"FA, KAMU KENAPA?"
Dea sedaritadi melihat gerak gerik Zulfa yang sangat mencurigakan. Gadis itu terlihat cemas dan juga sedih di saat yang bersamaan, membuat dirinya khawatir jika ada hal yang sengaja disembunyikan darinya. Bagaimana pun, ia menjabat status sebagai sahabat dari wanita tersebut. Dan dirinya juga punya hak untuk mengetahui apa yang di rasakan Zulfa, iya kan? Kalau ia tidak tahu apapun ya bisa saja ia menjadi sahabat yang sangat tidak becus.
Mendengar pertanyaan Dea langsung saja membuat Zulfa tersentak, lalu mengusap dadanya merapalkan kalimat 'astagfirullah' pertanda jika dirinya kaget. Toh lagi melamun tiba-tiba ada suara pekikan melengking yang keluar dari mulut sahabatnya itu, ya pantas saja ia merasa terkejut.
"Apa sih, Dea?" tanyanya dengan sebelah alis yang terangkat. Seperti ini lah Dea, sangat santai seolah-olah tidak melakukan suatu hal yang salah. Padahal tindakannya tadi sangat menyebalkan. Ia kini menatap gadis itu dengan sorot mata seolah-olah mengatakan 'bisa tidak sih jangan teriak-teriak?'.
Dengan senyum yang di tekuk, Dea mengerucutkan bibirnya merasa sebal karena bukannya Zulfa menjawab pertanyaanya, tapi malah balik bertanya lagi. Bukankah itu menyebalkan? "Aku nanya loh, Fa. Dari tadi, gak kamu respon sama sekali. Aku berasa lagi ngomong sama batu, tau gak?" ucapnya sambil menghembuskan napas. Entahlah, sudah beberapa kali dirinya memanggil nama Zulfa tapi wanita itu tak kunjung menoleh. Giliran dirinya berteriak seperti tadi, barulah bereaksi.
"Gak tau, Dea." balas Zulfa sambil menggelengkan kepala, ia mengangkat bahunya berpura-pura tidak tahu dengan apa yang dirasakannya saat ini. Toh dirinya sudah berjanji untuk tidak membebani siapapun saat dirinya merasakan hal seperti ini.
Dea menekuk senyumnya, lagi dan lagi. Ia kesal dengan sifat Zulfa yang terlalu memendam semua masalahnya sendiri. Ia yakin ada yang tidak beres, tapi ia tidak tahu apa penyebab dan masalahnya. "Mas Farel mana sih, Fa? Aku mau kenalan sama dia, tau. Kalau ganteng aku tikung ya? Hehe." ucapnya mencoba mengalihkan pembicaraan. Walaupun dirinya ingin sekali memaksa supaya Zulfa dapat mengatakan hal yang penuh kejujuran dan tidak ada yang di sembunyikan sedikitpun, tapi tetap saja ia tidak ingin melakukan hal itu.
Setiap orang memiliki privasi yang tidak mungkin selalu di ceritakan pada orang lain, iya kan? Itu semua adalah hak manusia untuk memiliki perasaan supaya menyalurkan apa yang di rasakan. Kalau tidak mau, ya setidaknya jangan memaksa.
Selain suka memaksa Zulfa untuk mentraktir dirinya, Dea sangat suka dengan laki-laki yang bening dan tampan. Padahal menurut Zulfa, Dea itu tipikal gadis yang biasa-biasa saja. Tapi mimpinya ingin mempunyai laki-laki yang tampan sangat lah ketinggian. Ah ia jadi mengingat tentang dirinya, ia juga seperti itu. Gadis sederhana dan tidak cantik apalagi sexy, ia hanya beruntung saja menikah dengan Farel. Beruntung? Masih pantaskah kata-kata itu mendeskripsikan perasaannya saat ini? Keberuntungan yang bersembunyi di dalam angan-angan dan harapan.
Ingin merasa beruntung pun sepertinya harus berpikir dua kali. Karena memang takdir masih belum berpihak pada dirinya untuk mendapatkan kebahagiaan.
