Setelah kepulangan Dea, Zulfa segera membersihkan meja makan yang terdapat beberapa piring kotor. Ia menghela napas lelah, lagi-lagi Farel tidak memakan masakan buatannya. Apa salahnya mencoba makan makanan sederhana ini? Apa lidah Farel terlalu mahal untuk mencicipi masakannya?
Ah ia lupa, Farel Putra Brahmana. Seorang direktur besar yang terkenal dengan sebutan CEO di perusahaan ayahnya sendiri. Laki-laki dengan pahatan wajah yang sempurna, namun memiliki raut wajah yang terlampau dingin itu. Kemewahan sudah melimpah di kehidupannya sedari kecil, bahkan saat masih di kandungan ia yakin ibu mertuanya mengidam sesuatu yang mahal.
Dan pantas saja masakan yang di buatnya ini tidak masuk ke dalam satu selera yang sudah terbiasa tertanam di lidah mahal milih Farel. Artinya apa? Cukup tahu diri? Tentu saja tidak. Usaha lebih kuat lagi adalah kunci dari segalanya, berbekal dengan keteguhan hati yang paling dalam.
"Nyonya, biar bibi saja yang membereskan ini semua. Lagipula pasti Nyonya belum istirahat, nanti sakit loh."
Ah, Zulfa lupa disini ada beberapa orang yang membantu segala pekerjaan rumah ini yang tidak mungkin di lakukan olehnya --karena perintah Farel yang menyuruhnya supaya tidak bekerja lebih keras, katanya sih andalkan saja tenaga orang lain--. Salah satunya adalah Bi Ijah yang sudah mengabdi lama di rumah ini, kesetiaan menjunjung tinggi pada hatinya. Tentu saja ia tahu tentang bagaimana hancurnya pernikahan Tuan dan Nyonya rumahnya.
Bagaimana rasa sakit yang di derita Zulfa yang diiringi dengan tangisan memilukan hati, bagaimana Farel yang selalu menganggap wanita tersebut layaknya sampai, dan bagaimana cara Zulfa bertahan di hubungan pernikahan yang tidak wajah ini. Bi Ijah tau segalanya, pahit hidup orang rumah yang memiliki segudang kemewahan ini.
Tapi dia memilih bungkam atas permintaan Zulfa, wanita itu tidak ingin membuat keluarganya khawatir tentang keadaan ini. Membayangkan jika orang tuanya tahu betapa buruknya perilaku Farel, sudah di pastikan jika hubungan pernikahan ini sama sekali tidak bertahan lama. Cukup dirinya, Farel, dan beberapa para pekerja di rumah ini dengan mulut yang di paksa membungkam kenyataan yang dapat menggores hati ini
Zulfa bersama rasa kesabarannya, mungkin jika hidupnya di jadikan novel ataupun film layar lebar, ia yakin seratus persen jika ini sangat mengandung bawang. Perawalan yang sudah buruk tentu saja akan mengundang keburukan di hari selanjutnya. Hukum alam yang memang sama sekali tidak pernah bisa untuk di tentang.
Zulfa menatap lembut Bi ijah yang sudah mengambil alih piring di tangannya. "Aku bantuin aja ya bi?" tanyanya karena merasa tidak enak jika pekerjaannya di ambil alih oleh orang lain, rasanya seperti memiliki hutang budi. Toh dirinya masih bisa mengerjakan ini sendiri, bahkan sampai semuanya bersih pun ia sanggup.
Tapi kembali lagi, bukan Zulfa yang akan di tegur untuk hal ini. Tapi para pekerja yang menurut Farel tidak becus dalam mengerjakan sesuatu pun terkena imbasnya.
"Tidak perlu atuh, ini memang sudah menjadi pekerjaan bibi. Nyonya duduk manis aja ya, nanti bibi buatkan teh hangat." ucap Bi Ijah dengan sorot mata yang menunjukkan keyakinan bahwa dirinya tidak memerlukan bantuan, tentunya ini adalah cara penolakan yang paling lembut dengan seulas senyuman yang menghangatkan hati. Ia cukup kasihan dengan nasib Zulfa yang sangat miris ini, bagaimana bisa wanita itu sangat kuat?
