Zulfa menatap sosok Rani dengan raut wajah yang terbilang sangat datar. Ia benar-benar tidak menyukai kehadiran gadis itu yang seperti merebut segalanya dari dia. "Kamu boleh pulang, Mas Farel ingin ke rumah orang tuaku." ucapnya dengan nada yang terdengar sedikit sinis. Bagaimana tidak? Bayangkan jika laki-laki yang sudah sah menjadi seorang suami mencium gadis lain dan mengatakan kalimat cinta yang sangat manis itu?
Sangat wajar kan jika dirinya bersikap seperti ini?
Rani yang tadinya sibuk melihat ke arah layar ponsel yang menampilkan akun Instagram para artis papan atas dari artis luar negeri sampai artis tanah air, memutuskan untuk menolehkan kepala ke arah Zulfa dan menaikkan sebelah alisnya. "Kamu bicara sama aku?" tanyanya sambil menolehkan kepala ke kanan dan kiri, lalu kembali pada wajah Zulfa lagi. Ia sama sekali tidak merasa ditegur oleh wanita itu, memangnya bisa ya dirinya di usir dengan sangat tidak terhormat?
Dalam hati, Zulfa sudah merapalkan beberapa kalimat istighfar yang bisa menenangkan hatinya. Sepertinya ia harus menyiapkan mental yang sangat banyak untuk menghadapi Rani.
"Saya tidak bercanda, Rani. Saya mau kamu keluar dari rumah ini, saya tidak ingin Farel kembali pergi bersama diri mu karena kita memiliki rencana untuk keluar rumah." ucapnya dengan deru napas yang sudah tidak tenang.
"Memangnya kamu pikir aku bercanda? Selera humor kamu rendah sekali, sama seperti orangnya." ucap Rani dengan sinis lalu menarik sebuah senyuman miring yang terlihat sangat tidak bersahabat. Ia merasa menjadi sosok yang sangat kejam, padahal ia hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.
Sabar, Zulfa. Di balik kesabaran ada imbalan kebahagiaan yang menanti.
"Lebih baik kamu sholat, Rani. Berdoalah supaya Tuhan memaafkan segala perkataan kamu yang sangat tidak beretika."
"Gak perlu bawa-bawa agama, berhenti bertindak seperti orang yang paling suci kalau sebenarnya kamu lah sarang masalah dari hancurnya hubungan kami."
Zulfa melihat ke arah jemari Rani yang sangat menarik perhatian, kini di jari tersebut sudah terpasang sebuah cincin perak dengan berlian kecil di ujungnya. "Tumben kamu pakai cincin," ucapnya yang mengalihkan pembicaraan saat melihat benda cantik yang sudah melingkari jari manis gadis yang tengah duduk di kursi makan itu.
Rani memutar bola matanya saat mendengarkan pertanyaan Zulfa, entah kenapa ia merasa wanita tersebut semakin penasaran dengan kehidupannya. Wanita yang bisa di bilang benar-benar tidak sebanding dengan dirinya. Maaf bukannya sombong, ia hanya membela apa yang benar dan sesuai kenyataan.
"Sejak kapan kamu menjadi kepo? Apa itu yang dilakukan semua ustadzah? Jangan mau tahu sama urusan orang, kamu saja tidak jauh lebih baik daripada diri ku."
Zulfa tersentak, ia memikirkan apa yang diucapkan Rani. Benar, kenapa dirinya menjadi sepenasaran ini? Ah tapi sisi hati lainnya mengatakan jika ia merasa janggal dengan cincin tersebut.
Melihat Zulfa yang diam, Rani berdecih. Menurutnya, wanita itu benar-benar munafik. "Kenapa diam? Kalah? Atau gimana? Banyak hal yang Farel tidak suka dari kamu, dan aku baru menyadarinya. Penampilan yang kuno, masakan kalangan bawah, rasa penasaran yang tinggi, dan satu lagi, kamu sama sekali tidak memakai make up. Wajar Farel lebih memilih aku," ucapnya yang menggunakan nada sinis.
Kalau Zulfa tidak suka dengan dirinya, ia akan melakukan hal yang serupa untuk wanita tersebut. Ia tidal pernah meminta orang lain untuk membela jika berada di posisi seperti dirinya, karena ia masih sanggup kok untuk membela diri sendiri.
