"Saya tidak mau dan saya tidak peduli!"
Bahu Zulfa merosot seketika, entah sejak kapan air mata sudah jatuh membasahi pipinya. Ini pertama kalinya ia nangis di hadapan Farel, laki-laki yang berstatus menjadi suaminya namun rasanya status itu hanyalah topeng dari tamparan kenyataan. Matanya menyorot lurus memancarkan tatapan memohon yang teramat dalam, tidak membiarkan sang suami menolak apa yang kini ia minta. Sungguh, sekali saja ia harap keberuntungan berpihak padanya.
"Aku mohon, Mas.." lirih Zulfa dengan sorot mata yang sudah sangat sendu. Mengapa rasanya sangat menyesakkan sekali? Terus-menerus berharap, dan baru sekali ini dirinya meminta sampai begitu memohon pada Farel. Sesulit itu untuk meluangkan sedikit waktunya bersama seorang Zulfa?
Farel menatap tajam ke arah wanita yang berada di hadapannya ini, tengah menangis yang menurut dirinya sangat drama supaya ia memiliki rasa kasihan dan menyetujui permintaannya. Ia berdecih lalu mengacak rambutnya kasar, sial sekali selalu berada di posisi yang sangat merugikan seperti ini. Ia benar-benar muak dengan segala tingkah Zulfa, apa tidak afdol ya sekali saja biarkan ia beristirahat di rumah. Menikmati secangkir kopi di ruang Televisi, ah tapi mungkin ity hanya angan semata saja. "Kamu pergi saja sendiri, saya sibuk." ucapnya dengan nada datar, bahkan tatapan matanya sudah seperti enggan meladeni istri tak teranggap itu.
Dan ya, untuk yang kesekian kali Farel menolak apapun yang Zulfa inginkan. Dari ke pusat perbelanjaan, sampai kini ke rumah sang ibu mertua pun ia tidak mau. Kalau dirinya harus berpura-pura, lebih baik tidak perlu pergi saja. Membuang-buang waktu hanya untuk menyunggingkan sebuah senyuman palsu seolah-olah mereka adalah keluarga harmonis. Boro-boro harmonis, terkadang saja tidur pisah kamar, kalaupun sekamar pasti Farel memberi pembatas guling diantara mereka.
Zulfa menahan sesak di dadanya. Hampir setiap hari mereka berantem karena hal yang sepele. Ia sudah menunggu selama ini sampai jam menunjukkan waktu tengah malam, namun Farel masih saja tidak pernah menganggap dirinya ada. Ia hanya menginginkan laki-laki itu untuk mengobrol dengan keluarganya, hanya itu.
"Sekali aja, Mas. Aku mohon..." Lagi dan lagi Zulfa melirih untuk yang kesekian kalinya.
Permintaan seorang ibu adalah hal yang paling Zulfa tunggu-tunggu, untuk menyenangkan hati seorang wanita paruh baya yang sudah sangat berarti di dalam hidupnya. Jadi, ia benar-benar tidak akan malu untuk merendahkan diri sampai memohon-mohon seperti ini supaya Farel ikut dengan dirinya. Sungguh, rasanya ingin berteriak jika dirinya lelah berada di situasi seperti ini.
Farel yang melihat air mata Zulfa yang semakin deras itu langsung saja memutar kedua bola matanya, ia jengah dengan wanita tersebut. "Tidak perlu memohon seperti layaknya wanita murahan," ucapnya dengan tegas. Kalau Rani yang memohon-mohon seperti ini, pasti ia sudah peluk untuk menenangkan gadis itu, dan mungkin tidak akan menempatkan situasi seperti ini pada sang pacar tercinta.
Tercinta? Iya lah, Farel memang mereka buta cinta dengan Rani. Yang pasti, memang hatinya masih mengikuti nama gadis tersebut.
Terkejut dengan apa yang di ucapkan Farel, Zulfa menggelengkan kepalanya tak habis pikir sambil mengusap air mata yang berjatuhan ke permukaan wajahnya --ya walaupun tidak berguna karena perkataan suaminya barusan membuat air mata turun semakin deras--. "Mas, jaga ucapan kamu!" serunya tidak terima.
