Chereads / Keep The Marriage / Chapter 15 - Permintaan Ibu

Chapter 15 - Permintaan Ibu

Kali ini Zulfa tidak langsung pulang ke rumahnya, seperti Dea yang sudah di rumahnya yang mungkin kini sudah menikmati kembali makanan miliknya. Ia mampir ke salah satu toko perhiasan, memiliki niatan untuk membelikan sesuatu untuk ibunya.

Mungkin kalung atau cincin, ya itu adalah perhiasan terbaik sebagai hadiah untuk seorang wanita yang sudah sangar bersungguh-sungguh menjaga dan membesarkan dirinya sampai detik ini. Ia hancur pun tidak akan mengatakannya dengan jujur, berpikir jika ia menjelaskan semua pasti akan menjadi beban pikiran.

"Eh Mbak Zulfa."

Zulfa tersenyum kala melihat sosok gadis yang mendekat ke arahnya, dengan mengulas sebuah senyuman sangat manis. Dia Rere, salah satu karyawan yang bekerja di toko perhiasan ini. Penampilan yang sopan dengan rambut pendek sebahu, mendukung wajahnya yang memang sangat imut itu menjadi lebih menarik lagi. Sayangnya, gadis itu sudah memiliki kekasih dan akan segera memasuki ke jenjang yang lebih serius lagi. Sepertinya ia sedikit cemburu dengan kisah percintaan orang lain yang berjalan mulus, tidak seperti dirinya.

Ah iya, untuk apa cemburu dengan kehidupan orang lain? Toh dirinya dan segala kehidupan yang hinggap di setiap detik dalam hidup pasti di rancang dengan sempurna oleh Tuhan. Dan ia sangatlah pantas untuk bersyukur.

Ah kenapa dirinya menjadi seperti ini? Iya, mungkin hanya karena tekanan batin yang muncul akibat perlakuan Farel pada dirinya. Kalau saja ia bisa mengendalikan suasana hati, pasti tidak akan memiliki buah pikiran yang seperti itu.

"Hai, Re. Apa kabar?" tanya Zulfa sambil mendekat ke arah Rere sambil membalas senyuman gadis itu dengan tak kalah manis. Baginya, berbagi senyum adalah sebuah ibadah paling kecil namun berdampak sangat besar bagi lawan bicaranya.

Senyum Rere sejak melihat kehadiran Zulfa pun tidak pernah luput sedikitpun, tetap terpasang manis di wajahnya. Sebagai informasi saja, Rere sangat menganggap kehadiran Zulfa sebagai kakaknya. Ia sangat terinspirasi dengan Zulfa yang selalu menasihati dirinya supaya menjadi lebih baik lagi, sampai kini ia merasa bersyukur dengan kehidupannya. Sebuah motivasi singkat yang berhasil hinggap dan bersarang di otaknya.

"Ih kabar aku baik banget loh, Mbak. Kamu tau gak nanti aku mau diajak pergi sama pacar aku setelah bekerja. Senang banget." ucap Rere dengan sangat ceria sambil memegang tangan Zulfa untuk di guncang-guncangkan perlahan.

Zulfa tersenyum manis melihat sifat Rere yang masih terbilang kekanak-kanakan itu. "Bagus dong kalau begitu. Kalian pendekatan diri saja supaya terbiasa saat sudah memasuki dunia rumah tangga. Jadi istri yang berbakti pada suaminya. Jangan sulit untuk di atur, usahakan patuh." ucapnya, mengambil kedua tangan Rere lalu dielus punggung tangan gadis tersebut dengan tulus. Lalu melepaskan genggaman tangannya pada Rere untuk beralih membenarkan letak jilbabnya yang tadi sedikit terhempas angin.

Rere tersenyum senang lalu menganggukkan kepalanya dengan singkat. "Mbak mau beli perhiasan apa? Pasti untuk ibu ya?" tanyanya yang menebak apa yang menjadi tujuan wanita di depannya ini. Soalnya, ia tahu betul jika seorang Zulfa paling jarang memakai perhiasan. Katanya sih mengundang penjahat untuk datang padanya, mengundang jambret, copet, dan lain-lain.

