidak bisa di anggap remeh.

"Kamu ngajak aku ke toko baju, memangnya kamu sudah gajian?" tanya Zulfa begitu melihat Dea yang sudah meneliti satu per satu baju, seolah-olah ia ingin membeli semua baju itu bahkan dengan mata yang sudah sangat berbinar. Ia benar-benar malu jika gadis ini tidak jadi membeli pakaian yang sudah di pegangnya. Jangan sampai mereka hanya masuk ke dalam toko ini hanya untuk melihat-lihat saja. Ini bukan pasar, camkan.

Kalau pun ingin melihat-lihat, setidaknya beli satu barang pun sudah cukup supaya tidak di nilai buruk oleh pelayan yang terkadang mengikuti setiap arah pandang pembeli. Risih, iya kan? Kalau mau belanja, di ikutin kesana kesini sama pelayan, rasanya jadi tidak ingin membeli apapun. Tapi untungnya di sini hanya dilihat dari jauh saja, tidak sampai benar-benar di ikutin.

Dea menganggukkan kepalanya, memangnya Zulfa pikir iya tidak ada uang? Tentu saja ada. "Enak aja, kalau uang lima ratus ribu mah aku ada, Fa." ucapnya sambil menepuk-nepuk tas selempang yang menyamping di tubuhnya. Ia mengangkat senyumannya lebar-lebar, membeli barang wah dengan hasil jerih payah sendiri adalah hal yang patut di banggakan.

Zulfa mengangguk paham, ia menghembuskan napasnya dengan perlahan. "Yaudah uangnya buat beli yang lain saja, kan sayang-sayang." ucapnya memberikan Dea nasehat. Toh memang benar kan masih ada keperluan yang lebih penting jika di bandingkan dengan baju?

"Yang di sayang itu suami, bukan uang." ucap Dea sambil terkekeh kecil. Ia menyapu pandangannya menatap ke deretan baju yang di gantung rapih pada setiap urutan harga yang tertera. Dari yang masih terjangkau harganya, sampai yang paling mahal pun jelas ada di sini. Memilih sesuai selera, tentu saja juga sesuai isi dompet.

Zulfa hanya tersenyum, ucapan Dea barusan sangat menghujam hatinya. Entah kenapa ia menjadi ingat wajah Farel, sosok dingin dan terkesan berbahaya. Bahkan laki-laki itu tidak berbuat baik kepada dirinya, menyapa saja jarang. "Itu kan memang kewajiban, di anjurkan di dalam agama." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman. Di balik senyum itu, banyak orang yang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Zulfa Naraya.

Dea mengangguk saja, lalu kembali fokus pada deretan sweater dengan berbagai motif. Ia adalah gadis yang belum bisa berpenampilan seperti layaknya Zulfa yang tentu saja sangat tertutup itu. Entah kenapa, hatinya belum mantap karena hijrah butuh persiapan yang matang.

Seakan penasaran, Zulfa juga melakukan hal yang sama dengan Dea. Ia ikut meneliti berbagai macam sweater yang memang sangat cocok jika di pakai ke tubuh sahabatnya itu yang masih setara seperti layaknya seorang ABG.

"Kamu mau beli juga, Fa?" tanya Dea begitu Zulfa sampai di samping tubuh sambil memperhatikan dirinya yang tengah menjulurkan tangan untuk menggeser satu per satu baju yang tergantung dengan motif berbeda-beda.

Zulfa tersentak kaget mendengar pertanyaan 'kamu mau beli juga?'. Pasalnya, ia belum pernah memakai pakaian seperti ini selama menikah dengan Farel, dan ia selalu menutupi lekukan tubuhnya di balik gamis panjang. Ia hanya ingin menjaga aset berharga yang ada di dalam dirinya untuk Farel, tidak ingin ada laki-laki lain yang melihatnya. Hanya Farel dan untuk Farel, ya walaupun rasanya mustahil.

"Aku rasa tidak." ucap Zulfa menolak pertanyaan Dea yang menurutnya tidak masuk akal. Masa ia dirinya gemar memakai gamis tapi membeli switer? Kan tidak seperti itu konsepnya.

Dea mengerutkan dahinya, "Ayolah, Fa. Masa kamu pakai gamis terus sih? Memangnya tidak panas?" tanyanya keheranan dengan Zulfa. Maaf ya ia memang suka sekali penasaran dengan orang seperti wanita yang kini tengah berada di sampingnya.

"Aku sedang membiasakan diri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, Dea." ucap Zulfa yang masih pada pendiriannya. Iya, benar. Hijrah memang sulit dan pasti banyak sekali godaan seperti Dea contohnya.

Dea menghembuskan napasnya, sekeras apapun usahanya untuk mengganti model pakaian Zulfa, tetap saja sahabatnya itu tidak pernah goyah dengan pendiriannya. Ia bangga, namun terlihat seperti kurang ceria saja jika memakai gamis terus menerus. "Terserah kamu lah, Fa. Yuk sekarang nilai penampilan aku ya." ucapnya sambil memegang masing-masing baju di kedua tangannya. Namanya juga gadis, pasti selalu memiliki kelabilan yang membuat bimbang dalam memilih sesuatu.

Zulfa tersenyum. Dea sangat cantik, gadis itu memang tidak berhijab seperti dirinya. Namun pakaiannya sangat sopan dan terlihat dewasa juga, padahal sifatnya benar-benar seperti anak kecil. Ia beruntung memiliki Dea di hidupnya, dari dulu mereka susah bersama-sama. Namun Tuhan memberikan dia nikmat dunia terlebih dahulu di bandingkan dengan Dea. Ah harta memang segalanya, namun untuk apa jika suaminya saja tidak pernah peduli?

