Chereads / Keep The Marriage / Chapter 19 - Sang Pengendali

Chapter 19 - Sang Pengendali

Farel menggenggam erat jemari Rani begitu gadisnya keluar dari mobil. Ia tersenyum senang mengingat hari ini adalah hari yang paling di tunggu olehnya dan juga Rani tentu saja.

"Aku akan membersihkan tubuhku dan berganti pakaian yang lebih sopan, setelah itu kita berangkat ke rumah orang tua mu." ucap Farel sambil mencium lembut punggung tangan Rani.

Kulit Rani yang halus dan putih bersih menjadi hal yang sangat di sukai oleh Farel. Apalagi aroma jeruk yang di pancarkan dari tubuh Rani sendiri menambah hawa tenang yang menyegarkan, aroma yang paling di sukai oleh dirinya karena ya entahlah memang memabukkan.

"Aku tunggu di mobil saja, lagipula kamu pasti tidak akan lama, sayang. Kecuali persiapan mu layaknya seorang gadis seperti ku, sudah dapat di pastikan jika itu akan memakan waktu." gumam Rani sambil tersenyum manis. Ia kali ini benar-benar sangat gugup. Entah kenapa ia sangat cemas dengan pertemuan kali ini. Padahal sudah sering kali Farel berkunjung atau main ke rumah orang tuanya.

Farel menggelengkan kepalanya, merasa tidak setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh gadisnya ini. "Kamu harus masuk ke dalam, sayang. Sarapan dulu dengan Bi Ijah." ucapnya dengan sangat teramat lembut, tentu saja ia tidak membiarkan kekasihnya untuk menunggu di dalam mobil, sama saja tidak memperlakukan seorang gadis dengan baik dong?

"Kamu kan tau kalau Bi Ijah tidak pernah menyukai aku. Daripada aku tidak nyaman, lebih baik menunggu di sini saja, sayang..." lirih Rani. Memang benar, tidak ada satupun keluarga Farel yang menyukai dirinya. Entah mereka menganggapnya hanya sebagai hama di hidup Farel, atau mereka yang selalu memandang buruk mengenai penampilan dirinya.

Apa semua orang akan mencela seorang wanita dengan pakaian yang fashionable? Ya pakaian terbuka dengan dress terkadang menampilkan punggung mulusnya memang sudah menjadi pakaian yang sangat lumrah di kalangan gadis seusianya, apalagi kan keluarga Brahmana sangat terpandang. Masa iya malu dengan penampilannya yang cocok sekali saat di bawa Farel untuk menemui para kolega besar?

"Jangan seperti itu, sayang. Kamu tahu jika mereka belum mengenal dirimu lebih jauh lagi. Jangan dengarkan apapun perkataan mereka, kalau aku tetap memilih ku itu adalah konsekuensi." ucap Farel sambil mencium puncak kepala Rani, meraih tengkuk gadisnya untuk dielus dengan teramat lembut.

Rani menghela napasnya saat mendengarkan kalimat yang di lontarkan oleh Farel. "Aku mundur aja ya? Semuanya terasa menyakitkan, aku hanya di pandang buruk kalau seperti ini, Farel. Mereka tidak mengerti bagaimana berada di posisi ku. Tentu saja aku terluka," ucapnya dengan nada rendah.

"Tidak, dengan cepat akan aku sudahi semua ini. Kamu tenang saja, jangan terlalu khawatir. Apapun caranya, Farel untuk Rani dan begitu sebaliknya."

"Jangan terus menerus memberikan aku harapan, Farel. Berikan aku sebuah pembuktian yang nyata, aku tidak membutuhkan janji tanpa bukti."

"Aku akan membuktikannya pada diri mu, oke? Kamu harus percaya dengan ku,"

Melihat kesungguhan Farel yang tercetak jelas di kedua manik matanya membuat rongga dada Rani terasa menghangat, seperti ada ribuan kupu-kupu yang tengah beterbangan. "Semoga kamu tidak berbohong, aku benci dengan seseorang yang nantinya akan melupakan janji." ucapnya dengan sorot mata yang mulai tenang namun tak dapat di pungkiri tercetak sedikit bercak khawatir di bola mata tersebut.