Zulfa menganggukkan kepalanya, membenarkan pertanyaan Rere mengenai tujuan dirinya datang kesini. "Iya, boleh perlihatkan modelnya padaku?" ucapnya membuat gadis tersebut menganggukkan kepala dan langsung menyuruh dirinya untuk ikut melihat-lihat beberapa perhiasan yang terpajang di lemari kaca, sangat cantik. Ia membayangkan jika wanita paruh baya yang ia sebut sebagai mentari dalam hidupnya, memakai perhiasan itu pasti terlihat berkali-kali lipat setara dengan sang malaikat. Ya itu hanya penggambaran menurut dirinya saja.

Zulfa meneliti satu per satu mencari model perhiasan yang cocok untuk di pakai wanita seumuran ibunya. Yang terlihat sederhana tapi menawan, ya seperti itu. Ah, sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan ibunya sejak dinikahkan oleh laki-laki dingin seperti Farel. Ia sekarang sudah menyerahkan segalanya pada Tuhan, ia percaya suatu saat nanti Farel pasti akan merasakan bagaimana sakitnya berjuang sendirian.

Tatapan Zulfa jatuh pada kalung berlian yang sudah disertakan oleh sepasang anting. Cantik, pasti ibunya akan menyukainya. Desain yang tidak terlalu terlihat seperti ibu-ibu konglomerat, tapi masih pantas untuk di pakai wanita seumuran ibunya.

"Aku pilih yang ini, Re." ucap Zulfa sambil mengarahkan tangannya, menunjuk perhiasan yang sudah menarik perhatiannya lebih dalam.

Rere mengikuti arah tunjuk Zulfa, lalu menganggukkan kepala, ia mengakui jika selera wanita yang sudah berstatus istri ini sangat sempurna. "Pilihan yang bagus, Mbak." ucapnya sambil berjalan menuju letak perhiasan tersebut dan mengambilnya untuk segera di miliki sang pelanggan.

Zulfa mengikuti Rere yang sudah berjalan ke arah kasir dengan perhiasan yang menjadi pilihannya. Ia mengeluarkan kartu ATM miliknya, yang memang sengaja ia tabung dari uang pemberian Farel setiap harinya yang terlewat banyak, ya jadi lah ia memanfaatkannya untuk menyenangkan hati sang ibu. Anggap saja pembalasan jasa untuk bertahun-tahun kebelakang ini.

"Ini, Mbak." ucap Rere yang sudah selesai menggesekkan ATM dan memasukkan perhiasan tersebut ke dalam kotak packaging yang dilapisi kembali dengan kantung supaya mempermudah membawanya.

Zulfa menerima kantung belanja yang terdapat kotak perhiasan miliknya. "Aku pulang dulu takut Mas Farel sudah pulang, aku tinggal ya, assalamu'alaikum." ucapnya sambil melambaikan tangannya dengan sopan.

"Iya, waalaikumsalam hati-hati ya, Mbak." ucap Rere sambil menganggukkan kepalanya, melambaikan tangan juga pasa Zulfa.

Setelah mengucapkan salam dan melambaikan tangan pada Rere sebagai perpisahan, ia keluar toko kan berdiri menatap langit yang sudah mulai menggelap. Ia tersenyum pahit, apa benar Farel sudah berada di rumah? Bahkan ia tidak yakin dengan ucapannya sendiri sebagai bentuk alasan dirinya berpamitan dengan

Namun rasa sakitnya hilang mengingat hadiah kecil yang ia beli untuk ibunya. Sosok paruh baya yang sudah membuat dirinya menjadi seorang gadis yang kuat dan bertanggung jawab. Hanya kalung berlian yang tentunya belum bisa membayar semua jasa ibunya.

Kasih sayang seorang ibu sangatlah besar, tidak bisa diukur dari segi manapun.

Berhenti tepat di luar toko perhiasan, menepikan tubuh supaya tidak menjadi penghalang orang-orang yang sedang berlalu lalang.

Ia mengambil ponselnya yang berada di sling bag yang kemarin Farel belikan untuk dirinya. Mencari kontak 'ibu' dan segera menghubunginya untuk memberitahu jika ia akan segera kesana.

"Assalamualaikum, ibu?" ucap Zulfa, mengatakan sebuah salam yang sangat sopan.

"Waalaikumsalam nak, apa kabar?" balas suara wanita paruh baya di seberang saja dengan nada yang sangat hangat. Ah Zulfa jadi ingin tinggal satu atap lagi dengan ibunya mengingat ia belum cukup memberikan jasa dan berbakti untuk membuat kebahagiaan tersendiri.