"Dimakan aja lah masakan aku, De." ucap Zulfa sambil tersenyum, ia masih menggunakan topeng tak kasat mata. Sakit, namun tidak boleh rapuh. Ia juga sudah pasrah menunggu kepulangan Farel yang mungkin saja juga tidak memikirkan perasaannya saat ini. Toh percuma dirinya sudah masak tapi tidak disentuh sama sekali oleh laki-laki itu. Lebih baik daripada kebuang lagi, di makan saja sama Dea.
Dea menaikkan sebelah alisnya, merasa aneh dengan perintah Zulfa untjm memakan masakannya. "Loh kenapa? Mas Farel gak pulang? Ini udah jam tiga sore loh, Fa." ucapnya sambil menolehkan kepalanya ke arah jam dinding untuk memastikan jam yang ia katakan benar adanya.
Lagi-lagi Zulfa hanya tersenyum untuk menutupi rasa gundah yang bersarang di lubuk hatinya, toh ingin bersedih pun rasanya sia-sia karena kenyataannya, ia yang membuat harapan terlalu lebih. Dan dari itu semua, ia harus menerima segala konsekuensinya. Ia bingung ingin menjawab apa saat ini. Ah, Farel pandai sekali membuat dirinya mahir dalam urusan berbohong. "Katanya lagi ke rumah rekan bisnisnya," ucapnya sambil menampilkan seulas senyuman yang terkesan di paksakan.
Bohong. Hanya alasan itu yang ada di benaknya. Semoga saja Dea tidak bertanya lebih. Ia segera duduk di kursi makan berhadapan dengan Dea. Zulfa mulai mengambil nasi beserta lauk ke dalam piringnya dengan senyuman pahit. Dadanya kembali sesak mengingat pembicaraannya dengan Rani tadi.
'Ada ini lagi tiduran di pelukan aku.'
Tiba-tiba saja ucapan Rani tadi saat di telepon terbesit di pikirannya. Dan ya, hal itu menjawab segala pertanyaan yang ada di pikirannya. Kalau kenyataannya kini sudah di pastikan jika Farel masih berada di dekat gadis cantik itu.
'Tapi tadi barusan Farel bilang sama aku, kalau yang bukan siapa-siapa itu adalah kamu. Buktinya dia masih memprioritaskan aku.'
Lagi dan lagi, kalimat yang berhasil memanas-manasi hatinya itu kian terbesit di pikirannya untuk yang kedua kalinya.
Zulfa menghela napasnya, bahkan Farel tidak pernah sedekat itu padanya. Untuk tidur satu kasur saja, laki-laki itu selalu memberi jarak dengan dirinya menggunakan guling yang di letakkan ditengah tubuhnya dan Farel. Setidak suka itukah Farel terhadapnya?
"Gila enak banget masakan kamu, Fa. Pasti Mas Farel betah nih tinggal sama kamu." ucap Dea dengan mulut yang penuh suapan nasi dan lauknya yang bercampur menjadi satu, membentuk sebuah kenikmatan yang tidak bisa di pungkiri lagi.
'Mana ada, De.' batin Zulfa sambil tersenyum pahit yang tidak mungkin di lihat oleh sahabatnya itu yang ternyata sedang larut menikmati setiap inci masakan dirinya di dalam mulut.
"Mas Farel juga bilang hal itu saat pertama kali mencicipi masakan aku." ucap Zulfa sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Bahkan saat ini tenggorokannya sudah tercekat menahan sesak di dada, sampai-sampai suapan tersebut sudah tidak bisa di cerna lagi jika tidak dipaksakan.
Dea hanya mengangguk saja dan merasa bersyukur jika hubungan mereka ternyata sangatlah manis. ia masih sibuk menikmati masakan Zulfa. Menurutnya, masakan sederhana ini tidak kalah dengan cita rasa restoran bintang lima. Sedikit berlebihan memang, tapi Dea tidak pernah berbohong kalau menyangkut tentang makanan.
Zulfa tersenyum melihat reaksi Dea saat memakan masakannya. Setidaknya pengakuan Dea membuat dirinya jauh lebih baik. "Mau bawa pulang buat tante Yuli?"
"Ibu masak kok di rumah, Fa." Ucap Dea yang sekarang sudah sibuk memisahkan daging ayam dengan tulangnya. Hidup menjadi Zulfa ternyata enak sekali, pikirnya. Tidak perlu repot memikirkan pekerjaan rumah, karena sudah ada beberapa maid yang di bayar oleh Farel untuk mengurus rumah mereka. Ah, surga dunia sekali.