Disaat wanita lain membutuhkan bahu untuk bersandar jika sedang berada di posisi terendah dalam hidupnya, justru Zulfa dengan keteguhan hati bisa bangkit tanpa adanya bagi yang menjadikan dirinya sebagai sebuah tumpuan. Sekuat itu ya wanita, hatinya memang terbuat dari baja.
Disakitin berkali-kali, tapi enggan meninggalkan. Parahnya lagi, wanita lebih memilih untuk bertahan dengan rasa sakit supaya sang laki-laki tidak pergi. Bodoh? Tidak, wanita itu memiliki hati yang lembut, sampai kehilangan seseorang yang sudah menyakiti hatinya saja ia tidak rela.
Zulfa mengangguk, ia menyetujui apa yang dikatakan Bi Ijah. Daripada terus menerus seperti layaknya sedang memperebutkan pekerjaan, lebih baik dirinya mengalah. "Gulanya jangan terlalu banyak ya, Bi." ucapnya sambil memberikan sebuah senyuman yang sangat manis. Ingat, di balik senyum itu ada luka yang tidak diketahui oleh banyak orang. Senyum memang topeng yang paling mujarab untuk memberitahu pada dunia jika dirinya baik-baik saja.
"Takut diabetes ya?" tanya Bi Ijah sambil menyelipkan sedikit nada humor, kekehan kecil pun terdengar.
Zulfa menggelengkan kepalanya, pertanda tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh Bi Ijah untuk dirinya. "Tidak, aku soalnya sudah manis, Bi." ucapnya sambil terkekeh menampilkan deretan gigi putihnya yang rapih, membuat Bi Ijah yang sedang merapihkan tatanan gelas bersih di meja ikut tertawa.
Ini adalah salah satunya cara pengalihan terbaik untuk menyembunyikan rasa sedih, setidaknya berhasil walau hanya bersifat sementara.
"Nyonya memang cantik, Bibi ngerasa jauh banget kalau di bandingin sama nyonya. Berasa dosa Bibi itu banyak banget karena sudah setua ini tapi belum hijrah." ucapnya sambil mengelus dadanya dengan perlahan, bergumam dengan mengucapkan 'masyaallah' seolah-olah kagum dengan penampilan Zulfa yang membuat banyak wanita merasa tersaingi oleh dirinya karena belum berhasil menutupi aurat, termasuk Bi Ijah.
Zulfa menggelengkan kepalanya, lalu mengusap perlahan lengan Bi Ijah yang terbalut daster. "Bi, Hijrah dalam konteks Islam berarti meninggalkan apa yang dibenci menuju apa yang dicintai-Nya. Hijrah itu berat loh Bi, jangan jadikan ini sebagai alasan untuk menghakimi orang lain, terlebih mengharamkan dan mengkafirkan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang di pahami." ucapnya dengan nada lembut yang sangat sopan masuk ke dalam indra pendengaran.
Bi Ijah berdecak kagum mendengar penuturan sederhana namun memiliki artian sangat dalam yang keluar dari dalam mulut Zulfa. "Apa ada orang yang menentang ketika Nyonya berhijrah? Atau bahkan ada yang mencela karena tidak suka?" tanyanya semakin penasaran. Pasalnya, jarang sekali para wanita yang berpakaian gamis setiap harinya,
layaknya seorang Zulfa ini. Berjilbab panjang, juga mengenakan ciput dan manset tangan jika lengan bajunya tidak menutupi sampai pergelangan tangan. Subhanallah sekali. Ini adalah insecure yang sesungguhnya.
Zulfa tersenyum kecil, ia merasa bersalah membuat orang lain merasa seperti tersaingi oleh dirinya, walaupun persaingan yang baik. Tapi tetap saja, ia pun masih belajar untuk tetap selalu berada di jalan-NYA. "Believe me, it happens to me. Tapi kan pendapat orang memang berbeda-beda, Bi. Aku juga tidak bisa melarang mereka untuk tidak menyukai aku. Setiap orang mempunyai sisi pandang yang berbeda. Dan aku berusaha menjadikan itu semua sebagai motivasi buat aku." Penjelasan penuh makna ini kembali terlontar dari mulutnya.