Ucapan Rani sangat menohok ulu hati Zulfa karena terdengar sangatlah tajam, hal ini membuat dirinya langsung bergeming, ia kehabisan kata-kata.
Lagi-lagi, Rani menang. Membuat senyuman kemenangan yang terkesan sombong itu langsung saja tercetak jelas di permukaan wajahnya.
"Ayo sayang kita pergi,"
Suara bariton yang menjadi perebut hati dua wanita itu pun akhirnya menginterupsi suasana. Membuat keadaan panas akibat adu mulut itu terpecah karena sudah kehilangan topik bahasan.
Tatapan Zulfa maupun Rani langsung melihat ke arah Farel yang kini sedang berusaha membenarkan ikatan pada dasinya. Belum sempat Zulfa beranjak menghampiri Farel, Rani sudah lebih dulu berjalan ke arah suaminya dengan senyuman yang sangat manis. Kali ini Zulfa mengaku kalah cantik dengan Rani.
"Kamu kalau pakai dasi yang benar, kan aku jadi suka kalau selalu memakaikan dasi untukmu." ucap Rani dengan volume suara yang lumayan besar. Hari ini, ia akan menjatuhkan Zulfa habis-habisan. Kejam? Tidak, kan sudah ia bilang, ia hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.
Napas Zulfa tercekat, ia melihat hal yang seharusnya tidak ia lihat. Rasanya seluruh kalimat protes ingin keluar dari mulutnya, namun tertarik kembali masuk ke dalam kerongkongan.
Dengan mata kepalanya sendiri, yang seharusnya kegiatan 'memakaikan dasi' adalah tugasnya menjadi seorang istri terlempar sudah. Ia merasa bukan siapa-siapa di dalam hidup Farel. Laki-laki itu, hanya menganggap Rani. Terlebih lagi, gadis menyebalkan itu sekarang sudah berganti untuk memeluk sayang lengan kokoh Farel. Bohong jika Zulfa tidak cemburu akan hal itu.
Seorang Zulfa, kini merasakan cemburu yang paling dalam. Hanya untuk laki-laki seperti Farel yang mampu membuat dirinya seperti ini.
Iya, takdir memang kejam, namun yang lebih kejam itu adalah sebuah tamparan keras dari kenyataan.
"Kamu kali ini mau bawakan apa untuk mommy?" ucap Rani dengan manja. Ia sengaja ingin memancing amarah Zulfa.
Farel mengangkat alisnya. "Seperti biasa, kan?" tanyanya yang seperti sudah hapal dengan keinginan Mommy Rani. Sebenarnya ia adalah menantu idaman, kalau takdir berpihak baik pada Zulfa yang bernotabene Ibu Zulfa pun merasakan keberuntungan memiliki 'the perfect son-in-law'.
'Seperti biasa' adalah kalimat yang menunjukkan jika hal itu sudah sering di lakukan. Dan tebak, seberapa sering kah Farel pergi ke rumah orang tua Rani? Lagi dan lagi rasa sakit menjalar begitu cepat ke seluruh tubuh Zulfa. Jangankan Farel tahu hal apa yang diinginkan ibunya, untuk sekedar berkunjung dan mengobrol saja laki-laki itu enggan dan menolak tanpa adanya perubahan pikiran.
Bahkan, untuk berkunjung ke rumah orang tua Zulfa saja ia TIDAK pernah SUDI.
Jadi, siapa yang sebenarnya menempati posisi 'istri' di kehidupan Farel?
Rani menganggukkan kepala saat mendengar ucapan Farel sambil melirik ke arah Zulfa yang kini sudah menunjukkan wajah sedihnya. Sasarannya, berhasil. Ia memang pandai sekali membuat suasana hati wanita yang berada tidak jauh dari hadapannya itu menjadi berantakan. Apalagi Zulfa sangat mudah terpancing, baru melemparkan umpan beberapa buah saja sudah membuat dirinya memekik teriakan kemenangan di dalam hati.
Terlalu mudah untuk menyingkirkan Zulfa, sama seperti layaknya menyingkirkan hama menggunakan pestisida.