Dea melambaikan tangannya untuk meninggalkan Zulfa sebentar karena ia ingin masuk ke dalam ruang ganti pakaian untuk mencocokan dengan tubuhnya. Ia jarang sekali berbelanja baju di pusat perbelanjaan, mentok-mentok pasti di pasar malam. Itu juga seratus ribu dapat tiga pasang baju, memang semurah itu tapi nyaman.

Ia menunggu Dea yang sedang berganti baju sambil memainkan ponselnya, siapa tahu kan Farel membalas pesan-pesannya? Laki-laki itu kini sedang bekerja, ia hanya mengingatkan supaya jangan lupa makan siang dan melaksanakan shalat zhuhur. Namun sayangnya, pesan yang ia luncurkan tidak pernah menarik perhatian Farel. Ia menghela napas lelah, merasa sudah tidak perlu berharap lebih pada apapun lagi.

Berharap pada manusia adalah hal yang salah. Karena sebagian manusia di muka bumi ini tidak akan menaruh realita lebih seperti ekspetasi. Yang ada membuat kecewa dan rasa sedih. Memangnya dari awal, harapan hanya berbuah rasa sakit.

Bruk

Zulfa terlonjak kaget saat melihat anak kecil yang tiba-tiba terjatuh di hadapannya, dan juga es krim yang gadis kecil itu genggam jatuh mengotori bagian bawah gamisnya juga mengotori lantai. Namun Zulfa tidak peduli akan pakaiannya, dengan secepat kilat ia membantu anak kecil itu berdiri takut terjadi sesuatu atau ada bagian tubuh yang sakit karena jatuh dengan suara yang cukup keras.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Zulfa sambil memperhatikan gadis kecil tersebut dengan sorot mata lekat, di tatap dari atas ke bawah. Ia takut ada luka gores atau kotoran lantai yang hinggap di pakaian gadis kecil yang menggemaskan ini.

Namun bukannya menjawab, tiba-tiba tanpa bersuara sedikitpun, anak kecil itu bersembunyi di balik tubuhnya sambil memeluk erat kaki Zulfa dari belakang. "Hei, kamu kenapa?" tanyanya sekali lagi karena merasa bingung dengan yang terjadi.

"Daddy aku jahat, dia nakal sama aku." cicit anak kecil itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang mulai berjalan ke arahnya. Tubuh atletis, rahang yang kokoh, dan jangan lupakan tatapan mata yang teduh seperti menebarkan kasih sayang.

"Tolong putri saya ada di balik badanmu." ucap laki-laki tersebut dengan suara bariton yang terdengar datar namun tenang, tidak seperti Farel yang mengintimidasi dan menyeramkan. Jangan ditanya lagi deh, Zulfa tidak memiliki kesalahan pun tetap di pandang seperti itu oleh suaminya.

Zulfa mengangguk, lalu membujuk anak kecil itu untuk keluar dari persembunyian yang berada tepat di balik tubuhnya. Gadis kecil yang manis dengan lesung pipi tercetak jelas itu mulai keluar dari persembunyiannya.

"Nakal." ucap laki-laki itu sambil mencubit gemas hidung gadis kecil itu. Tiba-tiba matanya beralih menatap gamis bagian bawah milik Zulfa yang terkena tumpahan es krim dengan raut wajah bersalah. "Akan ku ganti bajumu, kamu bisa memilihnya. Maafkan Jeje." ucapnya yang berniat untuk membayarkan baju wanita yang kini berada di hadapannya. Jeje melakukan kesalahan, tentu saja ia yang harus bertanggung jawab.

"Daddy kaya raya, tante. Tante bisa ambil apa saja yang ada di sini." celetuk Jeje sambil memeluk erat kaki laki-laki itu. Tercetak jelas sebuah senyuman yang sangat manis pertanda ia menyayangi orang yang tengah ia peluk kakinya itu.

Zulfa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia merasa tidak enak jika perihal seperti ini. Apalagi kalau menolak permintaan orang lain, tidak ia tidak bisa. Tapi lebih tidak enak lagi jika di bayarkan pada seseorang yang tidak di kenal, kanal sekalipun ia juga tidak pernah mau memakai uang orang lain. "Tidak perlu, dibasuh air juga nanti hilang." ucapnya mencoba untuk menolak dengan cara yang sangat lah halus. Ia tidak tahu bagaimana rasa menolak yang baik, lagipula apa yang di katakan dirinya ini benar.

Dibasuh air dikit saja, pasti noda es krimnya hilang. Lagipula juga tidak menjadi daya tarik orang-orang yang berlalu lalang. Memangnya siapa yang ingin memperhatikan penampilan orang lain secara detail? Pasti hanya ketidaksengajaan saja.

Laki-laki tersebut menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung karena ada orang yang menawarkan bantuan orang lain. "Tapi saya serius," ucapnya sambil menganggukkan kepalanya. Ia benar-benar ingin bertanggung jawab, toh kalau misalnya wanita di depannya ini memilih baju dengan harga fantastis sekalipun ia mampu membayarnya.

Jeje yang mendengar percakapan mereka pun hanya diam, sibuk melingkari tangannya masih pada kaki laki-laki ini.

Zulfa memberikan sebuah senyuman yang sangat sopan, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidal perlu, saya permisi dulu." ucapnya sambil meninggalkan kedua orang Daddy dan gadis kecil itu dengan cara pamitan yang sederhana dan tentunya sopan.

Kalau dirinya terlalu berlama-lama mengobrol dengan seseorang yang baru saja ditemuinya, bisa-bisa tingkat penasaran melonjak drastis.

"Dad, apa dia pengganti mommy?"

...