Rani tersenyum puas melihat pesan yang baru saja ia luncurkan untuk Zulfa, memang ini semua adalah sebuah kesengajaan yang ia ciptakan. Sekali lagi, ia perlu memberi pelajaran pada gadis berhijab tidak tau diri itu, merebut apa yang sudah menjadi miliknya adalah tindakan yang sangat menyebalkan. Memangnya apa? Dia disini yang menjadi antagonis, gitu? Toh coba saja berpikir dan memutar sudut pandang menjadi ke arahnya, sudah pasti ia yang akan di kasihani.
Sebagai seorang gadis, ia berhak mempertahankan apa yang masih menjadi miliknya. Ia bukanlah gadis lemah yang menerima segala hal dengan lapang dada, tidak ia sama sekali bukan tipe gadis yang seperti itu.
Ia menatap tubuh Farel yang kini tengah membelakangi dirinya karena sedang menonton televisi, laki-laki yang saat ini masih sangat nyaman berada di dekatnya entah sampai kapak dan dirinya memiliki sebuah keberuntungan yang tidak dimiliki oleh Zulfa. Tatapannya menghangat mendengar beberapa ucapan laki-laki itu yang membuat dirinya mabuk dan melayang sampai langit, bahkan membuat dirinya semakin enggan untuk melangkah pergi dari status pacaran yang memang tidak pernah mendapatkan restu dari seluruh keluarga besar Brahmana.
"Kamu masih menjadi seseorang yang aku nomor satukan, apapun itu kondisinya. Jangan takut kalau nanti suatu saat aku pergi karena hal yang harus kamu mengerti ya, sayang."
"Jangan sedih, aku tetap memprioritaskan kamu. Seorang Rani masih menjadi alasan aku untuk terap memperjuangkan rasa cinta ini."
"Aku akan secepatnya meninggalkan Zulfa dan menikah denganmu. Kalau bisa janji ini aku tepati, dengan segera aku akan membahagiakan kamu seperti janji ku di tahun lalu."
Ya, seperti itulah kalimat penenang yang diluncurkan oleh Farel untuk dirinya. Sangat manis sekali, kan? Iya memang manis jangan sampai ya hanya kemanisan semata.
Ia bahkan sudah membayangkan hal apa yang akan dilakukan dirinya ketika sudah menjadi Nyonya Brahmana. Ia akan meminta berbulan madu di Italia dengan jet pribadi milik Farel. Ah, membayangkannya saja membuat hatinya sangat senang. Kalau sang suami memiliki uang yang cukup untuk menghidupi dirinya, kenapa tidak? Matre, jangan munafik deh. Ia tahu jika para gadis di luar sana memang pada matre namun dengan konteks yang berbeda.
Lagipula, matre pada pasangan sendiri pun tidak masalah. Memangnya Farel pernah menolak saat dirinya meminta dibelikan barang branded? Tentu saja tidak pernah. Katanya sih laki-laki itu menurut karena sayang dan tidak ingin di tinggali oleh dirinya. Ya iya lah, cantik butuh modal. Memiliki fashion bagus juga butuh modal. Jadi, frontal saja jika dirinya mau apa saja pasti bilang.
"Apa Zulfa mengirimi pesan kepadaku?" tanya Farel sambil sibuk memasukkan popcorn ke dalam mulutnya dengan gerakan sangat santai. Sepertinya laki-laki itu sedang menonton film Hollywood yang membuat dia berpacu pada layar televisi yang menjadi titik fokusnya sedaritadi.
Dengan perlahan, Rani menghampiri Farel dan memeluk laki-laki itu dari belakang, menyandarkan tubuh rampingnya pada punggung Farel yang kekar. Aroma maskulin laki-laki itu mampu membuat dirinya terpesona, selalu saja hal itu adalah poin utama yang membuat dirinya mampu bertahan lama-lama berdekatan dengan Farel. "Iya, dia menyuruhmu pulang ke rumah." ucapnya mengatakan yang sejujurnya.
Walaupun Rani tidak suka pada Zulfa, ia tidak akan pernah mengadu domba wanita itu pada sang kekasihnya. Kalau bermain kasar, ya ayo kasar. Tapi kalau bermain licik, tidak, itu bukanlah cara bermain yang baik.