"Mas, kamu serius tidak jadi kerumah ibu aku?"
"Tentu saja, saya sudah bilang pada mu jika memiliki janji serupa dengan Rani. Dan yang seperti kamu tahu kalau saya itu akan selalu mengutamakan gadis yang sudah ada lama bersama saya, dan hal itu tidak akan berubah."
"Tapi sebentar aja, Mas. Ku yakin kalau Ibu ingin sekali mengobrol dengan mu,"
"Tidak peduli. Ada calon Ibu mertua lainnya yang menunggu kedatangan saya, kenapa kamu selalu memaksakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi?"
"Dan kenapa Mas selalu memaksakan keadaan untuk selalu bersama Rani, padahal aku selalu ada untuk kamu, Mas."
"Jawabannya masih selalu sama, Zulfa. Kamu memang tidak pernah mengerti apapun, iya kan?"
Zulfa menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan perkataan Farel. Baginya, masalah ini hanya mutar-mutar saja tanpa adanya penyelesaian. Sebenarnya, di sini siapa yang menempati posisi istri dan siapa yang menempati posisi kekasih? Rasanya seperti terbalik.
"Memangnya sekali saja buat aku bahagia gak bisa ya, Mas? Selalu saja aku yang jadi terakhir dan yang paling terbelakang,"
"Tidak bisa, karena mungkin bahagia kamu bukan ada di tangan saya, Fa."
"Tapi, Mas--"
"Takdirnya memang seperti itu, Fa."
Dadanya sesak, tenggorokannya semakin tercekat, belum lagi kristal bening yang tertahan di kedua kelopak mata itu sudah menyiratkan seberapa rasa sakit yang sudah Zulfa tahan. Ia hanya ingin mendapatkan hak dan kewajiban seperti layaknya seorang istri, berbakti kepada suami tanpa meminta imbalan. Namun yang ia dapatkan hanya rasa sakit yang berkepanjangan.
Sedangkan Rani? Gadis itu diam-diam saja mendengarkan pertengkaran kecil ini. Tidak ingin ikut campur tapi sorot matanya mengatakan bahwa ia gembira ada di posisi saat ini, menyaksikan pertengkaran yang semakin membuat kemenangan berpihak pada dirinya.
Farel memeluk pinggang Rani dengan mesra, lalu membawa tubuh gadis itu untuk pergi ke luar rumah. Ia tidak ingin memperpanjang masalah dengan berdiam diri di rumah ini lebih lama lagi, bisa-bisa nanti waktunya terulur begitu saja.
"Jaga rumah ya, Bi. Dan untuk Zulfa, jangan menunggu kepulangan saya. Saya akan seharian bersama Rani, dan mohon dimengerti untuk hal ini. Jadi, tolong kubur semua harapanmu yang berharap kalau aku akan pulang cepat hari ini. Saya pergi dulu,"
Dalam diam, Rani tersenyum miring sambil mengikuti setiap langkah Farel. Saat melewati tubuh Zulfa, ia mengerucutkan bibirnya seolah-olah sedih dengan nasib yang menimpa wanita tersebut. Padahal dalam hati pun ia tertawa puas. "Bye bye, wanita sok suci, selamat menikmati kesedihan mu." gumamnya dengan volume suara kecil, bahkan sampai Farel pun tidak sadar kalau dirinya melakukan hal itu.
Deg
Hati Zulfa kembali nyeri.
"Hati-hati ya, Mas. Jangan lupa nanti sholat dan sarapan tepat waktu,"
Ucapannya itu hanya terdengar pada dirinya sendiri. Tidak ada mendengar, bahkan sapuan angin pun tidak mungkin menyampaikan kalimat ini untuk seseorang yang dituju karena kedua insan itu sudah melangkah jauh bahkan sudah keluar dari rumah megah ini.
"Hati-hati juga dengan gadis berhati layaknya iblis itu, Mas."
Kandas semua seluruh harapannya, kini yang ia tahu jika dirinya benar-benar merasa cemburu dengan Rani yang bisa merebut semua perhatian Farel dari dirinya. Selamat, ia memang sosok yang rapuh tanpa ada seseorang sebagai sandarannya.
...
Next chapter