Di kata seperti wanita murahan oleh suami sendiri? Bagaimana rasa sakitnya? Ada yang pernah membayangkan? Ah tidak, cukup Zulfa saja yang merasakan bagaimana kepahitan pernikahan ini. Kalimat sederhana, namun membuat hatinya remuk dalam sekejap.
Semakin Zulfa diam, Farel semakin bertindak seenaknya. Ia marah, namun selalu tidak bisa pergi menjauh. Ingat tentang perjanjian pernikahan yang mereka ucapkan sewaktu mengucapkan ijab kabul. Apalagi ia sangat tidak ingin menjadi janda di kemudian hari, pasti di nilai jelek pada lingkungan sekitar. Dan ya tentu saja alasan yang paling utama adalah, ia mulai menaruh hati pada Farel. Baiklah, memang terdengar bodoh tapi keseharian dirinya bertemu dengan laki-laki itu tak bisa di pungkiri lagi jika perasaan sayang mulai tumbuh.
"Kamu semakin hari semakin merepotkan, Fa. Semakin banyak mau, semakin menuntut saya menjadi suami mu. Ingat status, Fa. Saya memiliki kekasih, dan kamu hanya wanita yang datang di antara kita." ucap Farel seraya melepas jaket yang melekat di tubuhnya, baru pulang ke rumah tapi sudah di suguhkan masalah yang seperti ini. Ia mengacak rambutnya merasa tersudut di posisi yang memang tidak pernah menguntungkan dirinya. Ia menolak ajakan Zulfa karena ketidaksiapan untuk bertindak layaknya seorang menantu, mungkin ia tidak akan pernah siap.
Deg
Dada Zulfa seakan sakit. Tadi ia disamakan seperti wanita murahan dan sekarang menurut laki-laki itu dirinya sangat merepotkan dan menuntut?
Terkadang memang ucapan laki-laki sangat mampu mengena di hati, ucapan laki-laki sangat jahat di bandingkan dengan ucapan wanita. Karena para laki-laki, tidak paham kalau setiap inci perkataannya itu bisa saja menyakiti hati wanitanya. Iya, mungkin menurut mereka biasa saja dan hal yang wajar, namun jika kalian berada di posisi Zulfa, apa itu sebuah kewajaran?
"Lagipula aku membelikan perhiasan untuk ibu memakai tabungan sendiri, Mas. Bukan tabungan kamu kok, jadi uang kamu aman." ucapnya yang berpikir jika Farel kesal dirinya memberikan perhiasan yang cukup mahal untuk sang ibu pakai ATM laki-laki itu, ya notabenenya uang yang Farel berikan seharusnya untuk keperluan rumah.
Mendengar penjelasan Zulfa tanpa pertanyaan itu pun membuat Farel menaikkan sebelah alisnya. "Saya tidak bertanya." ucapnya dengan raut wajah yang benar-benar datar. Toh memang benar, kan? Tidak ada yang bertanya akan hal itu. Mau di pakai atau tidak, Farel akan tetap memberikan uang mingguan dengan nominal sepuluh juta.
Bayangkan sepuluh juta di kali minggu dalan satu bulan, dan sejak menikah Zulfa jarang sekali memakai uang itu. Berapa kira-kira uang yang berada di ATM-nya? Menikah dengan seorang Brahmana memang tidak akan pernah merasa kekurangan dalam urusan materi, ingin mobil pun dalam hari itu juga Farel akan langsung membelikannya. Tapi untuk rasa kasih dan cinta, sepertinya harus mengalah terlebih dahulu dengan takdir yang masih memihak Rani.
"Sekali aja, Mas. Buat kita, buat ibu aku." ucap Zulfa yang masih tidak berhenti untuk membujuk Farel walaupun seharusnya ia tahu kalau sampai kapanpun laki-laki itu tidak akan pernah ingin berjalan berdampingan dengan dirinya.
Untuk hati yang sangat kuat akan cobaan, semoga mendapatkan imbalan setara di kemudian hari. Semoga hati yang patah memiliki tumpuan untuk singgah dan mengobati hati. Dan untuk seseorang tanpa hati yang menolak kehadiran takdir, semoga segera tersadarkan kalau yang tersulit itu memilih dan bukan mempertahankan seseorang yang sama sekali tidak sejalan.