"Tenang saja, kalau hal itu terjadi kamu hanya perlu menyadarkan aku dari kesalahan memilih jalan untuk berlabuh."

"Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

Farel mendekati wajahnya dengan wajah Rani. Menatap lekat bibir ranum itu, lalu melumatnya dengan lembut membuat tubuh Rani melemas namun tidak ayal juga ia membalas lumatan Farel.

Rani melepas genggaman mereka, lalu menahan tengkuk Farel supaya mencium dirinya dengan lebih dalam lagi.

"MAS!"

Dengan cepat, mereka menyudahi ciuman dengan napas yang memburu saat mendengar suara pekikan yang tentu saja sangat di kenali itu. Mereka menatap satu sama lain, melihat Zulfa yang memancarkan sorot mata kekecewaan.

Namun bukannya merasa bersalah, Farel kembali mengecup bibir Rani. Setelah itu menggenggam erat tangan gadisnya itu, tanpa wajah berdosa sedikitpun. "Jangan hiraukan dia." ucapnya sambil membawa Rani untuk masuk ke dalam rumah, melewati sosok wanita yang dengan sangat tegar menyaksikan pemandangan seperti ini.

Rani sempat berpapasan mata dengan Zulfa, ia tersenyum meledek dan membisikkan sesuatu ke telinga wanita tersebut dengan nada menyenangkan khas menjatuhkan.

"Kamu kalah, Zulfa."

Mereka sudah berada di dalam rumah, meninggalkan Zulfa yang masih terpaku di halaman depan. Ia melihat Bi Ijah yang tersentak dengan kedatangan Rani ke rumah ini, lagi.

"Tuan ingin sarapan?" tanya Bi Ijah, ia berusaha tidak menatap sinis ke arah Rani. Tolong, ia benar-benar tidak suka dengan wanita yang kerjaannya hanya merebut suami orang. Ah, bukan merebut, justru Rani memang sudah ada sejak lama, namun tetap saja seharusnya dia tahu diri dam melepaskan sang Tuan rumah untuk sang istri yang sudah melakukan segalanya untuk memberikan hak dan kewajibannya.

Farel menggelengkan kepalanya, merasa tidak lapar sama sekali. "Tolong perlakukan Rani dengan baik dan siapkan satu porsi sarapan untuknya. Jangan masakan Zulfa, Bibi bisa membuatkan menu American Breakfast untuk Rani. Saya tidak menerima penolakan," ucapnya dengan nada tegas. Ia sepertinya harus memberi teguran pada Bi Ijah mengenai sikapnya terhadap Rani. Bagaimanapun juga, Rani adalah kekasihnya. Tidak pantas diperlakukan kasar atau pun dipandang rendahan.

Bi Ijah mengangguk, ia sangat paham jika Farel sudah mengubah intonasi suaranya pasti ia sudah masuk ke dalam situasi tidak aman. "Baik, Tuan. Kamu Rani bisa langsung duduk di kursi." ucapnya dengan nada yang datar sambil menatap Rani yang sedang sibuk bergelayut manja di lengan Farel.

Rasanya Bi Ijah ingin mendorong tubuh Rani dan meneriaki 'TUAN ITU SUAMINYA NYONYA!'. Tapi kalimat itu hanya bisa di lontarkan di dalam hati saja tanpa berani untuk mengeluarkannya.

Kalau Farel bisa dengan seenaknya menghujam Zulfa dengan segala perlakuan kasar, namun kenapa Rani tidak mendapatkan hal yang sebanding? Justru berkebalikan.

Rani menekuk senyumnya, lalu menyenggol pinggang Farel supaya mendapat pembelaan atas sifat Bi Ijah kepadanya.

Farel berdehem, dan menatap dingin ke arah Bi Ijah. "Tolong perlakukan Rani dengan baik, atau Bibi saya pecat." ucapnya yang memang selalu menuruti apa yang dikatakan Rani, belum menjadi istri saja sudah berani memerintah ini dan itu.

Rani tersenyum puas saat melihat ekspresi ketakutan yang tercetak jelas di permukaan wajah Bi Ijah. Ah, mudah sekali jika bersama Farel. Apapun yang tidak mungkin menjadi mungkin adanya, hanya mengatakan apa yang ia inginkan, dan detik selanjutnya langsung terwujud.