Farel menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa?" tanyanya malah mengeluarkan kalimat seperti itu. Lagipula Zulfa hobi sekali menyuruh dirinya untuk pulang ke rumah. Toh di sana tidak ada yang menarik malah sebaliknya, tingkah sang istri membuat dirinya muak karena selalu membahas pernikahan tanpa adanya arah ini.
"Aku tidak tau, mungkin dia tidak suka aku bersamamu." lirih Rani sambil memeluk tubuh Farel semakin erat, ia memang merasa risih dengan Zulfa yang menyuruh dirinya untuk mengatakan pada Farel agar laki-laki ini segera pulang kembali ke rumahnya. Astaga ia benar-benar tidak ingin kehilangan sosok Farel di dalam hidupnya karena ia menyayangi apa yang sudah masuk dan hinggap di dalam relung hatinya pada bagian terdalam.
"Aku tidak peduli, aku nyaman bersamamu." ucap Farel sambil meraih tangan Rani yang melingkari lehernya, lalu mengecup punggung tangan dengan permukaan kulit yang sangat mulus itu. Ia pun memang menyayangi Rani, untuk apapun yang berkaitan dengan Zulfa ia tidak peduli.
Ah sifat Farel sangat manis sekali kepada Rani, berbanding terbalik jika di bandingkan dengan wanita yang sedang menunggu kepulangan laki-laki ini di rumah.
Dan inilah salah satu alasan mengapa seorang Rani sangat sulit untuk melupakan kehadiran Farel, jangan pun melupakan melepas saja ia tidak akan pernah rela. Laki-laki ini terlalu mencintai dirinya dengan lembut dan tulus, membuat sebuah bongkahan rasa sayang di hatinya kian membesar. Harusnya ia yang berada di posisi Zulfa, dan dengan itu semua mungkin semua hal ini tidak akan pernah terjadi. Bahkan sekarang dirinya telah di cap sebagai perusak di dalam rumah tangga orang lain.
Mereka hanya tidak merasakan apa yang Rani rasakan. Bukan berarti, ia merebut dengan frontal apa yang telah menjadi miliknya, menjadikan dirinya seorang 'pelakor' yang sesungguhnya. Tidak, ia tidak sudi bertingkah seperti itu.
"Sayang, aku lapar." rengek Rani sambil mengubah posisinya menjadi berdiri tegak, ia memutari sofa dan segera duduk tepat di sebelah Farel. Ia dengan manja menyenderkan kepalanya pada bahu milik laki-laki yang masih ia harapkan jika masa depannya memang tersusun bersama.
Farel mengecup singkat bibir Rani, lalu memeluk pinggang ramping gadis itu. Ia sangat menyukai bentuk tubuh milik Rani, terlihat sangat sempurna. "Kamu mau beli apa? Pizza? Burger? Atau yang lain?" tanyanya menyebutkan beberapa makanan junk food yang memang cocok di makan saat keadaan lapar namun malas untuk memasak.
Rani dengan senang hati menyebutkan beberapa merk makanan junk food yang ia suka. Ini yang dirinya suka dari Farel, laki-laki itu selalu memberikan apa yang dirinya mau. Bahkan tidak pernah perhitungan padanya, mungkin jika di total Farel sudah menghabiskan uang lebih dari sepuluh juta untuk dirinya, ah mungkin hampir menyentuh angka seratus juta.
"Hanya itu?" tanya Farel sambil menaikkan sebelah alisnya. Ia menawarkan yang terbaik untuk sang kekasih, kalau nanti kekurangan bisa di tambah sesuka hati, ia yang bayar.
Rani menganggukkan kepalanya, merasa cukup puas dengan berbagai makanan yang ia sebutkan tadi. Apa kurang banyak makanan yang dipesan olehnya bagi Farel?
"Kenapa memang?" tanya Rani yang kebingungan.
"Aku juga lapar, sayang." rengek Farel sambil menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Rani. Sekarang, gantian laki-laki ini yang manja pada dirinya, dasar Farel mampu membuat Rani merasa di posisi yang paling beruntung sedunia.