"Kita? Ingat ya, Fa. Di dalam hidup saya itu tidak akan pernah muncul kata kita. Jangan terlalu memaksakan takdir." ucap Farel kembali mengingatkan tentang hubungan mereka yang sama sekali tidak patut untuk diharapkan kedepannya, lagipula ya ia juga sama sekali tidak memiliki harapan apapun pada pernikahan ini.
Zulfa menutup mulutnya, menahan supaya suara tangisnya tidak keluar semakin kencang. Ia tidak ingin mengganggu para ART yang berada di rumah ini, yang pasti sudah mengetahui bagaimana hancurnya pernikahan sang majikan. "Kamu, Mas. Kamu yang selalu memaksakan takdir." ucapnya dengan tatapan tidak percaya. Farel selalu menyalahkan dirinya, ia memang seperti itu, selalu saja dirinya yang salah dan mengalah.
Farel berdecak, ia paham pasti Zulfa ingin membawa nama Rani dalam pertengkaran mereka kali ini. Ia tidak suka. Rani tidak pantas untuk di salahkan, dan tidak ada siapapun yang pantas. Kecuali Zulfa, dia sudah merusak segalanya. "Berhenti, Fa. Saya muak." ucapnya yang memilih untuk tidak memperpanjang semua ini. Ia sudah lelah menghabiskan waktu bersama Rani, dan ia tidak ingin menghabiskan waktu lagi bersama Zulfa untuk sekedar bertengkar.
"Asal besok Mas mau ke rumah ibu aku, aku pasti akan berhenti gak bakalan berisik." Zulfa menatap dalam sorot mata Farel, ia hanya ingin menyampaikan lewat tatapan itu jika dirinya benar bersungguh-sungguh.
"Berisik kamu." ucap Farel. Ia enggan meninggalkan Zulfa kalau masalah ini belum selesai. Ya pasti wanita itu akan selalu menghantui dirinya dengan berbagai perkataan memohon yang sangat beragam.
"Aku mau Mas menemani diriku besok, seharian. Aku tidak menerima penolakan." ucapnya yang kini bertindak tidak ingin di bantah. Kalau Farel bisa seperti itu, kenapa dirinya tidak?
"Saya ada janji dengan Rani, dan saya tidak akan segan untuk selalu menolak diri mu." ucap Farel yang masih saja tidak menyaring apapun yang ia katakan, walaupun wanita tersebut sudah membasahi wajahnya dengan air mata, apalagi suara tangisan yang sangat memilukan.
Zulfa menghapus air matanya dengan perlahan lalu tersenyum manis. Sudah cukup ia berdiam diri, jika ada yang patut untuk di perjuangkan, ia akan memperjuangkan Farel. Ia akan mengalahkan Rani, walaupun membutuhkan waktu yang lama. Ya memang, memperjuangkan sebuah kebahagiaan sangat lah sulit. Dan ia sama sekali tidak peduli dengan segala kesulitan itu.
"Aku tidak peduli, Mas." ucapnya yang sudah menahan agar air mata itu tidak turun kembali. "Oh ya, Mas. Aku sudah menyiapkan air hangat jika kamu ingin mandi, pakaianmu sudah aku siapkan." sambungnya yang teringat akan air hangat sebelum Farel kembali ke rumah mereka.
Setelah berbicara seperti itu, Zulfa melangkahkan kaki ke arah kasur, meniduri dirinya di kasur king size. Memasuki alam mimpi tanpa ingin memperpanjang masalah ini. Ia tidak lelah, ia hanya mengalah untuk kebaikan. Toh dirinya juga ingin berjuang untuk pernikahan ini, apa terbalik ya? Seharusnya kan laki-laki yang memperjuangkan wanita.
"Egois." gumam Farel sambil memutar kedua bola matanya. Lihat saja besok, ia tidak akan melakukan apa yang disuruh Zulfa padanya. Memangnya siapa gadis itu? Oh iya, istrinya ya? Ah masa bodo toh dia tidak menganggap keberadaan Zulfa sama sekali.
Sekali benalu tetap benalu.
Rani masih menjadi prioritasnya, bukan Zulfa. Memangnya mudah untuk melupakan seseorang yang sudah sangat berharga di kehidupan mu? Tentu tidak.
...
Next chapter