"Bungkus aja, De. Buat kamu makan lagi di rumah. Sayang, gak ada yang makan." ucap Zulfa sambil menatap Dea dengan sorot mata teduh. Ia sudah berhasil menghalau kesedihan yang terasa sedaritadi. Karena sedih bukanlah alasan untuk segala hal yang dapat menghancurkan keceriaannya. Memang sih sakit, tapi kan bisa bangkit. Jangan terlalu terpuruk karena itu sama sekali tidak bagus untuk kinerja pikiran dan otak.
"Loh, Mas Farel?" tanya Dea merasa bingung dengan perintah Zulfa yang menyuruh dirinya untuk membungkus semua masakan ini. Toh kalau dia bawa semua, Farel mau makan apa? Angin?
Siapapun katakan pada Dea jika Zulfa tidak baik-baik saja. Antara tidak peka dan memilih untuk diam, gadis ini sama sekali tidak ingin menyuarakan apa yang sebenarnya berada di benak tentang kondisi Zulfa yang terkadang tiba-tiba melamun dan gagal fokus.
"Dia pasti udah makan sama rekan kantornya, soalnya nanti kalau buat makan malam takut rasanya berubah dan kurang enak." balas Zulfa sambil mengelus lengannya supaya menghilangkan rasa gugup akibat di tatap sebegitu intens oleh Dea.
Dea memekik senang. Tadi dirinya hanya basa-basi saja. Sebenarnya Yuli belum memasak apapun hari ini karena selain uang belanjanya yang kurang, ibunya itu harus berjualan pecel ayam di depan rumahnya. Toh rejeki memang tidak seharusnya di tolak, iya kan? Di terima dengan lapang dada, itu adalah sifat yang patut untuk di contoh. Memang gadis satu ini terlalu to the point dan tidak tahu malu, untung saja Zulfa memiliki rasa sabar.
"Kamu memang paling tahu Fa kalau aku suka banget makan, apalagi makanan yang gratisan." ucap Dea sambil menampilkan cengiran yang sangat konyol.
Lihat, seperti itulah sahabat dari seorang Zulfa yang memiliki sifat bijak dan anggun. Memang sahabat itu kalau tidak memiliki sifat yang sama persis, pasti memiliki sifat yang berbanding terbalik layaknya langit dan bumi. Jauhnya pakai banget.
"Dari cara makan kamu yang seperti orang tidak makan dua bulan saja sudah kelihatan kalau kamu rakus." ucap Zulfa sambil terkekeh kecil. Ia selalu bersyukur jika masakan sederhananya ini dinikmati oleh orang lain dengan komentar puas, berarti dirinya sudah berhasil menguasai memasak simple menu khas Indonesia. Tinggal menguasai apa yang di sukai Farel deh supaya laki-laki itu ingin menyentuh masakannya.
Tidak, jangan merasakan apa yang Zulfa rasakan, ya. Sebaiknya kalian tidak terbawa suasana karena sudah dari awal di peringati untuk menyiapkan hati. Lagipula, wanita ini baik-baik saja. Iya kan?
"Rakus itu tandanya lapar, Fa." sargah Dea sambil tersenyum membenarkan ucapan Zulfa. Toh rakus itu bahasa kasarnya, kalau bahasa lembutnya ya paling kelaparan.
"Ya enggak gitu juga, De." ucap Zulfa sambil menggelengkan kepalanya merasa tidak habis pikir dengan kinerja otak yang dimiliki sahabatnya itu.
Dea menaikkan sebelah alisnya, "Salah lagi aku?" tanyanya yang sudah berhasil menelan suapan nasi dan lauk, melewati tenggorokan untuk menuju ke saluran pencernaan berikutnya.
"Tidak, Dea selalu benar." jawab Zulfa, ia lebih memilih untuk mengalah karena bisa saja percakapan konyol ini berlangsung lebih lama.
"Yaudah, nanti tolong bungkusin semuanya ya nyonya rumah yang baik hati."
Tuh kan, sudah dikatakan jika Dea memang tidak memiliki urat malu.
...
Next chapter