Rani terkekeh mendapatkan perlakukan sang kekasih yang seperti itu. Oke, Farel sudah mode manja padanya. Ia mencium singkat kening laki-laki itu, lalu mengelus rahangnya dengan perlahan. Jika saja Zulfa tidak ada, mungkin dimata orang lain hubungan mereka termasuk ke dalam kategori relationship goals. Tidak ada yang mengatai dirinya sebagai perusak hubungan orang, dan tidak ada yang memberikan cap buruk pada Farel karena perlakuan tidak menyenangkannya pada Zulfa. Iya, pasti itu semua tidak akan ada.
"Kenapa tidak bilang? Samain saja ya?" tanya Rani yang kini jemarinya mulai menyapu jambul Farel.
Farel mengangguk, lalu menjauhi tubuhnya dari Rani. "Ponselku?" ucapnya yang seperti meminta ponselnya pada gadis yang berada di sampingnya ini. Gadis cantik dengan pahatan wajah yang sangatlah sempurna.
Rani memberikan ponsel Farel yang memang selalu berada di dalam genggamannya saat mereka sedang bersama, ini salah satu kebiasaan mereka berdua. Begitu juga dengan ponsel Rani yang berada di tangan laki-laki itu. Ya bagi mereka hal seperti ini untuk menjaga perasaan. Memang terlihat terlalu over protective, tapi ini adalah salah satu cara untuk menanamkan kesetiaan.
Farel segera menghubungi orang suruhannya untuk membelikan dirinya makanan, memang dirinya tidak pernah menghubungi langsung restoran yang di tuju. Dan ya, hidup seorang Brahmana sesimple itu. Cukup menyuruh orang, membayarnya dengan gaji setimpal, dan ia hanya menerima hasilnya. Enak sekali menjadi orang kaya, ingin apapun tidak perlu membuang-buang tenaga dan langsung tercapai apa yang ia inginkan.
"Aku sayang kamu." ucap Rani yang melihat Farel sudah selesai menelepon seseorang yang berada di seberang sana.
Melihat Rani yang seperti sudah muak dengan semua ini, Farel membawa tubuh gadis itu untuk masuk ke dalam dekapannya. Menyalurkan rasa kasih yang memang tidak pernah pudar, mungkin?
"Aku juga sayang kamu. Apapun masalahnya, kita selesaikan bersama-sama." ucap Farel dengan nada yang sangat lembut. Ia mengelus puncak kepala gadisnya dengan perlahan, mendekap erat tubuh tersebut jika sewaktu-waktu bisa saja hilang dari pandangannya.
Terdengar Rani yang menghembuskan napasnya dengan perlahan, gadis tersebut sedang menghalau rasa sesak yang kian muncul hinggap di hatinya. "Tapi ini beda, Farel. Hubungan kamu sama Zulfa sudah mengikat sebuah pernikahan." ucapnya dengan volume suara yang rendah. Ia benar-benar mengatakan hal tersebut tulus dari hatinya, tidak ada bumbu kemunafikan.
"Tidak, siapa yang bilang aku menikah padanya? Aku tidak merasa memiliki seorang istri." Farel menggelengkan kepalanya, lalu mengucapkan kalimat itu dengan sangat enteng. Toh memang benar ia tidak pernah mengharapkan apapun dari pernikahannya dengan Zulfa, jadi untuk apa mengharapkan sesuatu yang bahkan sama sekali tidak menjadi tujuan dan tumpuan yang berada di dalam hidupnya?
"Lalu?" tanya Rani sambil menaikkan sebelah alisnya. Tidak dapat di pungkiri pun semua orang juga tahu jika Farel sudah menutupi status lajangnya dengan seorang wanita bernama Zulfa Naraya, memiliki tampilan yang membuat banyak orang kagum dan memberikan selamat pada laki-laki ini karena memiliki istri yang sholehah.
"Kamu yang nanti akan menjadi istriku, Rani. Jangan bersedih, aku akan selalu ada untukmu." gumam Farel yang tentu saja membawa cahaya hangat di dalam rongga hati Rani.
...