Seandainya Farel tahu bagaimana suci-nya seorang Zulfa, mungkin laki-laki itu tidak akan berani menyakitinya dengan lancang seperti ini. Seharusnya Farel bersyukur mendapati seorang istri yang sangat paham dengan agama, bahkan pandai memasak dan masih berkeinginan kuat untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Namun, sayang sekali kehadiran Rani sudah membutakan segalanya. Kehilangan arah yang berakhir lupa jalan pulang, hal itu susah sangat sering terjadi bagi seseorang yang jarang sekali bersyukur dengan apa yang sudah ada di dalam hidupnya.
"Kalau Tuan mencintai Nyonya, pasti semuanya akan terasa sempurna." ucap Bi Ijah sambil tersenyum tulus. Ia yakin suatu saat nanti, keajaiban itu benar adanya. Sebagai seorang wanita paruh baya yang sudah merasakan hampir seluruh keragaman pait dan manisnya hidup, tentu saja ia seolah-olah langsung merasa menjadi Zulfa jika melihat perlakuan yang sangat tidak pantas. Sakit, sesak, dan perih bercampur menjadi satu.
Zulfa tersenyum pahit mendengar ucapan Bi Ijah, untuk menatap dirinya saat tertidur saja Farel merasa enggan. Bagaimana bisa cinta itu hadir kalau keterbiasaan saja tidak tercipta? "Mustahil, Bi. Udah ya aku mau menonton televisi dulu. Aku tunggu teh buatan bibi," ucapnya sambil melenggang meninggalkan Bi Ijah untuk berjalan ke arah sofa panjang yang memang jarak ruang televisi dengan dapur tidak terlalu jauh.
Ia lebih memilih untuk tenggelam masuk ke dalam tontonan di layar TV daripada menyaksikan vidio menyakitkan yang di putar terus menerus di dalam kinerja otaknya. Sungguh, ia ingin melepas penat untuk saat ini dengan memanjakan diri di kursi sofa yang empuk. Setidaknya, hanya ini yang bisa ia lakukan. Ingin menangis? Dirinya sudah lelah menangisi hal yang tidak memiliki titik terang, sampai di rasa air matanya telah mengering.
Sejujurnya, Bi Ijah sangat kasihan dengan Zulfa. Sifat dan sikap Farel benar-benar sangat melenceng jauh dari kategori seorang suami. Ia ingin sekali menegur atau bahkan mengatakan hal yang setidaknya mana yang benar dan mana yang salah. Raut wajah mengintimidasi laki-laki itu membuat dirinya memilih untuk diam saja dan tidak tahu apapun. Tapi ia yakin, jika suatu saat nanti ada suasana yang mengharuskan dirinya untuk menasihati laki-laki itu.
Jika memang tidak bisa mencintai, setidaknya jangan menyakiti. Jika tidak suka, pendam saja, jangan perlakukan orang itu seperti angin lalu. Karena sakitnya seorang wanita itu selalu di pendam tanpa ingin berbagi. Karena ia tidak ingin orang yang disayang berbalik khawatir pada dirinya, maka dari itu kodrat wanita ya pura-pura kuat.
Padahal hancur.
Mengaku dengan apa yang dirasakan pun seperti sangat sia-sia. Kalau cerita pada orang lain, pasti pada menyalahkan seluruh keadaan ke Farel. Padahal Zulfa yakin kalau dirinya juga ada kesalahan yang membuat suaminya berperilaku seperti itu.
Lihat, masih seberapa baik dirinya yang tidak rela Farel di cap buruk pada pandangan semua orang? Seberapa tulus hati wanita ketika sudah memutuskan untuk menaruh hari pada seseorang?
"Tuhan punya rencana yang lebih besar, Nyonya. Semua butuh waktu." gumam Bi Ijah yang tidak pernah putus untuk selalu mendoakan majikan terbaik seperti Zulfa. Karena wanita baik, pasti akan menemukan takdir yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Banyak hal yang terukir indah setelah terjadinya badai yang mampu memporak-porandakan suasana hati. Tunggu saja kapan waktu yang tepat untuk merasakan hal itu, karena Tuhan selalu adil.
...
Next chapter