"Terimakasih, sayang." gumam Rani sambil mencium pipi Farel. Ia melangkahkan kaki dan langsung duduk di kursi makan tanpa membahas perihal Bi Ijah lebih lanjut lagi, menunggu makanan mewah yang akan di hidangkan untuknya.

Bayangkan saja, Zulfa pagi ini memasak nasi uduk, orek tempe, telur orek, dan telur balado. Makanan macam apa itu? Sudah pasti Farel tidak akan menyentuhnya, apalagi seorang Rani. Ia sudah menaruh pikiran tidak enak, wajar saja 80% dirinya adalah warga luar yang memang lebih memilih menetap di Indonesia.

Maaf saja, ia sudah terbiasa makan makanan mewah. Tidak bermaksud sombong, ah tapi yasudah lah berbicara kenyataan pun hanya mendapatkan sudut pandang negatif saja.

"Aku bersiap dulu. Kalau Zulfa bertingkah aneh padamu, bilang saja padaku."

Rani menganggukkan kepalanya, mengerti dengan ucapan sang kekasih. Tentu saja hal itu membuat Farel tersenyum senang lalu dirinya mulai menaiki anak tangga untuk pergi ke kamar dan mulai membersihkan tubuh untuk menghadap ke orang tua Rani.

"Kamu pengendali."

Rani menoleh ke arah Bi Ijah lalu tersenyum manis saat menyadari jika wanita paruh baya itu ternyata berbicara pada dirinya, ah bukan, mungkin lebih ke arah sebuah senyum puas?

"That is me. Jadi, jaga sikap ya, Bi. Dan ya perlu Bibi ingat, aku dengan segera akan menggantikan posisi Zulfa di rumah ini. Jadi, belajar sopan terhadapku."

"Jangan menjadi gadis licik yang menyebalkan, Tuhan mempunyai seribu satu cara untuk membantu Nyonya Zulfa."

"Membantu? Mungkin selama ini Bibi kali yang telah di cuci otaknya dengan wanita berhijab itu."

"Bahkan Zulfa lebih suci daripada kamu, Rani."

"Suci atau tidak tentu saja itu tidak dapat di ukur dari segi penampilan, Bibi."

"Bukan, Bibi sama sekali tidak mempermasalahkan pakaian mu. Tapi perilaku yang terlalu meninggi membuat diri mu lupa memiliki tata krama, ingat kalau karma selalu menunggu orang-orang yang tamak terhadap dunia."

Mendengar Bi Ijah yang sepertinya sudah akan memulai sebuah ceramah singkat di pagi hari, tentu saja membuat Rani langsung memutar kedua bola matanya. Ia memutar kinerja otaknya, dan voila lebih baik untuk mengalihkan pembicaraan.

"Sebaiknya Bibi buatkan aku sarapan aja deh, jangan banyak berbicara yang tidak perlu."

"Benar-benar pengendali yang sangat licik,"

Rani menaruh ponselnya di atas meja makan, lalu mengetuk-ngetuk jemarinya yang terpasang kuku cantik palsu ke meja.

Tuk

Tuk

Tuk

"Rumah mewah yang sebentar lagi akan menjadi milik ku, ah tidak sabar." gumamnya sambil menarik sebuah senyuman miring.

Ia memang terlalu pintar untuk mengendalikan semua rasa. Baginya, siapapun yang duluan memiliki, pasti akan menerima hasilnya. Tidak ada kata perpisahan kalau tidak adanya pemicu, dan pemicu yang paling berbahaya itu adalah Zulfa.

Masih tetap ingin mendukung Zulfa yang seharusnya wanita itu lah yang di cap buruk oleh banyak orang karena sudah merusak hubungan dirinya dengan Farel.

Jadi, siap bermain dengan sang pengendali ini?

"Kalau ingin bermain, akan aku ucapkan selamat datang. Dan penyambutan itu sudah berlaku sejak kehadiran kamu, Zulfa."

Tidak ada hubungan yang ingin di rusak oleh orang ketiga, begitu juga dengan dirinya. Karena perusak, hanya berlaku untuk di buang, tidak memiliki fungsi.

Apakah hal itu cocok untuk di berikan untuk Zulfa, atau justru sebaliknya?

...

Next chapter