"Baik bu, besok Zulfa mau main ke rumah ya. Aku punya hadiah untuk ibu." ucapnya sambil mengulum sebuah senyuman. Ia benar-benar tak sabar ingin menyaksikan raut wajah bahagia penuh haru karena untuk pertama kalinya ia bisa membelikan bawah dengan harga mahal berkualitas ini. Sebelumnya, ia hanya bisa memberikan hadiah kecil mengingat uang tabungannya selalu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Tapi kini, semuanya insyaallah sudah berbeda.

"Tidak perlu repot-repot, Zulfa." ucap ibunya di seberang sana. Baginya, kehadiran Zulfa adalah hal yang paling indah dalam hidupnya, hadiah terbaik yang di kirimkan Tuhan.

Zulfa tersenyum, ia tahu betul jika ibunya ini sangat tidak enak pada dirinya karena di belikan hadiah. Lebih tidak enak lagi saat orang tua sudah memberikan segalanya di sepanjang hidup, tapi ia belum bisa membalas 'segalanya' itu. "Tidak apa ibu, besok aku datang." ucapnya yang masih keukeh pada pendiriannya.

Lagipula ia tidak memiliki kegiatan apapun, membuang-buang tenaga di rumah yang hanya berujung adu mulut pada sang suami sudah membuat dirinya merasa lelah dari mengharuskan menemui seseorang yang selalu menjadi penenang, sang ibu.

"Ajak Farel ya, ibu ingin bertemu dengannya. Begitu juga dengan saudara dan keluarga kita yang lainnya. Ingin sekedar mengobrol saja dengan menantu idaman ibu," ucap ibunya dengan sebuah nada yang memang lemah.

Menantu idaman? Yang benar saja. Jadi status menantu saja sudah syukur tanpa harus memiliki status embel-embel dengan idaman. Jauh dari kata idaman malah, hanya memberikan luka baru yang sialnya tidak memiliki obat.

Zulfa mematung. Astaga, pengharapan apalagi yang di lontarkan oleh sang ibu?

"Iy-iya, bu. Nanti aku bilang ke Mas Farel. Sepertinya dia sibuk." ucapnya sedikit gugup, tidak sedikit sih bahkan gugup sekali. Pasalnya ia benar-benar bingung harus mengajak Farel dengan cara bagaimana. Pasti laki-laki itu sangat sulit untuk di ajak kemana-mana, harus di bujuk terlebih dahulu sampai memohon-mohon. Dan ya, itu saja belum tentu diterimanya.

"Tolong di usahakan ya, nak. Ibu kemarin belum sempat mengobrol dengannya." ucap ibunya.

Iya, berharap dengan sesuatu yang tidak pasti hanya berujung rasa kecewa, bukan sekedar kecewa yang menemukan kata maaf tapi kecewa berkepanjangan walaupun sudah termaafkan pasti bersarang di otak.

Pernikahan terpaksa? Lebih tepatnya ia di jodohkan. Jadi mereka hanya tau jika dirinya dan Farel hidup harmonis menjalin rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah. Padahal tidak. Memang terkadang kenyataan tidak seindah ekspetasi, untuk itu Zulfa menyembunyikan kenyataan tersebut supaya tidak ada hati yang sakit. Biarkan saja dirinya yang merasakan, jangan orang lain.

Karena ia sudah sangat bingung ingin memberikan jawaban seperti apa pada ibunya ini, dengan deheman kecil pun Zulfa berniat mengakhiri percakapan mereka. "Iya, bu. Sudah dulu ya aku dalam perjalanan pulang. Assalamualaikum." ucapnya dengan wajah yang masih mengulas sebuah senyuman.

"Waalaikumsalam, nak."

Setelah mendengar ucapan salam dari seberang, Zulfa mematikan sambungan telpon dan kembali menaruhnya ke dalam tas. Ia menghela napas kasar, bingung serta tidak mengerti dengan cara apa membujuk seorang Farel.

Sepertinya akan ada hal buruk yang terjadi. Ia harus mempersiapkan hati. Entah itu kalimat pedas yang kembali di layangkan pada dirinya, atau segala perilaku yang selalu menolak kehadirannya.

Iya, ia memang selalu mendapatkan perlakuan yang sangat jauh dari bayangannya. Jika kodrat semua istri di dunia ini pastas untuk mendapatkan kasih sayang dari sang suami, tapi hal itu tentu saja tidak berlaku bagi Zulfa.

...

Next chapter